Syarifah dapat menikahi Ajami/ Ahwal/ Pribumi berdasarkan Keimanan




Pembahasan Hadits Tentang Kafaah

Dalam kitab Makarim al-Akhlaq, karya Radhiyuddin Abi an-Nashr al-Hasan bin al-Fadhal at-Thabrasi, terdapat hadits yang berbunyi:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَتَزَوَّجُ فِيْكُمْ وَأُزَوِّجُكُمْ إِلاَّ فَاطِمَةَ فَإِنَّ تَزْوِيْجَهَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ، وَنَظَرَ رَسُوْلُ الله إِلَى أَوْلاَدِ عَلِي وَجَعْفَر فَقَالَ بَنَاتُنَا لِبَنِيْنَا وَبَنُوْنَا لِبَنَاتِنَا

“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa seperti kalian. Aku kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku dengan kalian, kecuali Fatimah. Karena, perkawinannya ditetapkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah SWT). Rasulullah pun memandang kepada anak-anak Ali dan Ja’far, seraya bersabda: ‘Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami’.”

Dalam kitab tersebut tidak disebutkan sanadnya. Tetapi, hadits ini diriwayatkan oleh al-Kulaini, dalam kitabnya al-Kafi, Juz V/568, dengan sanad yang majhul [tidak diketahui]. Karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai hujah untuk menetapkan hukum wajibnya kafa’ah. Sebagai tambahan Kitab al-Kafi ini adalah rujukan imam imam syiah pengganti hadits shahih menurut kepercayaan syiah laknatullah.

Dalam riwayat lain disebutkan:

كُلُّ بَنِي آدَمَ يَنْتَمُونَ إِلَى عَصَبَةِ أَبِيهِمْ إِلا وَلَدَ فَاطِمَةَ، فَإِنِّي أَنَا أَبُوهُمْ وَأَنَا عَصَبَتُهُمْ [الطبراني في الكبير من طريق عثمان بن أبي شيبة عن جرير عن شيبة بن نعامة عن فاطمة ابنة الحسين عن جدتها فاطمة الكبرى به مرفوعا]

“Semua anak Adam bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak Fatimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka.” [Hr. At-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dari ‘Utsman bin Abi Syibah dari Jarir bin Syibah bin Nu’amah dari Fatimah binti al-Husain dari neneknya, Fatimah al-Kubra diriwayatkan secara marfu’].

Status hadits ini menurut Ibn al-Jauzi, dalam al-‘Ilal al-Mutanahiyyah, “Innahu layashihhu, laisa bi jayyid[in]. (Hadits tersebut tidak shahih, dan tidak jayyid [baik]).” Di dalam sanad-nya juga terdapat Syibah, yang dinyatakan lemah. Namun, hadits ini mempunyai banyak pendukung (syawahid). Jika pun maknanya sahih, maka hadits ini menjelaskan kekhususan Nabi saw. dan keturunannya. Namun, hadits ini tidak menjelaskan tentang wajibnya kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, khususnya keluarga Nabi saw.

Mengenai hadits dari Ibn ‘Umar:

اَلْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ لِبَعْضٍ قَبِيْلَةٌ لِقَبِيْلَةٍ وَحَيٌّ لِحَيٍّ وَرَجُلٌ لِرَجُلٍ

“Orang-orang Arab setaraf satu dengan yang lain. Kabilah satu dengan kabilah lain, satu kampung dengan kampung yang lain, laki-laki yang satu dengan yang lain…”


Hadits ini palsu, tidak ada dasarnya. Ibn Abi Hatim berkomentar, “Aku telah bertanya kepada ayahku tentang hadits ini, beliau mengatakana, “Munkar”.”Sedangkan Ibn ‘Abd al-Barr berkomentar, “Hadits ini Munkar dan palsu [maudhu’].”. Dalam isnad-nya terdapat orang yang majhul, yaitu perawi yang meriwayatkan dari Ibn Juraij. Ad-Daruquthni berkomentar, dalam kitab al-‘Ilal, “La yashihhu [Tidak sahih].”


Begitu juga hadits al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal:

اَلْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ بَعْضٍ، وَالْمَوَالِيْ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ بَعْضٍ

“Orang-orang Arab sekufu’ satu dengan yang lain. Begitu juga kaum Mawali sekufu satu dengan yang lain.” Isnad hadits ini juga lemah.
Mengenai tindakan Nabi saw. menikahkan putrinya, Fatimah al-Kubra dengan saudara sepupunya, ‘Ali bin Abi Thalib, ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk mewajiban pernikahan antara sesama syarif dengan syarifah. Sebaliknya, mengharamkan pernikahan syarifdengan bukan syarifah, atau syarifah dengan bukan syarif. Karena, ada tindakan Nabi saw. yang lain, yang berbeda dengan ini. Ketika Nabi saw. menikahkan putri bibinya, Zainab binti Jahsy al-Asadiyyah dengan Zaid bin Haritsah. Padahal, Zainah adalah syarifah, sedangkan Zaid bin Haritsah bekas budak yang telah dimerdekakan.

Bukan hanya dalam bentuk tindakan, tetapi Nabi juga memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, putra dari bekas budaknya, Zaid bin Haritsah. Maka, Usamah bin Zaid pun menikahinya atas titah Nabi saw [Hr. Muttafaq ‘alaih]. Begitu juga Abu Hudzaifah bin Rabi’ah bin ‘Utbah telah mengadopsi Salim, bekas budak wanita Anshar, sehingga dikenal sebagai Salim “Maula” [bekas budak] Abi Hudzaifah. Salim dinikahkan oleh Abu Hudzaifah dengan keponakannya, putri saudara lelakinya, Hindun binti al-Walid bin Utbah. [Hr. Bukhari].

Mengenai perkataan ‘Umar bin al-Khatthab:

لَأَمْنَعُنَّ فُرُوْجَ ذَوَاتِالأحْسَابِ إِلاَّ مِنَ الأَكِفَّاءِ

 “Aku melarang kemaluan wanita-wanita dari keturunan mulia, kecuali untuk lelaki yang setaraf dengannya.”

Perkataan ‘Umar ini bukan hadits. Apa yang dinyatakan ‘Umar ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan karena tidak kafa’ah. maksud "Setaraf" dari ucapan Beliau maksudnya adalah setaraf Ilmu agamanya bukan dari nasab keturunannya.

Begitu juga pendapat Salman al-Farisi, sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Qudamah:


بَلْ أَنْتَ تَقَدَّمْ فَإِنَّكُمْ مَعْشَرَ الْعَرَبِ لاَ يُتَقَدَّمُ عَلَيْكُمْ فِي صَلاَتِكُمْ وَلاَ تُنْكَحُ نِسَاؤُكُمْ إِنّ اللهَ فَضَّلَكُمْ عَلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعَلَ فِيْكُمْ

 “Anda [Jarir] yang harus maju. Kalian kalian, wahai orang-orang Arab, kalian tidak boleh dipimpin dalam shalat kalian [oleh non-Arab]. Perempuan kalian juga tidak boleh dinikahi, sesungguhnya Allah memuliakan kalian atas kami karena Muhammad saw. Dia juga dijadikan di antara kalian.” [HR. al-Baihaqi]

Perkataan Salman ini juga bukan hadits. Apa yang dinyatakan Salman ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan karena tidak kafa’ah. Kalau pun ini dijadikan sebagai syarat, hanya syarat afdhaliyyahsaja, baik dalam imamahshalat maupun pernikahan.

