Pembahasan Hadits
Tentang Kafaah
Dalam kitab Makarim
al-Akhlaq, karya Radhiyuddin Abi an-Nashr al-Hasan bin al-Fadhal at-Thabrasi,
terdapat hadits yang berbunyi:
إِنَّمَا
أَنَا
بَشَرٌ
مِثْلُكُمْ
أَتَزَوَّجُ
فِيْكُمْ
وَأُزَوِّجُكُمْ
إِلاَّ
فَاطِمَةَ
فَإِنَّ
تَزْوِيْجَهَا
نَزَلَ
مِنَ
السَّمَاءِ،
وَنَظَرَ
رَسُوْلُ
الله
إِلَى
أَوْلاَدِ
عَلِي
وَجَعْفَر
فَقَالَ
بَنَاتُنَا
لِبَنِيْنَا
وَبَنُوْنَا
لِبَنَاتِنَا
“Sesungguhnya aku hanya
seorang manusia biasa seperti kalian. Aku kawin dengan kalian dan mengawinkan
anak-anakku dengan kalian, kecuali Fatimah. Karena, perkawinannya ditetapkan
dari langit (telah ditentukan oleh Allah SWT). Rasulullah pun memandang kepada
anak-anak Ali dan Ja’far, seraya bersabda: ‘Anak-anak perempuan kami hanya
menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah
dengan anak-anak perempuan kami’.”
Dalam kitab tersebut
tidak disebutkan sanadnya. Tetapi, hadits ini diriwayatkan oleh al-Kulaini,
dalam kitabnya al-Kafi, Juz V/568, dengan sanad yang majhul [tidak diketahui].
Karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai hujah untuk menetapkan
hukum wajibnya kafa’ah. Sebagai tambahan Kitab al-Kafi ini adalah rujukan imam imam
syiah pengganti hadits shahih menurut kepercayaan syiah laknatullah.
Dalam riwayat lain
disebutkan:
كُلُّ
بَنِي
آدَمَ
يَنْتَمُونَ
إِلَى
عَصَبَةِ
أَبِيهِمْ
إِلا
وَلَدَ
فَاطِمَةَ،
فَإِنِّي
أَنَا
أَبُوهُمْ
وَأَنَا
عَصَبَتُهُمْ
[الطبراني
في
الكبير
من
طريق
عثمان
بن
أبي
شيبة
عن
جرير
عن
شيبة
بن
نعامة
عن
فاطمة
ابنة
الحسين
عن
جدتها
فاطمة
الكبرى
به
مرفوعا]
“Semua anak Adam
bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak Fatimah. Akulah
ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka.” [Hr. At-Thabrani dalam
al-Mu’jam al-Kabir dari ‘Utsman bin Abi Syibah dari Jarir bin Syibah bin
Nu’amah dari Fatimah binti al-Husain dari neneknya, Fatimah al-Kubra
diriwayatkan secara marfu’].
Status hadits ini
menurut Ibn al-Jauzi, dalam al-‘Ilal al-Mutanahiyyah, “Innahu layashihhu, laisa
bi jayyid[in]. (Hadits tersebut tidak shahih, dan tidak jayyid [baik]).” Di
dalam sanad-nya juga terdapat Syibah, yang dinyatakan lemah. Namun, hadits ini
mempunyai banyak pendukung (syawahid). Jika pun maknanya sahih, maka hadits ini
menjelaskan kekhususan Nabi saw. dan keturunannya. Namun, hadits ini tidak
menjelaskan tentang wajibnya kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, khususnya
keluarga Nabi saw.
Mengenai hadits dari
Ibn ‘Umar:
اَلْعَرَبُ
بَعْضُهُمْ
أَكِفَّاءُ
لِبَعْضٍ
قَبِيْلَةٌ
لِقَبِيْلَةٍ
وَحَيٌّ
لِحَيٍّ
وَرَجُلٌ
لِرَجُلٍ
“Orang-orang Arab
setaraf satu dengan yang lain. Kabilah satu dengan kabilah lain, satu kampung
dengan kampung yang lain, laki-laki yang satu dengan yang lain…”
Hadits ini palsu, tidak
ada dasarnya. Ibn Abi Hatim berkomentar, “Aku telah bertanya kepada ayahku
tentang hadits ini, beliau mengatakana, “Munkar”.”Sedangkan Ibn ‘Abd al-Barr
berkomentar, “Hadits ini Munkar dan palsu [maudhu’].”. Dalam isnad-nya terdapat
orang yang majhul, yaitu perawi yang meriwayatkan dari Ibn Juraij.
Ad-Daruquthni berkomentar, dalam kitab al-‘Ilal, “La yashihhu [Tidak sahih].”
Begitu juga hadits
al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal:
اَلْعَرَبُ
بَعْضُهُمْ
أَكِفَّاءُ
بَعْضٍ،
وَالْمَوَالِيْ
بَعْضُهُمْ
أَكِفَّاءُ
بَعْضٍ
“Orang-orang Arab
sekufu’ satu dengan yang lain. Begitu juga kaum Mawali sekufu satu dengan yang
lain.” Isnad hadits ini juga lemah.
Mengenai tindakan Nabi
saw. menikahkan putrinya, Fatimah al-Kubra dengan saudara sepupunya, ‘Ali bin
Abi Thalib, ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk mewajiban pernikahan
antara sesama syarif dengan syarifah. Sebaliknya, mengharamkan pernikahan syarifdengan
bukan syarifah, atau syarifah dengan bukan syarif. Karena, ada tindakan Nabi
saw. yang lain, yang berbeda dengan ini. Ketika Nabi saw. menikahkan putri
bibinya, Zainab binti Jahsy al-Asadiyyah dengan Zaid bin Haritsah. Padahal,
Zainah adalah syarifah, sedangkan Zaid bin Haritsah bekas budak yang telah
dimerdekakan.