Karena itu, tidak ada satu dalil pun yang bisa digunakan untuk mewajibkan kafa’ah bagi pasangan suami isteri, baik dari kalangan Arab dengan Arab, Arab dengan non-Arab, maupun syarifah dengan bukan syarifah. Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menyatakan, karena itu, maka nash-nash yang menyatakan kafa’ah adalah nash yang batil, atau tidak bisa digunakan untuk berhujah. Mensyaratkan kafa’ah juga bertentangan dengan sabda Nabi saw:

لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

 “Tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab terhadap non-Arab kecuali dengan ketakwaannya.” [Hr. Ahmad]


Syarat tersebut juga bertentangan dengan nash al-Qur’an:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

 “Sesungguhnya di antara kalian yang paling mulia di sisi Allah, adalah kalian yang paling bertakwa.” [Q.s. al-Hujurat: 13]


Karena itu, hadits-hadits tentang syarat kafa’ah, atau bahkan yang mewajibkan kafa’ah jelas harus ditolak, dari aspek riwayat maupun dirayah. Maka, Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menegaskan, bahwa hadits-hadits yang menyatakan tentang kafa’ah ini adalah hadits-hadits makdzubah [bohong/palsu] [Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 104].

Perbedaan Kafa’ah di Kalangan Ulama’

Sebagian fuqaha’, seperti Imam Ahmad, menggunakan sebagian hadits di atas sebagai argumen untuk menyatakan, bahwa kafa’ah merupakan syarat sahnya pernikahan. Jika tidak terpenuhi, maka kedua mempelai yang tidak sederajat itu harus dipisahkan. Ini juga merupakan pendapat Sufyan at-Tsauri. Dasar yang digunakan, selain hadits yang telah dinyatakan lemah di atas, juga pendapat ‘Umar dan Salman. Mengenai penggunaan kedua pendapat sahabat, ‘Umar dan Salman, bisa dimengerti, karena Imam Ahmad mengakui Mazhab Sahabat sebagai dalil.

Namun, ini bukan pendapat Imam Ahmad satu-satunya. Karena, Imam Ahmad juga mempunyai pendapat kedua, yang berbeda dengan riwayat pertama. Menurutnya, kafa’ah bukan syarat sahnya pernikahan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama’, bukan hanya pendapat Imam Ahmad. Pendapat ini ternyata juga merupakan pendapat ‘Umar, Ibn Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ‘Ubaid bin ‘Umair, Hammad bin Sulaiman, Ibn Sirin, Ibn ‘Aun, Imam Malik, as-Syafii dan Ashhab ar-Ra’y [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/387-388].

Dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan, bahwa bangsa Arab non-Quraisy tidak kafa’ahdengan Quraisy. Non-Bani Hasyim juga tidak kafa’ah dengan Bani Hasyim. Pendapat Imam Ahmad ini bisa dimengerti, karena menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil. Ini juga merupakan pendapat pengikut mazhab Syafii, berdasarkan sabda Nabi saw:


إنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ، وَاصْطَفَى مِنْ كِنَانَةَ قُرَيْشًا، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِيْ مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ.

 “Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim]

Pendapat pengikut mazhab Syafii ini sama dengan pendapat Abu Hanifah. Beliau berkata, “Orang non-Arab tidak kafa’ah dengan orang Arab. Orang Arab tidak kafa’ah dengan Quraisy. Semua kaum Quraisy itu kafa’ah.”

Namun, sekali lagi, dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan sebaliknya, bahwa bangsa Arab satu dengan yang lain sama-sama kafa’ah. Bangsa non-Arab juga demikian, satu dengan yang lain, juga sama-sama kafa’ah. Alasannya, karena Nabi saw. telah menikahkan kedua putrinya dengan ‘Utsman. Baginda saw. juga menikahkan putrinya, Zainab binti Muhammad saw. dengan Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’. Padahal, keduanya berasal dari Bani ‘Abdi Syam, bukan dari Bani Hasyim. ‘Ali bin Abi Thalib juga telah menikahkan ‘Umar dengan putrinya, Ummu Kaltsum, dengan ‘Umar bin Khatthab. Meski ‘Umar bukan dari Bani Hasyim. Begitu juga ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsman telah menikahi Fatimah binti al-Husain bin ‘Ali, sedangkan Mush’ab bin az-Zubair menikahi saudara Fatimah, Sukainah. Miqdad bin al-Aswad menikahi Shuba’ah binti az-Zubair bin ‘Abdul Muthallib, putri paman Nabi saw. Padahal, keduanya berbeda nasabnya [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/392-393].

Karena itu, pendapat yang menyatakan kewajiban kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, di kalangan fuqaha’ adalah pendapat syar’i, setidaknya jika mazhab yang menyatakannya menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil. Sebagaimana Imam Ahmad, misalnya. Namun, jika mazhab tersebut tidak menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil, seperti pengikut mazhab Syafii, maka pendapat ini tentu bukan pendapat syar’i. Dengan catatan, jika pendapat tersebut didasarkan pada Mazhab Sahabat.

Namun, jika pendapat tersebut didasarkan pada hadits lain, yaitu “Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim], sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah, maka hadits ini tidak menunjukkan kewajiban kafa’ahpasangan suami-isteri. Dengan demikian, pendapat yang paling kuat, adalah pendapat yang menyatakan, bahwa kafa’ah tersebut bukan syarat, juga bukan kewajiban bagi pasangan suami-isteri.


Masalah Agama dan Kerelaan Bukan Masalah Kafa’ah

Mengenai faktor agama yang dijadikan ukuran kafa’ah antara suami-isteri, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, Syafii, Malik dan Abu Hanifah, dalam hal ini Imam Malik berkata, “Kafa’ah hanya dalam masalah agama, bukan yang lain.” Sebagaimana firman Allah SWT:


أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لاَ يَسْتَوُوْنَ

“Apakah sama orang yang beriman dengan orang yang fasik, tentu mereka tidak sama.” [Q.s. as-Sajdah: 18]

Ibn al-Mundzir menukil dari al-Buwaithi, bahwa Imam as-Syafii berkata, “Kafa’ah itu dalam agama.” Pendapat ini juga dinyatakan dalam kitab Mukhtashar al-Buwaithi. Dalam kitab Fath al-Bari, beliau menyatakan, “Kafa’ah dalam agama yang diakui merupakan perkara yang disepakati. Maka, tidak halal seorang wanita Muslimah bagi lelaki Kafir.” [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]

Mengenai perbedaan agama ini, menurut al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, sebenarnya ini bukan pembahasan tentang kafa’ah. Tetapi, ini merupakan pembahasan tentang pernikahan kaum Muslim dengan non-Muslim. Ini tentu merupakan pembahasan lain. Hal yang sama juga terkait dengan kefasikan seseorang, ini sebenarnya tidak terkait dengan masalah kafa’ah. Tetapi, masalah pilihan dan kerelaan.

Imam as-Syafii menyatakan, bahwa asal muasal kafa’ah dalam pernikahan, sebenarnya adalah hadits Barirah [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]. Dalam hal ini, Barirah, budak wanita, menikah dengan sesama budak. Ketika Barirah dimerdekakan, sementara suaminya masih menjadi budak, maka dia diberi pilihan, apakah mau tetap menjadi isteri budak tersebut, atau membatalkan nikahnya. Diriwayatkan dari al-Qasim dari ‘Aisyah, bahwa Barirah ketika itu masih menjadi isteri dari seorang budak. Ketika dia dimerdekakan, Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Kamu pilih, jika kamu mau, maka kamu tetap menjadi isteri budak ini. Jika kamu mau, kamu bisa meninggalkannya.” [HR. Ahmad]. Dalam riwayat Muslim dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, “Barirah telah dimerdekakan. Suaminya tetap menjadi budak. Rasulullah saw. memberikan pilihan kepadanya. Kalau suaminya sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.”

Jadi, pilihan yang diberikan Nabi saw. kepada Barirah tidak terkait dengan masalah kafa’ah atau tidak, melainkan terkait dengan status suaminya yang masih menjadi budak, dan konsekuensi Barirah menjadi isteri budak. Karena itu, ‘Aisyah berkomentar, “Kalau suaminya sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.” [Hr. Muslim].

Dari sini bisa dipahami, bahwa diberikannya pilihan kepada Barirah untuk bertahan menjadi isteri budak, atau tidak, merupakan bukti yang kuat, bahwa ini masalah pilihan. Tidak terkait dengan rusak dan tidaknya akad pernikahannya, karena tidak kafa’ah. Ini berbeda dengan perbedaan agama, karena ini bukan masalah pilihan. Dalam kasus suami murtad, misalnya, jelas status pernikahannya batal (fasakh). Begitu juga wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, baik Kristen, Yahudi, Hindu, Budha maupun yang lain. Dengan atau tanpa keputusan pengadilan, status pernikahan pasangan ini jelas batal.

Kontroversi Masalah Ahlul Bait
Dengan menyebut Nama Allah Yang Rahmaan dan Rahiim. Maha Suci Allah, Maha Benar Allah atas segala firmanNya. Salawat dan Salam kami haturkan kepada Rasulullah SAW, para keluarga (Ahlul Bait), para Sahabat, juga para pengikut Beliau yang istiqamah hingga akhir hayat. Kontrovesi berkecamuk secara terselubung dalam dada ummat Islam, yang pada dasarnya dibagi menjadi dua kubu raksasa, yaitu Arabi (orang Arab, berketurunan Arab, atau Peranakan Arab) dan Ajami/ Ahhwal (nonArab). Ini bukan persoalan geografis, ini mengenai tempat dimana diturunkannya Islam dan penyebarannya yang awal. Arab (Mekah dan Madinah) merupakan sentral Islam, yang mana ramai orang berasumsi bahwa “oleh karenanya Arabi lebih memahami Islam dibandingkan dengan Ajami,” atau dengan kalimat lain “Ajami belajar Islam dari Arabi.” Arabi kemudian terbagi menjadi dua, yakni Sayyid (dan Sayyidah) dan Masyaikh (biasa disebut Arab Syekh atau Tuan). Arab Sayyid (dan Sayyidah) inilah yang disebut Ahlul Bait (Anak Cucu atau Rasulullah SAW yang berbangsa Arab). Lalu ada persoalan apakah dengan hal tersebut? Persoalannya duduk pada “tingkat kemuliaan,” dimana disebutkan bahwa kedudukan Ahlul Bait (Arab Sayyid) lebih mulia dari pada Ajami; meskipun kita samasama tahu bahwa Rasulullah SAW adalah As’adal Arabi wal Ajami, atau Pimpinan Arabi dan Ajami. Dalam konteks yang sangat terbatas, Rasulullah SAW memandang sama seluruh muslim adalah ummat yang dicintainya.

Dalam konteks lain, Ahlul Bait adalah keturunan (tetesan darah Rasulullah yang Mulia) yang memang patut dicintai oleh setiap Muslim yang beriman, bukan hanya sekedar dihormati saja. Bahkan terhadap sesama Arabi, Masyaikh patut memuliakan Sayyid. Hal ini dikarenakan oleh cinta kepada Rasulullah SAW; darah Rasulullah yang Mulia mengalir dalam darah Ahlul Bait. Kontroversi mulai muncul saat terbukanya hukum hukum tertentu yang diberlakukan berdasarkan penafsiran berbagai macam dalil yang mutawattir dan bertanggungjawab, yang mengatur interaksi antara Ahlul Bait dan yang non Ahlul Bait. Ada kemungkinan bahwa masyarakat Ajami yang berbeda pendapat merasa terdiskredit dengan hukum-hukum yang akan dijelaskan nanti. Lebih dari itu, hukum-hukum tersebut menempatkan posisi Ajami pada level yang terlalu inferior; dalam kondisi tertentu dapat disebut terintimidasi secara harga diri. Sebagai tindak respon, sebagian Ajami yang merasa “terdiskreditkan” hampir menolak hukumhukum tersebut, meskipun sikap mereka tidak akan merubah keadaan. Respon Ajami tersebut oleh sebagian Ahlul Bait dianggap negatif, bahkan disebut sebagai bentuk kedengkian yang merupakan raja dari penyakit hati. Sejarah Ahlul Bait serupa dengan lorong-lorong panjang yang memiliki banyak tikungan, namun bukanlah sebuah labirin. Singkat cerita, Ahlul Bait adalah keturunan Rasulullah SAW dari silsilah Imam Ali bin Abi Thalib (Karamallahu Wajhahu) dan Siti Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW; khususnya dari Imam Al-Hasan dan Al-Husain.

Rasulullah SAW dikaruniai keturunan yang secara gen dari garis perempuan (Puterinya yang Mulia Siti Fathimah). Jika bangsa Arab menganut pola keturunan matrilineal, maka hal itu sah saja. Namun jika bangsa Arab, setidaknya pada saat itu, menganut pola keturunan patriarki, maka ceritanya bisa menjadi lain. Dan seperti yang akan saya paparkan, ada sedikit paradoks dalam situasi ini. Keutamaankeutamaan Ahlul Bait hampir tidak dapat dihitung jika dibandingkan dengan Ajami yang konon “tidak ada apa-apanya” dibandingkan dengan Ahlul Bait. Inilah yang menjadi kontroversi antara Ahlul Bait dengan yang nonAhlul Bait.

AHLUL BAIT DISUCIKAN OLEH ALLAH SWT
Benarkah demikian? Jawabannya adalah “Ya, benar!” Allah SWT telah Menyatakannya dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan dosadosa dari kalian Ahlul Bait, dan mensucikan kalian sesuci sucinya.” (QS. AlAhzab: 33).