Bukan hanya dalam
bentuk tindakan, tetapi Nabi juga memerintahkan Fatimah binti Qais untuk
menikah dengan Usamah bin Zaid, putra dari bekas budaknya, Zaid bin Haritsah.
Maka, Usamah bin Zaid pun menikahinya atas titah Nabi saw [Hr. Muttafaq
‘alaih]. Begitu juga Abu Hudzaifah bin Rabi’ah bin ‘Utbah telah mengadopsi
Salim, bekas budak wanita Anshar, sehingga dikenal sebagai Salim “Maula” [bekas
budak] Abi Hudzaifah. Salim dinikahkan oleh Abu Hudzaifah dengan keponakannya,
putri saudara lelakinya, Hindun binti al-Walid bin Utbah. [Hr. Bukhari].
Mengenai perkataan
‘Umar bin al-Khatthab:
لَأَمْنَعُنَّ
فُرُوْجَ
ذَوَاتِالأحْسَابِ
إِلاَّ
مِنَ
الأَكِفَّاءِ
“Aku melarang kemaluan wanita-wanita dari
keturunan mulia, kecuali untuk lelaki yang setaraf dengannya.”
Perkataan ‘Umar ini
bukan hadits. Apa yang dinyatakan ‘Umar ini merupakan pendapatnya, dan tidak
bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan
karena tidak kafa’ah. maksud "Setaraf" dari ucapan Beliau maksudnya
adalah setaraf Ilmu agamanya bukan dari nasab keturunannya.
Begitu juga pendapat
Salman al-Farisi, sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Qudamah:
بَلْ
أَنْتَ
تَقَدَّمْ
فَإِنَّكُمْ
مَعْشَرَ
الْعَرَبِ
لاَ
يُتَقَدَّمُ
عَلَيْكُمْ
فِي
صَلاَتِكُمْ
وَلاَ
تُنْكَحُ
نِسَاؤُكُمْ
إِنّ
اللهَ
فَضَّلَكُمْ
عَلَيْنَا
بِمُحَمَّدٍ
صلى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
وَجَعَلَ
فِيْكُمْ
“Anda [Jarir] yang harus maju. Kalian kalian,
wahai orang-orang Arab, kalian tidak boleh dipimpin dalam shalat kalian [oleh
non-Arab]. Perempuan kalian juga tidak boleh dinikahi, sesungguhnya Allah
memuliakan kalian atas kami karena Muhammad saw. Dia juga dijadikan di antara
kalian.” [HR. al-Baihaqi]
Perkataan Salman ini
juga bukan hadits. Apa yang dinyatakan Salman ini merupakan pendapatnya, dan
tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang
pernikahan karena tidak kafa’ah. Kalau pun ini dijadikan sebagai syarat, hanya
syarat afdhaliyyahsaja, baik dalam imamahshalat maupun pernikahan.
Karena itu, tidak ada
satu dalil pun yang bisa digunakan untuk mewajibkan kafa’ah bagi pasangan suami
isteri, baik dari kalangan Arab dengan Arab, Arab dengan non-Arab, maupun syarifah
dengan bukan syarifah. Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menyatakan, karena itu,
maka nash-nash yang menyatakan kafa’ah adalah nash yang batil, atau tidak bisa
digunakan untuk berhujah. Mensyaratkan kafa’ah juga bertentangan dengan sabda
Nabi saw:
لاَ
فَضْلَ
لِعَرَبِيٍّ
عَلَى
عَجَمِيٍّ
إِلاَّ
بِالتَّقْوَى
“Tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab terhadap
non-Arab kecuali dengan ketakwaannya.” [Hr. Ahmad]
Syarat tersebut juga
bertentangan dengan nash al-Qur’an:
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ
اللهِ
أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya di antara kalian yang paling
mulia di sisi Allah, adalah kalian yang paling bertakwa.” [Q.s. al-Hujurat: 13]
Karena itu,
hadits-hadits tentang syarat kafa’ah, atau bahkan yang mewajibkan kafa’ah jelas
harus ditolak, dari aspek riwayat maupun dirayah. Maka, Al-‘Allamah al-Qadhi
an-Nabhani menegaskan, bahwa hadits-hadits yang menyatakan tentang kafa’ah ini
adalah hadits-hadits makdzubah [bohong/palsu] [Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani,
an-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 104].
Perbedaan Kafa’ah di
Kalangan Ulama’
Sebagian fuqaha’,
seperti Imam Ahmad, menggunakan sebagian hadits di atas sebagai argumen untuk
menyatakan, bahwa kafa’ah merupakan syarat sahnya pernikahan. Jika tidak terpenuhi,
maka kedua mempelai yang tidak sederajat itu harus dipisahkan. Ini juga
merupakan pendapat Sufyan at-Tsauri. Dasar yang digunakan, selain hadits yang
telah dinyatakan lemah di atas, juga pendapat ‘Umar dan Salman. Mengenai
penggunaan kedua pendapat sahabat, ‘Umar dan Salman, bisa dimengerti, karena
Imam Ahmad mengakui Mazhab Sahabat sebagai dalil.