Ini merupakan deklarasi awal kemuliaan Ahlul Bait; Allah SWT “HENDAK” mensucikan para Ahlul Bait sesuci-sucinya. Ini berarti Ahlul Bait adalah orang-orang yang "HENDAK" disucikan oleh Allah SWT, bahkan ketika Ahlul Bait itu tidak berupaya untuk mensucikan dirinya sendiri. Bagaimana dengan mereka yang kebetulan Ahlul Bait namun melakukan kemungkaran? Sebagai manusia yang memiliki potensi ganda, perbuatan buruk dapat dilakukan oleh siapa saja. Jika salah satu Ahlul Bait (dari keturunannya) melakukan hal mungkar, apakah ayat tersebut masih berlaku? Dimanakah letak keadilan Allah SWT? Jawabannya singkat, mereka sama akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan di bumi karena hukum ini berlaku sama untuk semua umat manusia tanpa terkecuali. Lalu bagaimanakah kiranya jika dia meninggal saat baru saja atau dalam melakukan kemungkaran? Pertanyaan ini biarlah dijawab oleh Ahlul Bait sendiri. Jika diperhatikan, ayat di atas mengandung modal “hendak” yang orientasinya adalah sesuatu yang belum terlaksana.

Pemahaman yang beredar awet selama ini seakan-akan firman Allah tersebut berbunyi “Sesungguhnya Allah mensucikan…” atau “Sesungguhnya Allah telah mensucikan…” Allah SWT tidak mensucikan orang-orang yang melaksanakan perbuatan mungkar jika dia tidak bertobat dan merubah kelakuannya. Firman tersebut hendaknya dimaknai sebagai sebuah ultimatum bahwa Ahlul Bait seyogianya menjaga akhlaknya agar tidak terjerumus dalam jurang dosa, karena sebagai keturunan Rasulullah SAW, mereka bertanggungjawab atas kelanggengan ajaran Islam yang dibawa oleh Beliau SAW. Jika ada Ahlul Bait yang menyalahi hukum, maka ayat di atas tidak berlaku atas dirinya. Bagaimana dengan Ajami? Apakah ada hak istimewa yang serupa?

Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
“…Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendakiNya dan menyiksa siapa yang dikehendakiNya”
(QS. Al-Baqarah:284/Al-Maidah: 18)

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan
furqan (sebagai pewaris Al-Qur’an) dan menghapuskan segala segala kesalahanmu dan mengampuni
dosa-dosamu…”
(QS. Al-Anfal: 29)

“…sesungguhnya Tuhanmu mengampuni orangorang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat dan sesudah itu memperbaiki dirinya…”
(QS. An-Nahl:119)

“…tetapi orang yang berlaku zalim, kemudian ditukarkannya kezalimannya dengan kebaikan (Allah akan mengampuninya); maka sesungguhnya Aku maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An-Naml:11)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosadosamu…”
(Al-Ahzab:70-71)

“…janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya…”
(QS. Az-Zumar:53)

“…dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensicikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri…”
(QS. Al-Fathir: 18)

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 910)

Ayat-ayat di atas adalah ayat-ayat yang sifatnya umum. Orang Ajami/Ahwal yang beriman pun merupakan orang-orang yang “disucikan oleh Allah” sesuci-sucinya (sedangkan orang kafir dan zalim sekalipun masih diampuni atau disucikan oleh Allah jika dia berbuat baik!). Dalam hal ini, tentu saja yang dimaksudkan dengan “mensucikan” adalah mengampuni dosadosa. Secara otomatis, siapapun yang tidak beriman, tidak mensucikan dirinya, maka tidak akan disucikan oleh Allah SWT. Tidak akan ada keraguan dalam al-Qur’an, tidak ada ayatayat yang bertolakbelakang. Setiap ayat menjelaskan ayat lainnya. Untuk bisa memahami maksud Allah dengan “hendak mensucikan” dalam surat al-Ahzab ayat 33 di atas, kita membutuhkan ayat-ayat yang saya kutip di atas. Intinya, Allah SWT mensucikan orang-orang yang Dia Kehendaki, yaitu orang-orang yang beriman dan mensucikan dirinya; baik itu Ajami maupun Arabi; baik itu Ahlul Bait, maupun yang non-Ahlul Bait.

Dengan demikian, tudingan bahwa Ahlul Bait itu superior dan Ajami inferior dalam hal pensucian (pengampunan) dosa (sesuci-sucinya) itu tidaklah relevan. Ajami tidak perlu merasa terdiskredit, karena Allah itu Maha Adil. Menggunakan ayat 33 dari surat al-Ahzab tanpa dikaitkan dengan ayatayat
seperti yang saya kutip di atas (dan masih banyak ayatayat yang demikian) hanya memoles “wajah Tuhan” sebagai Dzat yang tidak adil, dan itu salah satu dosa besar.

AHLUL BAIT ADALAH PEWARIS ALQUR’AN

ayat 32 dalam surat al-Fathir yang berbunyi:

“Kemudian Kitab itu (Al-Qur’an) Kami wariskan kepada orang orang dari hamba Kami yang telah Kami Pilih.”

Terdapat kemuliaan Ahlul Bait, karena yang dimaksudkan dengan “hamba terpilih” adalah para Ahlul Bait (ini dilansir oleh salah satu penulis Ahlul Bait yang bukunya digunakan untuk kalangan Ahlul Bait saja). Ini memang agak beresiko. Mengapa tidak? Allah sendiri tidak menyebutkannya dalam ayat tersebut, dan ayat tersebut sama sekali bukan ayat mutasyabih. Justru ayat tersebut berkenaan dengan ayat ke 29 surat Al-Anfal bahwa pewaris Al-Qur’an adalah orang-orang yang beriman. Menurut penulis Ahlul Bait yang saya sebut di atas, alasan Ali Ar-Ridha pendeta syiah adalah “jika yang dimaksudkan adalah seluruh ummat Muslim, maka tentu semuanya akan menjadi penghuni syurga.” Memang ada benarnya, ayat tersebut bukan untuk seluruh ummat Muslim; tetapi mereka yang terpilih. Namun yang terpilih bukan saja Ahlul Bait, tetapi orang-orang yang beriman; baik itu dari kalangan Ahlul Bait, maupun yang nonAhlul Bait. Sehingga, komentar penulis bahwa
“…jadi yang mewarisi Kitab Suci adalah Al-Ithrah At-Thahirah (keluarga suci keturunan Rasulullah SAW.) bukan orang-orang selain mereka…” menurut saya agak prematur. Saya khawatir kemuliaan yang dianugerahkan oleh Allah menjadi bibit ujub dalam hati dan merusak iman. Beberapa literatur Ahlul Bait memang terkesan subjektif dan pragmatis. Saya menggunakan kata “beberapa” sebagai implikatur skalar yang maksudnya berbeda dengan “banyak” tetapi lebih dekat bermakna “sedikit.” Saya sebut subjektif karena tidak jelas objeknya. Kaum Ajami kadang digeneralisir sebagai “orang yang membenci Ahlul Bait,” kurang iman, pelontar fitnah, dan sebagainya (misalnya dalam sebuah tulisan yang berjudul “Tuntutan Tanggung Jawab terhadap Ahlul Bait dan Kafa’ahnya). Siapa sebenarnya yang menjadi objek dari tudingan tersebut tidak jelas, sehingga tulisan tersebut subjektif. Saya sebut pragmatis karena TERLALU BANYAK ayat-ayat yang penafsirannya terkondisi.

TERLALU BANYAK ayat-ayat “umum” yang ditafsirkan secara “khusus” dalam konteks ke Ahlul Bait—an seperti contoh yang baru saya paparkan. Misal lain, untuk memperkuat tudingan mengenai “orang yang membenci Ahlul Bait” ini, penulis Ahlul Bait buku yang saya sebut tadi menggunakan ayat ke 54 surat anNisa
yang tidak ditulis secara penuh. Dalam buku tersebut (pada halaman 15) ditulis:

“Ataukah mereka manusia (masih merasa iri hati terhadap apa-apa yang telah diberikan Allah pada orang-orang (yang merupakan) karuniaNya.”

Sedangkan ayat tersebut merupakan rangkaian yang fatal jika dipisahkan dari ayat ke 49 sampai dengan ayat ke 55 dari surat anNisa. Saya bersedia menuliskannya disini:

Ayat 49: ”Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (ayat ini ada hubungannya dengan kontroversi pertama).

Ayat 50: “Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata bagi mereka.”

Ayat 51: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari alkitab? Mereka percaya kepada jibt dan thagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.”


Ayat 52: “Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah. Barangsiapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.”

Ayat 53: “Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikitpun (kebajikan) kepada manusia,” [ayat ini diakhiri dengan koma, bukan titik, yang artinya adalah sinyal transisi, bukan akhir ayat,]

Ayat 54: “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.”

Ayat 55 “Maka di antara mereka (orangorang yang dengki itu), ada orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) beriman kepadanya. Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang kekal.”

Ayat-ayat di atas ditujukan kepada orang-orang yang merasa dirinya suci, yang menyembah jibt dan thagut, yang kaya raya namun kikir, dan kemudian memerangi Rasulullah SAW dalam mengajak ummat manusia ke dalam iman. Jangan jadikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai penguat hujjah yang subjektif secara pragmatis. Ini merupakan kritikan bagi mereka yang tidak mau bijak (meskipun mampu) dalam melansir ayat suci.


MENIKAHI PEREMPUAN AHLUL BAIT BERARTI MEMUTUSKAN HUBUNGAN FAMILINYA DENGAN RASULULLAH SAW

Lelaki kaum Ajami tidak dibenarkan menikahi salah seorang perempuan dari kalangan Ahlul Bait, anak cucu Rasulullah SAW yang mulia lagi disucikan oleh Allah SWT. Apabila hal tersebut tetap terjadi, maka setiap adanya senggama antara mereka, maka mereka terhukum zina. Selain itu, perbuatan tersebut tidak dianggap berdasarkan cinta, melainkan hawa nafsu yang merusak; terutama memutuskan hubungan famili antara perempuan tersebut dengan Rasulullah SAW. Sehingga, bagi kalangan Ahlul Bait, menikahi perempuan dari kalangan Ahlul Bait (jika lelakinya Ajami) merupakan tindakan kriminal; meskipun hal itu terjadi atas dasar cinta (mahabbah) karena Allah dan Rasul. Hukum ini disebut kafa’ah, atau kesederajatan. Kalangan Ahlul Bait (berdasarkan penafsiran atas berbagai dalil) sangat menjaga hubungan famili dengan Rasulullah SAW. Tidak terkecuali, kalangan Ajami pun senantiasa mencintai dan menjaga hal tersebut. Salah satu cara untuk menjaga nasab menuju Rasulullah SAW adalah dengan tidak menikahkan perempuan-perempuan
Ahlul Bait dengan lelaki-lelaki yang non Ahlul Bait. Kelihatannya, pola keturunan patriarki yang dianut. Sedangkan ketika Rasulullah SAW mendeklarasikan Ahlul Baitnya melalui nasab puterinya, kelihatan pola keturunan matrilineal yang dianut. Sebuah Hadits menyebutkan: “Fathimah adalah bagian dari diriku. Apa yang membuatnya marah akan membuatku marah. Apa yang melegakannya akan melegakanku. Sesungguhnya semua nasab akan terputus pada hari kiamat, selain nasabku, sebabku, dan keturunanku.” (HR. Ahmad dan alHakim).

Paradoks pola keturunan yang disebutkan di atas bersumber dari sebuah hadits pula:
“Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka, kecuali anak Fathimah

(Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain), akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab.” (HR. Baihaqi dan At-Thabrani).

Paradoks ini sama sekali tidak bermuatan negatif, melainkan positif. Rasulullah SAW bermaksud menyelamatkan ummat dari perbuatan nista, dan menyelamatkan keturunannya dari terputusnya nasab. Pada hari kiamat, dalam surat al-Mukminun ayat 101 disebutkan, akan putus segala nasab. Ayat ini menunjukkan satu hal, yaitu bahwa setiap orang menjadi pribadi masing-masing yang akan mempertanggung jawabkan amal perbuatannya. Untuk nasab Rasulullah SAW, insya Allah akan mendapatkan naungan dari kemuliaan Beliau yang Tercinta. Hanya saja, menilik sejarah (bahkan dilansir oleh penulis Ahlul Bait), Rasulullah SAW menikahkan puteri-puteri Beliau yang lain dengan para sahabat Beliau. Ruqayyah (juga Ummu Kultsum) dinikahkan dengan Sayyidina Utsman bin Affan r.a., Zainab dinikahkan dengan Abul ‘Ash bin arRabi. Mungkin hal tersebut tidak memutuskan nasab Rasulullah SAW. Kami berharap puteri-puteri Rasulullah SAW yang tercinta tidak terputus nasabnya. Kami berharap meskipun kami yakin bahwa mereka tidak terputus nasabnya, karena mereka menikahi lelaki beriman; Allah mengharamkan perempuan beriman menikahi lelaki musyrik, begitu pula sebaliknya. Di sisi lain, pada hakikatnya, menikah itu memperlebar jalur kekeluargaan, bukan memutuskannya. Menikah dengan orang berbeda agama berarti murtad. Menikah dengan orang tidak beriman berarti fasik. Tetapi menikah dengan orang seagama dan beriman adalah memperlebar keluarga beriman, memperpanjang nasab. Demikianlah pandangan Ajami dalam memahami ayat-ayat pernikahan yang sarat dalam surat an-Nisa.

Masih banyak lagi hukum-hukum yang mengandung kontroversi yang tidak sempat saya ulas dalam artikel ini. Dalam menulis artikel ini, saya mengambil posisi netral sebagai moderator. Saya tidak bermaksud mewakili Ajami juga bukan Ahlul Bait; meskipun dalam beberapa hal saya juga terkoptasi dengan pemikiran Ajami yang berbeda dengan Ahlul Bait; dimana saya juga kurang setuju dengan cara-cara para penulis Ahlul Bait yang secara arogan menginferiorkan Ajami. Melalui ini pula, saya hendak berpesan pada kaum Muslimin Ajami bahwa status manusia di hadapan Allah itu sama; terkecuali para Ahlul Bait, Allah membedakannya dalam hal-hal tertentu.