Namun, ini bukan
pendapat Imam Ahmad satu-satunya. Karena, Imam Ahmad juga mempunyai pendapat
kedua, yang berbeda dengan riwayat pertama. Menurutnya, kafa’ah bukan syarat
sahnya pernikahan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama’, bukan
hanya pendapat Imam Ahmad. Pendapat ini ternyata juga merupakan pendapat ‘Umar,
Ibn Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ‘Ubaid bin ‘Umair, Hammad bin Sulaiman, Ibn
Sirin, Ibn ‘Aun, Imam Malik, as-Syafii dan Ashhab ar-Ra’y [Ibn Qudamah,
al-Mughni, Juz IX/387-388].
Dalam riwayat lain,
Imam Ahmad menyatakan, bahwa bangsa Arab non-Quraisy tidak kafa’ahdengan
Quraisy. Non-Bani Hasyim juga tidak kafa’ah dengan Bani Hasyim. Pendapat Imam
Ahmad ini bisa dimengerti, karena menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil. Ini
juga merupakan pendapat pengikut mazhab Syafii, berdasarkan sabda Nabi saw:
إنَّ
اللهَ
اصْطَفَى
كِنَانَةَ
مِنْ
وَلَدِ
إِسْمَاعِيْلَ،
وَاصْطَفَى
مِنْ
كِنَانَةَ
قُرَيْشًا،
وَاصْطَفَى
مِنْ
قُرَيْشٍ
بَنِي
هَاشِمٍ،
وَاصْطَفَانِيْ
مِنْ
بَنِيْ
هَاشِمٍ.
“Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari
putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani
Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim]
Pendapat pengikut
mazhab Syafii ini sama dengan pendapat Abu Hanifah. Beliau berkata, “Orang
non-Arab tidak kafa’ah dengan orang Arab. Orang Arab tidak kafa’ah dengan
Quraisy. Semua kaum Quraisy itu kafa’ah.”
Namun, sekali lagi,
dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan sebaliknya, bahwa bangsa Arab satu
dengan yang lain sama-sama kafa’ah. Bangsa non-Arab juga demikian, satu dengan
yang lain, juga sama-sama kafa’ah. Alasannya, karena Nabi saw. telah menikahkan
kedua putrinya dengan ‘Utsman. Baginda saw. juga menikahkan putrinya, Zainab
binti Muhammad saw. dengan Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’. Padahal, keduanya berasal
dari Bani ‘Abdi Syam, bukan dari Bani Hasyim. ‘Ali bin Abi Thalib juga telah
menikahkan ‘Umar dengan putrinya, Ummu Kaltsum, dengan ‘Umar bin Khatthab.
Meski ‘Umar bukan dari Bani Hasyim. Begitu juga ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsman
telah menikahi Fatimah binti al-Husain bin ‘Ali, sedangkan Mush’ab bin
az-Zubair menikahi saudara Fatimah, Sukainah. Miqdad bin al-Aswad menikahi
Shuba’ah binti az-Zubair bin ‘Abdul Muthallib, putri paman Nabi saw. Padahal,
keduanya berbeda nasabnya [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/392-393].
Karena itu, pendapat
yang menyatakan kewajiban kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, di kalangan
fuqaha’ adalah pendapat syar’i, setidaknya jika mazhab yang menyatakannya
menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil. Sebagaimana Imam Ahmad, misalnya.
Namun, jika mazhab tersebut tidak menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil,
seperti pengikut mazhab Syafii, maka pendapat ini tentu bukan pendapat syar’i.
Dengan catatan, jika pendapat tersebut didasarkan pada Mazhab Sahabat.
Namun, jika pendapat
tersebut didasarkan pada hadits lain, yaitu “Sesungguhnya Allah mengangkat
Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari
Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim],
sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah, maka hadits ini tidak menunjukkan
kewajiban kafa’ahpasangan suami-isteri. Dengan demikian, pendapat yang paling
kuat, adalah pendapat yang menyatakan, bahwa kafa’ah tersebut bukan syarat,
juga bukan kewajiban bagi pasangan suami-isteri.
Masalah Agama dan
Kerelaan Bukan Masalah Kafa’ah
Mengenai faktor agama
yang dijadikan ukuran kafa’ah antara suami-isteri, sebagaimana pendapat Imam
Ahmad, Syafii, Malik dan Abu Hanifah, dalam hal ini Imam Malik berkata,
“Kafa’ah hanya dalam masalah agama, bukan yang lain.” Sebagaimana firman Allah
SWT:
أَفَمَنْ
كَانَ
مُؤْمِنًا
كَمَنْ
كَانَ
فَاسِقًا
لاَ
يَسْتَوُوْنَ
“Apakah sama orang yang
beriman dengan orang yang fasik, tentu mereka tidak sama.” [Q.s. as-Sajdah: 18]
Ibn al-Mundzir menukil
dari al-Buwaithi, bahwa Imam as-Syafii berkata, “Kafa’ah itu dalam agama.”
Pendapat ini juga dinyatakan dalam kitab Mukhtashar al-Buwaithi. Dalam kitab
Fath al-Bari, beliau menyatakan, “Kafa’ah dalam agama yang diakui merupakan
perkara yang disepakati. Maka, tidak halal seorang wanita Muslimah bagi lelaki
Kafir.” [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]
Mengenai perbedaan
agama ini, menurut al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, sebenarnya ini
bukan pembahasan tentang kafa’ah. Tetapi, ini merupakan pembahasan tentang
pernikahan kaum Muslim dengan non-Muslim. Ini tentu merupakan pembahasan lain.
Hal yang sama juga terkait dengan kefasikan seseorang, ini sebenarnya tidak
terkait dengan masalah kafa’ah. Tetapi, masalah pilihan dan kerelaan.