Mari sama-sama kita cintai Rasulullah SAW dan Ahlul Bait Beliau, dan menjaga hukum-hukum yang maktub. Ajami adalah pelindung Ahlul Bait, pagar besi yang menjaga mereka agar tidak tersentuh kaum yang membenci mereka.
Sedangkan kepada kaum Muslimin Ahlul Bait, hendaknya menghormati kaum Ajami yang adalah pelindung dan pencinta. Perbedaan pendapat yang ada sebenarnya bersumber dari keteledoran penulis Ahlul Bait yang mendiskreditkan kaum Ajami; yang secara arogan menuding kiri dan kanan. Status dan perlakuan istimewa layak untuk didapatkan oleh Ahlul Bait. Hukum-hukum interaksi wajib ditegakkan. Namun untuk urusan kemuliaan, biarlah Allah yang menetapkannya.

Dengan ini saya menyimpulkan bahwa pernikahan antara Syarifah dengan Ajami adalah sah apabila didasarkan oleh keimanan agama dan Allah SWT, permasalahan kafa'ah adalah hanya sebuah budaya yang konyol dikarenakan ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW selalu mengajarkan kita PERSAMAAN=EQUALITY=KAFA'AH yang benar adalah kita sebagai makhluk Allah SWT mempunyai hak yang sama di mata Allah.

Al-Ahzab 40:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” ()

Surat AL-Hujarat 13:
aku ciptakana manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal (bukan untuk saling menjatuhkan) sesungguhnya iman seseorang lah yang jadi pembeda di mata ALLAH SWT.

Dengan ini saya menyimpulkan bahwa pernikahan antara Syarifah dengan Ajami adalah sah apabila didasarkan oleh keimanan agama dan Allah SWT, permasalahan kafa'ah adalah hanya sebuah budaya yang konyol dikarenakan ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW selalu mengajarkan kita PERSAMAAN=EQUALITY=KAFA'AH yang benar adalah kita sebagai makhluk Allah SWT mempunyai kewajiban dan hak yang sama.


10 Kasus wanita Ahlulbayt menikah dengan non ahlulbayt

1. Ruqayyah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Utsman bin Affan.
2. Ummu Kultsum binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Utsman bin Affan.
3. Zainab binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Abul ‘Ash.
4. Ummu Kultsum bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Umar bin Al-Khatthab.
5. Sukainah binti Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Zaid bin Umar bin Utsman bin Affan.
6. Fathimah binti Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan.
7. Fathimah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Al-Mundzir bin Zubair bin Al-Awam.
8. Idah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Nuh bin Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah.
9. Fathimah binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Ayyub bin Maslamah Al-Makhzumi.

10. Ummul Qasim binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Marwan bin Aban bin Utsman bin Affan.










tidak mengapa seorang syarif menikahkan putrinya dengan orang yang bukan syarif jika memang putrinya tersebut rela. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menikahkan putri-putri beliau dengan sebagian sahabat yang bukan dari Bani Hasyim. Semisal Utsman bin Affan dan Abul ‘Ash bin Ar Rabi’ radhiallahu’anhum. Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu juga menikahkan putrinya dengan Umar bin Khatab radhiallahu’anhu. Demikian juga Sukainah bin Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib pernah menikah dengan empat orang lelaki yang bukan dari Bani Hasyim. Demikianlah praktek para salaf terdahulu dan hal ini tidak bisa diingkari.

Sampai hari ini barulah ada sebagian orang di sebagian negeri yang enggan melakukan hal tersebut, yang karena takabbur (sombong) dan ingin diagungkan, sehingga mereka membatasi calon pengantin putrinya hanya dari kalangan tertentu saja.

Hal ini jelas akan menimbulkan kerusakan dan bahaya yang besar. Cukuplah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para khulafa ar rasyidin sebagai teladan yang baik bagi kita.






Lisanul hal afshah min lisanil maqaal (Tindakan lebih fasih dari ucapan). inilah pernikahan yang dicontohkan oleh Rasulullah kepada para Sahabat beserta anak cucu mereka.


Sesungguhnya pernikahan diatas adalah pernikahan yang sah walaupun Sang laki laki bukan dari golongan Sayyid, apabila ada golongan yang mengatakan bahwasannya menikahkan Syarifah bukan kepada Sayyid adalah perbuatan yang HARAM, maka golongan itu sudah mengharamkan pernikahan pernikahan para sahabat dengan anak dan cucu Rasulullah diatas. Wallahualam bissawab.

Wassalam..

35 komentar:

Anonim mengatakan...

memangnya klo syarifah nikah sama pribumi berarti berdasarkan hawa nafsu belaka?? mmg kalo nikah sama sayid ga ada nafsunya?? otak orang yg bilang gitu dimna dong-dong

ferngah mengatakan...

Posting yang bagus ni...terus terang saya keturunan Kesulthanan Sambas Kalimantan Barat...dimana Raja2 kesultanan Sambas merupakan keturunan Sultan Syarif Ali (Sulthan Berunai ke 3)merupakan keturunan Syarif Abu Nu'May Al Awwal...dari garis Imam Hasan...akan tetapi gelar syarif/syarifah di kesultanan Sambas telah dilokalisasi menjadi Pangeran,Raden,dan Uray..seperti halnya kesultanan Baten yang juga yang juga melokalisasi gelar Syarif/syarifah menjadi pangeran, tubagus dan Ratu...saya sangat setuju sekali dengan penulis.... yang menyimpulkan bahwa pernikahan antara Syarifah dengan Ajami adalah sah apabila didasarkan oleh keimanan agama dan Allah SWT, permasalahan kafa'ah adalah hanya sebuah budaya yang konyol dikarenakan ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW selalu mengajarkan kita PERSAMAAN=EQUALITY=KAFA'AH yang benar adalah kita sebagai makhluk Allah SWT mempunyai kewajiban dan hak yang sama...semoga ini menjadi perenungan kita bersama.....

Freethinker mengatakan...

Alhamdulillah,, itulah yang sebenarnya diajarkan, tetapi segelintir golongan ingin membuat dirinya menjadi superior dan untouchable, seperti mengatakan bahwa dirinya suci terus apa bedanya dengan nasrani yg menyatakan bahwa mereka akan pasti masuk syurga dan memandang kaum yg dilura mereka adalah pendosa semua

Anonim mengatakan...

Assalamu Alaikum,
Bahwa yg mengklaim diri sebagai habib adalah kelompok orang2 persia dari daerah pegunungan Harran di Iraq (dekat perbatasan Iraq-Iran) yg terkenal gemar mempelajari Kitab2 agama samawi. Kemudian ada yg hijrah ke Hadramaut (Yaman Selatan) dgn mengklaim diri sebagai keturunan sayyidina Husen bin Ali bin Abi Thalib RadhiAllahu anhu (walaupun tanpa bukti yg kuat, sbb katanya mereka sendiri yg membuktikan tanpa disaksikan oleh orang2 Hadramaut) agar bisa diterima oleh orang2 Hadramaut. Dgn membuat manuver2/issue2 Ahmad bin Isa AlMuhajir (ya jelas muhajir sbb mereka orang2 yg hijrah).
Ternyata mereka diterima di Hadramaut dgn alasan demi keamanan mereka, pertamanya di-ijinkan tinggal di Tarim, Lama2 berkembang biak menjadi banyak. Berhubung mereka bukan orang arab, maka mereka tidak punya nama marga. Kemudian mereka membuat marga sediri yaitu Ba'Alwi, dan dari marga Ba'Alwi berkembang dan menyebar menjadi Bin Sekh Abubakar, Al-Attas, AsSegaff, BaSyeiban, AlHamid dan lain2 menjadi 114 Marga.