Imam as-Syafii
menyatakan, bahwa asal muasal kafa’ah dalam pernikahan, sebenarnya adalah
hadits Barirah [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]. Dalam hal ini,
Barirah, budak wanita, menikah dengan sesama budak. Ketika Barirah
dimerdekakan, sementara suaminya masih menjadi budak, maka dia diberi pilihan,
apakah mau tetap menjadi isteri budak tersebut, atau membatalkan nikahnya.
Diriwayatkan dari al-Qasim dari ‘Aisyah, bahwa Barirah ketika itu masih menjadi
isteri dari seorang budak. Ketika dia dimerdekakan, Rasulullah saw. bersabda
kepadanya, “Kamu pilih, jika kamu mau, maka kamu tetap menjadi isteri budak
ini. Jika kamu mau, kamu bisa meninggalkannya.” [HR. Ahmad]. Dalam riwayat
Muslim dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, “Barirah telah dimerdekakan. Suaminya tetap
menjadi budak. Rasulullah saw. memberikan pilihan kepadanya. Kalau suaminya
sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.”
Jadi, pilihan yang
diberikan Nabi saw. kepada Barirah tidak terkait dengan masalah kafa’ah atau
tidak, melainkan terkait dengan status suaminya yang masih menjadi budak, dan
konsekuensi Barirah menjadi isteri budak. Karena itu, ‘Aisyah berkomentar,
“Kalau suaminya sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan
kepadanya.” [Hr. Muslim].
Dari sini bisa
dipahami, bahwa diberikannya pilihan kepada Barirah untuk bertahan menjadi
isteri budak, atau tidak, merupakan bukti yang kuat, bahwa ini masalah pilihan.
Tidak terkait dengan rusak dan tidaknya akad pernikahannya, karena tidak
kafa’ah. Ini berbeda dengan perbedaan agama, karena ini bukan masalah pilihan.
Dalam kasus suami murtad, misalnya, jelas status pernikahannya batal (fasakh).
Begitu juga wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, baik Kristen, Yahudi,
Hindu, Budha maupun yang lain. Dengan atau tanpa keputusan pengadilan, status
pernikahan pasangan ini jelas batal.
Kontroversi Masalah
Ahlul Bait
Dengan menyebut Nama
Allah Yang Rahmaan dan Rahiim. Maha Suci Allah, Maha Benar Allah atas segala
firmanNya. Salawat dan Salam kami haturkan kepada Rasulullah SAW, para keluarga
(Ahlul Bait), para Sahabat, juga para pengikut Beliau yang istiqamah hingga
akhir hayat. Kontrovesi berkecamuk secara terselubung dalam dada ummat Islam,
yang pada dasarnya dibagi menjadi dua kubu raksasa, yaitu Arabi (orang Arab,
berketurunan Arab, atau Peranakan Arab) dan Ajami/ Ahhwal (nonArab). Ini bukan
persoalan geografis, ini mengenai tempat dimana diturunkannya Islam dan
penyebarannya yang awal. Arab (Mekah dan Madinah) merupakan sentral Islam, yang
mana ramai orang berasumsi bahwa “oleh karenanya Arabi lebih memahami Islam
dibandingkan dengan Ajami,” atau dengan kalimat lain “Ajami belajar Islam dari
Arabi.” Arabi kemudian terbagi menjadi dua, yakni Sayyid (dan Sayyidah) dan
Masyaikh (biasa disebut Arab Syekh atau Tuan). Arab Sayyid (dan Sayyidah)
inilah yang disebut Ahlul Bait (Anak Cucu atau Rasulullah SAW yang berbangsa
Arab). Lalu ada persoalan apakah dengan hal tersebut? Persoalannya duduk pada
“tingkat kemuliaan,” dimana disebutkan bahwa kedudukan Ahlul Bait (Arab Sayyid)
lebih mulia dari pada Ajami; meskipun kita samasama tahu bahwa Rasulullah SAW
adalah As’adal Arabi wal Ajami, atau Pimpinan Arabi dan Ajami. Dalam konteks
yang sangat terbatas, Rasulullah SAW memandang sama seluruh muslim adalah ummat
yang dicintainya.
Dalam konteks lain,
Ahlul Bait adalah keturunan (tetesan darah Rasulullah yang Mulia) yang memang
patut dicintai oleh setiap Muslim yang beriman, bukan hanya sekedar dihormati
saja. Bahkan terhadap sesama Arabi, Masyaikh patut memuliakan Sayyid. Hal ini
dikarenakan oleh cinta kepada Rasulullah SAW; darah Rasulullah yang Mulia
mengalir dalam darah Ahlul Bait. Kontroversi mulai muncul saat terbukanya hukum
hukum tertentu yang diberlakukan berdasarkan penafsiran berbagai macam dalil
yang mutawattir dan bertanggungjawab, yang mengatur interaksi antara Ahlul Bait
dan yang non Ahlul Bait. Ada kemungkinan bahwa masyarakat Ajami yang berbeda
pendapat merasa terdiskredit dengan hukum-hukum yang akan dijelaskan nanti.