Dari rasa takut ketahuan kedoknya, bahwa mereka adalah keturunan Ahlul-Bait palsu, maka mereka :

Rajin membuat catatan silsilah2 mereka sendiri yg di-kait2-kan pada Sayyidina Husein Bin Ali Bin Abu Thalib RadhiAllahu-anhu tanpa disaksikan oleh orang lain.(maksudnya untuk mencari legitimasi).

Banyak juga yg bekerja sama dgn jin untuk mendapatkan kelebihan/kehebatan se-olah2 mereka mendapat karomah, agar dianggap WaliAllah.

Dalam berpropanganda, mereka selalu bekerja sama saling dukung mendukung dalam pemberian bumbu2 issue yg selalu mereka ciptakan agar menuver2 tsb enak didengar. Sbb mayoritas dari mereka adalah ahli kalam (pandai bersilat-lidah).

Kemudian sebagian dari marga2 Ba'alwi tsb ada yg hijrah mengikuti pedagang2 Hadramaut ke negara2 yg pengetahuan Islamnya masih lemah, spt India, Malaisia, Indonesia, dsb.
Dgn mengklaim diri sebagai Ahlul Bait (keluarga RosulAllah) dgn bukti2 yg mereka buat sendiri (spt kakek2 mereka sewaktu datang ke Hadramaut)agar mendapat lahan penghormatan dari penduduk setempat dan sampai sekarang masih dilanjutkan oleh cucu2 mereka.....

Menurut pengamatan ane :

1. Ahlul Bait(keturunan dan nenek moyang RosulAllah), tidak akan ada satupun diantaranya yg berbuat maksiat.(coba dipelajari mulai dari Nabi Ibrahim Alaihi Salam).

2. Jika para habib atau Ba'alwi benar mempunyai bukti2 yg kongkrit bahwa mereka adalah keturunan Sayyidina Husein Bin Ali Bin Abu Thalib RodhiAllahu-anhu :

Kenapa mereka tidak berani mengklaim diri sebagai Ahlul Bait di Mekkah yg nota bene tempat asal-usul Ahlul Bait ??? Kok malahan dendam/memusuhi para Ulama' Mekkah/Madinah malah sampai memfitnah sbg aliran Wahabi, padahal aliran Wahabi adalah ajaran sesat Abd.Wahab bin Abd.Rahman Rustum di Marokko yg ber-abad2 sebelum ada Ulama Besar Saudi yg bernama Mohammad bin Abd.Wahab (=Pemberantas syirik dan bid'ah)

Kenapa mereka gemar membuat ritual2 yg tidak di-ajarkan oleh RosulAllah ? Se-olah2 ajaran RosulAllah tidak komplit, dgn dalih cinta RosulAllah ?

3. Sewaktu pecah perang Irak-Iran 1990, kenapa semua para habib atau Ba'alwi berpihak pada Iran yg jelas2 Syi'ah dan selalu mengkhinati Ahlul Bait ?
Ini membuktikan bahwa nenek moyang mereka adalah orang2 persia yg berada di Harran-Iraq.


Wahai para habib atau para Ba'alwi, katakanlah yg haq adalah haq, katakanlah yg bathil adalah bathil. Sebab tanggung jawab pada Allah sangat berat.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ليس مِن رجلٍ ادَّعى لغير أبيه وهو يَعلَمه إلاَّ كفر بالله، ومَن ادَّعى قوماً ليس له فيهم نسبٌ فليتبوَّأ مقعَدَه من النار ))، رواه البخاريُّ (3508)، ومسلم (112)، واللفظ للبخاري

“Tidak ada seorangpun yang mengaku (orang lain) sebagai ayahnya, padahal dia tahu (kalau bukan ayahnya), melainkan telah kufur (nikmat) kepada Allah. Orang yang mengaku-ngaku keturunan dari sebuah kaum, padahal bukan, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).

Freethinker mengatakan...

setuju, kalo saya melihat ini sebenarnya adalah pemahan syiah,, saya pernah bertanya mengapa umi kaltsum, rogaya, zainab, suakinah dll.. yang menikahi bukan dari kerabat rasulullah dan si ustad syiah menjawab dengan "memang mereka bukan anak rasulullah" saya tarik kesimpulan bahwa mmg para habaib ini membuat2 cerita karangan mereka sediri, jadi apakah sejarah Islam yang salah?

padahal Allah tidak pernah membeda bedakan manusia, melainkan Imannya

Freethinker mengatakan...

dan rasulullah tidak pernha mengajarkan ttg kafa'ah itu sendiri.. apabila benar kafa'ah itu ada, mengapa anak2 baginda Rasulullah ada yang dinikahkan dengan yang bukan senasab dengan beliau? semoga pemikiran bodoh yang selama ini terkekang tanpa adanya dasar pemikiran yang jelas menjadi penghalang bagi pernikahan, padahan pernikahan adalah salah satu dari sunah beliau..

pernahkan anda membaca secara penuh ttg kafaah?? itu jelas hasil pemikiran seseorang yg bukan berasal dari Allah dan Rasulullah, mengapa saya berkata demikian, saya akan jelaskan alasannya:

1. kafaah memandang kedudukan financial, apakah orang kaya tidak boleh jatuh cinta kepada orang miskin? karena ini masuk dalam kafaah itu sendiri

2. kafaah jga memandang garis keturunan posisi jabatan, apakah ketrunan raja tidak boleh menikahi keturunan org miskin? (Hindu dan budha?)

3. kafaah jga melihat keyakinan orang tua dari kedua belah pihak walaupun kedua calon mempelai sudah memeluk agama islam. contoh (sang mempelai laki2 adalah ketrunan muslim yang taat, sedangkan mempelai wanita adalah keturunan kafir tetapi dia sudah memeluk agama islam) ini pun dilarang dalam kafah

jelas sudah kafaah adalah hasil pemikiran yang tidak mendasar dan sangat tidak logis.

seandainya ada yg berani menantang saya untuk berdiskusi ttg masalah kafaah silahkan beri komentar di blog saya ini.. thanks

Anonim mengatakan...

Superrr sekali.. saudara penulis memiliki logika dan keimanan yang cukup mumpuni dengan tidak mendiskreditkan satu kaum dengan kaum lainnya,logika saya sedikit terbuka karna jujur saat ini saya sedang menjalin hubungan dengan seorang syarifah dan sedang mencari tau secara pasti dan adil tentang hukum kafa'ah ini agar supaya jika saya menikahi dia nanti diri saya terhindar dari kebencian Allah dan Rasulullah karna niat saya tulus dan murni untuk beribadah dan membahagiakkan wanita yang saya cinta dengan cara yang telah diajarakan dalam agama islam ini. terimakasih Salam!