Lebih dari itu, hukum-hukum tersebut menempatkan posisi Ajami pada level yang
terlalu inferior; dalam kondisi tertentu dapat disebut terintimidasi secara
harga diri. Sebagai tindak respon, sebagian Ajami yang merasa “terdiskreditkan”
hampir menolak hukumhukum tersebut, meskipun sikap mereka tidak akan merubah
keadaan. Respon Ajami tersebut oleh sebagian Ahlul Bait dianggap negatif,
bahkan disebut sebagai bentuk kedengkian yang merupakan raja dari penyakit
hati. Sejarah Ahlul Bait serupa dengan lorong-lorong panjang yang memiliki
banyak tikungan, namun bukanlah sebuah labirin. Singkat cerita, Ahlul Bait
adalah keturunan Rasulullah SAW dari silsilah Imam Ali bin Abi Thalib
(Karamallahu Wajhahu) dan Siti Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW;
khususnya dari Imam Al-Hasan dan Al-Husain.
Rasulullah SAW
dikaruniai keturunan yang secara gen dari garis perempuan (Puterinya yang Mulia
Siti Fathimah). Jika bangsa Arab menganut pola keturunan matrilineal, maka hal
itu sah saja. Namun jika bangsa Arab, setidaknya pada saat itu, menganut pola
keturunan patriarki, maka ceritanya bisa menjadi lain. Dan seperti yang akan
saya paparkan, ada sedikit paradoks dalam situasi ini. Keutamaankeutamaan Ahlul
Bait hampir tidak dapat dihitung jika dibandingkan dengan Ajami yang konon
“tidak ada apa-apanya” dibandingkan dengan Ahlul Bait. Inilah yang menjadi
kontroversi antara Ahlul Bait dengan yang nonAhlul Bait.
AHLUL BAIT DISUCIKAN
OLEH ALLAH SWT
Benarkah demikian?
Jawabannya adalah “Ya, benar!” Allah SWT telah Menyatakannya dalam Al-Qur’an
yang artinya:
“Sesungguhnya Allah
hendak menghapuskan dosadosa dari kalian Ahlul Bait, dan mensucikan kalian
sesuci sucinya.” (QS. AlAhzab: 33).
Ini merupakan deklarasi
awal kemuliaan Ahlul Bait; Allah SWT “HENDAK” mensucikan para Ahlul Bait
sesuci-sucinya. Ini berarti Ahlul Bait adalah orang-orang yang
"HENDAK" disucikan oleh Allah SWT, bahkan ketika Ahlul Bait itu tidak
berupaya untuk mensucikan dirinya sendiri. Bagaimana dengan mereka yang
kebetulan Ahlul Bait namun melakukan kemungkaran? Sebagai manusia yang memiliki
potensi ganda, perbuatan buruk dapat dilakukan oleh siapa saja. Jika salah satu
Ahlul Bait (dari keturunannya) melakukan hal mungkar, apakah ayat tersebut
masih berlaku? Dimanakah letak keadilan Allah SWT? Jawabannya singkat, mereka
sama akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan di bumi
karena hukum ini berlaku sama untuk semua umat manusia tanpa terkecuali. Lalu
bagaimanakah kiranya jika dia meninggal saat baru saja atau dalam melakukan
kemungkaran? Pertanyaan ini biarlah dijawab oleh Ahlul Bait sendiri. Jika
diperhatikan, ayat di atas mengandung modal “hendak” yang orientasinya adalah sesuatu
yang belum terlaksana.
Pemahaman yang beredar
awet selama ini seakan-akan firman Allah tersebut berbunyi “Sesungguhnya Allah
mensucikan…” atau “Sesungguhnya Allah telah mensucikan…” Allah SWT tidak
mensucikan orang-orang yang melaksanakan perbuatan mungkar jika dia tidak
bertobat dan merubah kelakuannya. Firman tersebut hendaknya dimaknai sebagai
sebuah ultimatum bahwa Ahlul Bait seyogianya menjaga akhlaknya agar tidak
terjerumus dalam jurang dosa, karena sebagai keturunan Rasulullah SAW, mereka bertanggungjawab
atas kelanggengan ajaran Islam yang dibawa oleh Beliau SAW. Jika ada Ahlul Bait
yang menyalahi hukum, maka ayat di atas tidak berlaku atas dirinya. Bagaimana
dengan Ajami? Apakah ada hak istimewa yang serupa?
Dalam al-Qur’an Allah
berfirman:
“…Maka Allah mengampuni
siapa yang dikehendakiNya dan menyiksa siapa yang dikehendakiNya”
(QS.
Al-Baqarah:284/Al-Maidah: 18)
“Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan
(sebagai pewaris Al-Qur’an) dan menghapuskan segala segala kesalahanmu dan
mengampuni dosa-dosamu…”
(QS. Al-Anfal: 29)
“…sesungguhnya Tuhanmu
mengampuni orangorang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian
mereka bertaubat dan sesudah itu memperbaiki dirinya…”
(QS. An-Nahl:119)
“…tetapi orang yang
berlaku zalim, kemudian ditukarkannya kezalimannya dengan kebaikan (Allah akan
mengampuninya); maka sesungguhnya Aku maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An-Naml:11)
“Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosadosamu…”
(Al-Ahzab:70-71)
“…janganlah berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya…”
(QS. Az-Zumar:53)
“…dan barangsiapa yang
mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensicikan diri untuk kebaikan dirinya
sendiri…”
(QS. Al-Fathir: 18)
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 910)
Ayat-ayat di atas
adalah ayat-ayat yang sifatnya umum. Orang Ajami/Ahwal yang beriman pun
merupakan orang-orang yang “disucikan oleh Allah” sesuci-sucinya (sedangkan
orang kafir dan zalim sekalipun masih diampuni atau disucikan oleh Allah jika dia
berbuat baik!). Dalam hal ini, tentu saja yang dimaksudkan dengan “mensucikan”
adalah mengampuni dosadosa. Secara otomatis, siapapun yang tidak beriman, tidak
mensucikan dirinya, maka tidak akan disucikan oleh Allah SWT. Tidak akan ada
keraguan dalam al-Qur’an, tidak ada ayatayat yang bertolakbelakang. Setiap ayat
menjelaskan ayat lainnya. Untuk bisa memahami maksud Allah dengan “hendak
mensucikan” dalam surat al-Ahzab ayat 33 di atas, kita membutuhkan ayat-ayat
yang saya kutip di atas. Intinya, Allah SWT mensucikan orang-orang yang Dia
Kehendaki, yaitu orang-orang yang beriman dan mensucikan dirinya; baik itu
Ajami maupun Arabi; baik itu Ahlul Bait, maupun yang non-Ahlul Bait.
Dengan demikian,
tudingan bahwa Ahlul Bait itu superior dan Ajami inferior dalam hal pensucian
(pengampunan) dosa (sesuci-sucinya) itu tidaklah relevan. Ajami tidak perlu
merasa terdiskredit, karena Allah itu Maha Adil. Menggunakan ayat 33 dari surat
al-Ahzab tanpa dikaitkan dengan ayatayat
seperti yang saya kutip
di atas (dan masih banyak ayatayat yang demikian) hanya memoles “wajah Tuhan”
sebagai Dzat yang tidak adil, dan itu salah satu dosa besar.
AHLUL BAIT ADALAH
PEWARIS ALQUR’AN
ayat 32 dalam surat
al-Fathir yang berbunyi:
“Kemudian Kitab itu
(Al-Qur’an) Kami wariskan kepada orang orang dari hamba Kami yang telah Kami
Pilih.”
Terdapat kemuliaan
Ahlul Bait, karena yang dimaksudkan dengan “hamba terpilih” adalah para Ahlul
Bait (ini dilansir oleh salah satu penulis Ahlul Bait yang bukunya digunakan
untuk kalangan Ahlul Bait saja). Ini memang agak beresiko. Mengapa tidak? Allah
sendiri tidak menyebutkannya dalam ayat tersebut, dan ayat tersebut sama sekali
bukan ayat mutasyabih. Justru ayat tersebut berkenaan dengan ayat ke 29 surat
Al-Anfal bahwa pewaris Al-Qur’an adalah orang-orang yang beriman. Menurut
penulis Ahlul Bait yang saya sebut di atas, alasan Ali Ar-Ridha pendeta syiah
adalah “jika yang dimaksudkan adalah seluruh ummat Muslim, maka tentu semuanya
akan menjadi penghuni syurga.” Memang ada benarnya, ayat tersebut bukan untuk
seluruh ummat Muslim; tetapi mereka yang terpilih. Namun yang terpilih bukan
saja Ahlul Bait, tetapi orang-orang yang beriman; baik itu dari kalangan Ahlul
Bait, maupun yang nonAhlul Bait. Sehingga, komentar penulis bahwa
“…jadi yang mewarisi
Kitab Suci adalah Al-Ithrah At-Thahirah (keluarga suci keturunan Rasulullah
SAW.) bukan orang-orang selain mereka…” menurut saya agak prematur. Saya
khawatir kemuliaan yang dianugerahkan oleh Allah menjadi bibit ujub dalam hati
dan merusak iman. Beberapa literatur Ahlul Bait memang terkesan subjektif dan
pragmatis. Saya menggunakan kata “beberapa” sebagai implikatur skalar yang
maksudnya berbeda dengan “banyak” tetapi lebih dekat bermakna “sedikit.” Saya
sebut subjektif karena tidak jelas objeknya. Kaum Ajami kadang digeneralisir
sebagai “orang yang membenci Ahlul Bait,” kurang iman, pelontar fitnah, dan
sebagainya (misalnya dalam sebuah tulisan yang berjudul “Tuntutan Tanggung
Jawab terhadap Ahlul Bait dan Kafa’ahnya). Siapa sebenarnya yang menjadi objek
dari tudingan tersebut tidak jelas, sehingga tulisan tersebut subjektif. Saya
sebut pragmatis karena TERLALU BANYAK ayat-ayat yang penafsirannya terkondisi.
TERLALU BANYAK
ayat-ayat “umum” yang ditafsirkan secara “khusus” dalam konteks ke Ahlul
Bait—an seperti contoh yang baru saya paparkan. Misal lain, untuk memperkuat
tudingan mengenai “orang yang membenci Ahlul Bait” ini, penulis Ahlul Bait buku
yang saya sebut tadi menggunakan ayat ke 54 surat anNisa
yang tidak ditulis
secara penuh. Dalam buku tersebut (pada halaman 15) ditulis:
“Ataukah mereka manusia
(masih merasa iri hati terhadap apa-apa yang telah diberikan Allah pada
orang-orang (yang merupakan) karuniaNya.”
Sedangkan ayat tersebut
merupakan rangkaian yang fatal jika dipisahkan dari ayat ke 49 sampai dengan
ayat ke 55 dari surat anNisa. Saya bersedia menuliskannya disini:
Ayat 49: ”Apakah kamu
tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah
membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”
(ayat ini ada hubungannya dengan kontroversi pertama).
Ayat 50:
“Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan
cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata bagi mereka.”
Ayat 51: “Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari alkitab? Mereka percaya
kepada jibt dan thagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik
Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.”
Ayat 52: “Mereka itulah
orang-orang yang dikutuk Allah. Barangsiapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu
sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.”
Ayat 53: “Ataukah ada
bagi mereka bagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan
memberikan sedikitpun (kebajikan) kepada manusia,” [ayat ini diakhiri dengan
koma, bukan titik, yang artinya adalah sinyal transisi, bukan akhir ayat,]
Ayat 54: “Ataukah
mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah
berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada
keluarga Ibrahim, dan kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.”
Ayat 55 “Maka di antara
mereka (orangorang yang dengki itu), ada orang-orang yang beriman kepadanya,
dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) beriman
kepadanya. Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang kekal.”
Ayat-ayat di atas
ditujukan kepada orang-orang yang merasa dirinya suci, yang menyembah jibt dan
thagut, yang kaya raya namun kikir, dan kemudian memerangi Rasulullah SAW dalam
mengajak ummat manusia ke dalam iman. Jangan jadikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai
penguat hujjah yang subjektif secara pragmatis. Ini merupakan kritikan bagi
mereka yang tidak mau bijak (meskipun mampu) dalam melansir ayat suci.
MENIKAHI PEREMPUAN
AHLUL BAIT BERARTI MEMUTUSKAN HUBUNGAN FAMILINYA DENGAN RASULULLAH SAW
Lelaki kaum Ajami tidak
dibenarkan menikahi salah seorang perempuan dari kalangan Ahlul Bait, anak cucu
Rasulullah SAW yang mulia lagi disucikan oleh Allah SWT. Apabila hal tersebut
tetap terjadi, maka setiap adanya senggama antara mereka, maka mereka terhukum
zina. Selain itu, perbuatan tersebut tidak dianggap berdasarkan cinta,
melainkan hawa nafsu yang merusak; terutama memutuskan hubungan famili antara
perempuan tersebut dengan Rasulullah SAW. Sehingga, bagi kalangan Ahlul Bait,
menikahi perempuan dari kalangan Ahlul Bait (jika lelakinya Ajami) merupakan
tindakan kriminal; meskipun hal itu terjadi atas dasar cinta (mahabbah) karena
Allah dan Rasul. Hukum ini disebut kafa’ah, atau kesederajatan. Kalangan Ahlul
Bait (berdasarkan penafsiran atas berbagai dalil) sangat menjaga hubungan
famili dengan Rasulullah SAW. Tidak terkecuali, kalangan Ajami pun senantiasa
mencintai dan menjaga hal tersebut. Salah satu cara untuk menjaga nasab menuju
Rasulullah SAW adalah dengan tidak menikahkan perempuan-perempuan
Ahlul Bait dengan
lelaki-lelaki yang non Ahlul Bait. Kelihatannya, pola keturunan patriarki yang
dianut. Sedangkan ketika Rasulullah SAW mendeklarasikan Ahlul Baitnya melalui
nasab puterinya, kelihatan pola keturunan matrilineal yang dianut. Sebuah
Hadits menyebutkan: “Fathimah adalah bagian dari diriku. Apa yang membuatnya
marah akan membuatku marah. Apa yang melegakannya akan melegakanku.
Sesungguhnya semua nasab akan terputus pada hari kiamat, selain nasabku,
sebabku, dan keturunanku.” (HR. Ahmad dan alHakim).
Paradoks pola keturunan
yang disebutkan di atas bersumber dari sebuah hadits pula:
“Semua anak yang
dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka, kecuali anak Fathimah
(Sayyidina Hasan dan
Sayyidina Husain), akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab.” (HR.
Baihaqi dan At-Thabrani).
Paradoks ini sama
sekali tidak bermuatan negatif, melainkan positif. Rasulullah SAW bermaksud
menyelamatkan ummat dari perbuatan nista, dan menyelamatkan keturunannya dari
terputusnya nasab. Pada hari kiamat, dalam surat al-Mukminun ayat 101
disebutkan, akan putus segala nasab. Ayat ini menunjukkan satu hal, yaitu bahwa
setiap orang menjadi pribadi masing-masing yang akan mempertanggung jawabkan
amal perbuatannya. Untuk nasab Rasulullah SAW, insya Allah akan mendapatkan
naungan dari kemuliaan Beliau yang Tercinta. Hanya saja, menilik sejarah
(bahkan dilansir oleh penulis Ahlul Bait), Rasulullah SAW menikahkan
puteri-puteri Beliau yang lain dengan para sahabat Beliau. Ruqayyah (juga Ummu
Kultsum) dinikahkan dengan Sayyidina Utsman bin Affan r.a., Zainab dinikahkan
dengan Abul ‘Ash bin arRabi. Mungkin hal tersebut tidak memutuskan nasab
Rasulullah SAW. Kami berharap puteri-puteri Rasulullah SAW yang tercinta tidak
terputus nasabnya. Kami berharap meskipun kami yakin bahwa mereka tidak
terputus nasabnya, karena mereka menikahi lelaki beriman; Allah mengharamkan
perempuan beriman menikahi lelaki musyrik, begitu pula sebaliknya. Di sisi
lain, pada hakikatnya, menikah itu memperlebar jalur kekeluargaan, bukan
memutuskannya. Menikah dengan orang berbeda agama berarti murtad. Menikah
dengan orang tidak beriman berarti fasik. Tetapi menikah dengan orang seagama
dan beriman adalah memperlebar keluarga beriman, memperpanjang nasab.
Demikianlah pandangan Ajami dalam memahami ayat-ayat pernikahan yang sarat
dalam surat an-Nisa.
Masih banyak lagi
hukum-hukum yang mengandung kontroversi yang tidak sempat saya ulas dalam
artikel ini. Dalam menulis artikel ini, saya mengambil posisi netral sebagai
moderator. Saya tidak bermaksud mewakili Ajami juga bukan Ahlul Bait; meskipun
dalam beberapa hal saya juga terkoptasi dengan pemikiran Ajami yang berbeda
dengan Ahlul Bait; dimana saya juga kurang setuju dengan cara-cara para penulis
Ahlul Bait yang secara arogan menginferiorkan Ajami. Melalui ini pula, saya
hendak berpesan pada kaum Muslimin Ajami bahwa status manusia di hadapan Allah
itu sama; terkecuali para Ahlul Bait, Allah membedakannya dalam hal-hal
tertentu.
Mari sama-sama kita
cintai Rasulullah SAW dan Ahlul Bait Beliau, dan menjaga hukum-hukum yang
maktub. Ajami adalah pelindung Ahlul Bait, pagar besi yang menjaga mereka agar
tidak tersentuh kaum yang membenci mereka.
Sedangkan kepada kaum
Muslimin Ahlul Bait, hendaknya menghormati kaum Ajami yang adalah pelindung dan
pencinta. Perbedaan pendapat yang ada sebenarnya bersumber dari keteledoran
penulis Ahlul Bait yang mendiskreditkan kaum Ajami; yang secara arogan menuding
kiri dan kanan. Status dan perlakuan istimewa layak untuk didapatkan oleh Ahlul
Bait. Hukum-hukum interaksi wajib ditegakkan. Namun untuk urusan kemuliaan, biarlah
Allah yang menetapkannya.
Dengan ini saya
menyimpulkan bahwa pernikahan antara Syarifah dengan Ajami adalah sah apabila
didasarkan oleh keimanan agama dan Allah SWT, permasalahan kafa'ah adalah hanya
sebuah budaya yang konyol dikarenakan ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW selalu
mengajarkan kita PERSAMAAN=EQUALITY=KAFA'AH yang benar adalah kita sebagai
makhluk Allah SWT mempunyai hak yang sama di mata Allah.
Al-Ahzab 40:
“Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.” ()
Surat AL-Hujarat 13:
aku ciptakana manusia
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal (bukan untuk saling
menjatuhkan) sesungguhnya iman seseorang lah yang jadi pembeda di mata ALLAH
SWT.
Dengan ini saya
menyimpulkan bahwa pernikahan antara Syarifah dengan Ajami adalah sah apabila
didasarkan oleh keimanan agama dan Allah SWT, permasalahan kafa'ah adalah hanya
sebuah budaya yang konyol dikarenakan ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW selalu
mengajarkan kita PERSAMAAN=EQUALITY=KAFA'AH yang benar adalah kita sebagai
makhluk Allah SWT mempunyai kewajiban dan hak yang sama.
10 Kasus wanita
Ahlulbayt menikah dengan non ahlulbayt:
1. Ruqayyah binti
Muhammad Rasulillah, menikah dengan Utsman bin Affan.
2. Ummu Kultsum binti
Muhammad Rasulillah, menikah dengan Utsman bin Affan.
3. Zainab binti
Muhammad Rasulillah, menikah dengan Abul ‘Ash.
4. Ummu Kultsum bin
Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Umar bin Al-Khatthab.
5. Sukainah binti
Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Zaid bin Umar bin
Utsman bin Affan.
6. Fathimah binti
Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Abdullah bin Amr
bin Utsman bin Affan.
7. Fathimah binti Ali
Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan
Al-Mundzir bin Zubair bin Al-Awam.
8. Idah binti Ali
Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan
Nuh bin Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah.
9. Fathimah binti Hasan
Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan
Ayyub bin Maslamah Al-Makhzumi.
10. Ummul Qasim binti
Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah
dengan Marwan bin Aban bin Utsman bin Affan.
tidak mengapa seorang
syarif menikahkan putrinya dengan orang yang bukan syarif jika memang putrinya
tersebut rela. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menikahkan putri-putri beliau
dengan sebagian sahabat yang bukan dari Bani Hasyim. Semisal Utsman bin Affan
dan Abul ‘Ash bin Ar Rabi’ radhiallahu’anhum. Ali bin Abi Thalib
radhiallahu’anhu juga menikahkan putrinya dengan Umar bin Khatab
radhiallahu’anhu. Demikian juga Sukainah bin Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib
pernah menikah dengan empat orang lelaki yang bukan dari Bani Hasyim.
Demikianlah praktek para salaf terdahulu dan hal ini tidak bisa diingkari.
Sampai hari ini barulah
ada sebagian orang di sebagian negeri yang enggan melakukan hal tersebut, yang
karena takabbur (sombong) dan ingin diagungkan, sehingga mereka membatasi calon
pengantin putrinya hanya dari kalangan tertentu saja.
Hal ini jelas akan
menimbulkan kerusakan dan bahaya yang besar. Cukuplah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam dan para khulafa ar rasyidin sebagai teladan yang
baik bagi kita.
Lisanul hal afshah min
lisanil maqaal (Tindakan lebih fasih dari ucapan). inilah pernikahan yang
dicontohkan oleh Rasulullah kepada para Sahabat beserta anak cucu mereka.
Sesungguhnya pernikahan
diatas adalah pernikahan yang sah walaupun Sang laki laki bukan dari golongan
Sayyid, apabila ada golongan yang mengatakan bahwasannya menikahkan Syarifah
bukan kepada Sayyid adalah perbuatan yang HARAM, maka golongan itu sudah mengharamkan
pernikahan pernikahan para sahabat dengan anak dan cucu Rasulullah diatas.
Wallahualam bissawab.
Assalamu’alaikum.