Anonim mengatakan...

Menggunakan logika dgn asal,dan mendebat hadis sohih dan ayat al qur'an dgn jelas,cukup sebagai buktii bahwa kaum sayyid inilah yg menyebarkan agama Islam diseluruh penjuru dunia dan nusantara khususnya,diantara parta wali songo,dll, bisa dicek disetiap daerah siapa yg pertama mengislamkan penduduk setempat,sampai2 banyak diantara mereka diangka t menjadi raja2 setempat,hanya kebencian dan kedengkian yg membutakan mata,bukan mata yg tidak bisa melihat,tetapi hati yg buta karena rasa iri dengki

Freethinker mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
ronggolawe mengatakan...

setuju dengan Freethinker

Anonim mengatakan...

Yang penting kita ngerti kalo suaminya ajami/jaba/awwam ya nanti anaknya bukan habaib sayyid lagi jadi orang biasa. Jelas sekali. Super Sekali. Karena nasab dari ayah dan Allah tidak mengajarkan nama kita bin Ibu, di Akhirat pun nama kita dipanggil bin ayah. Terimalah kenyataan ini.

Anonim mengatakan...

saya tertarik dengan komen ada sepertinya ada memahami asal usul habib di indonesia ,,,kalo boleh saya tahu buku referensinya apa ya?

nadiahassegaf mengatakan...

assalamualaikum. terimakasih atas ilmunya. saya sendiri seorang syarifah yang masih sangat kental masalah pernikahan kafaahnya. saudara saya yang syarifah lalu menikah dengan akhwal yang menurutnya lebih baik imannya, tapi banyak keluarga kami yang menentang. bahkan sampai ada saudara saya yang memutuskan tali silaturahmi, yang bahkan di datangipun dia tidak mau. padahal itu keponakannya sendiri tapi dengan teganya untuk memutuskan silaturahmi. saya jadi semakin bingung, kenapa sampai seperti itu resikonya bila menikah dengan akhwal. padahal menikah adalah sunnah rasul. dan memutuskan silaturahmi adalah hal yang sangat di benci oleh allah.
mereka menganggap seburuk-buruknya sayid lebih baik dari pada sebaik-baiknya akhwal. saya menjadi semakin dilema. masa harus sampai segitunya :( saya menemukan blog ini dan saya merasa ini adalah jalan tengahnya yang adil menurut saya.

Anonim mengatakan...

semoga allah menggampuni kamu. bicaralah dengan ilmu dan berbagai literatur. bukan hanya prediksi anda tapi anda sudah berani mempublikasi dengan memfitnah para habib itu berbohong. kroscek lah dulu sebelum anda berbicara. "keterunan rasullalah tidak akan terputus hingga hari kiamat"
nauzubillah, semoga kita di jauhkan dari pemikiran yang sesat tanpa ada literatur yang memadai, dan memfitnah para habib itu hanya mengaku-ngaku sebagai ahlul bait

Anonim mengatakan...

Saya arab syekh bukan ba'alwi, menurut saya kafa'ah ini sangat tidak ada dan terkesan rasis, mereka saja ba'alwi sudah rasis dengan arab syekh bgmn dengan akhwal..sy jg pernah denger cerita syarifah menikah sama akhwal smp di putusin silaturrahim ini ssesuatu yang melanggar syariat agama, blm tentu dia keturunan rasup, klo bukan gmn??

akwal mengatakan...

Sesungguhnya semua nasab akan terputus pada hari kiamat, selain nasabku, sebabku, dan keturunanku.” (HR. Ahmad dan alHakim)

Di kalangan tariqah ada suatu pemahaman bahwa yang berbaiat dengan musrsyid tariqah pada kiamat nanti tidak putus dengan Rasullullah karena "SEBABKU", yaitu talqin/baiat dzikir yang sanandnya sambung sampai..Rasulullah......pemahaman ini kadang dipandang sebagai suatu "arogansi" ilmu, tapi memang kenyataannya ilmu agama bermula dari dasar samapai lanjut..........Mohon maaf diskusi ini tidak difokuskan pada "Pernikahan" namun hanya "sambungan" ke Rasulullah pada kiamat nanti, yang diamalkan oleh juataan muslim di seluruh penjuru dunia....titik beratnya bukan mencari kemuliaan dunia, tetpi diakhirat nanti bersama-sama Rasulullah....

Anonim mengatakan...

Semoga Allah meridhoi kita..

Anonim mengatakan...

Wa'alaikum salam...

Freethinker mengatakan...

Sebab atau sabab? Hehe
Coba baca lagi..
Yg benar in sabab.. dan sabab artinya luas..

Unknown mengatakan...

anda semua bicara dengan nafsu dan pemikiran anda.
bukan mau membela ahlulbeit dan merendahkan ajami..
anda membahas kafaah dengan otak anda,padahal alimj ulama terkemuka dan sangat ngerti tentang hukum dan larangan itu jelas melarang menekikahkan syarifah dan akhwal..
andan bicara tntang kalau ahlul biet hanya smpai syayidina hasan syayidina husen,,itu jelas salah,,,sabda rasul,,perbegan kepada alquran dan keturunan ku..itu jelas kalau cuma sampai imam hasan dan imam husen maka umat islam zaman sekarang udah ngak ada ahlulbeit maka tersesatlah kalian..
dan tidak maksud memutus silaturahmi..emgnya silaturhmi harus menikahi..ahlulbiet sangat senag silaturahmi..dunia ni di ciptakan karna baginda rasul SAW..jelas pasti apa pun yg di sayagi rasul jangan di ganggu dan para nabi yg lahir seblum baginda rasul pun mendapatkan kemulian apalagi yg jelas keturunaan nya,,..

Unknown mengatakan...

askum fah..jaga lah kemulian yg udah kau dapat itu nikmat yg sangat besar yg takan bisa kau raih dengan apapun..bukan buat bangga,,,
jgn kau ikut pemikiran2 yg kacau,,semua yg di larang dan di cegah oleh alim ulama terdahuli tetang larangan menikah dengan syrifah bukan hanya karna nafsu dan pemikiran,,tapi ini smua dilakukan dengan kajian ilmiah dan keuscian hati,,,....jngan pikir macem2 ,,Taatilah niscaya kau akan Bahagia akhirnya..

Anonim mengatakan...

gini aja
Mencintai rasulullah dan ahlul baitnya adalah wajib
Saat tanpa sengaja jatuh cinta pada syarifah adalah rezeki
menikahi syarifah adalah harus ada kafaah

berserahlah bahwa jodoh sudah ditentukan Allah, biarkan cinta tetap ada meski tidak pernah memiliki....

Freethinker mengatakan...

tolong hadirkan hadits atau ayat Al Quran nya ttg pelarangan pernikahan Syarifah dgn selain sayyid, monggo mas...

Freethinker mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

dasar mentingin nafsu aja lo bela2in sah pernikahan syarifa sama ahwal jelas kagak sah. mau krn faktor domisili segala yg nama ny ahlul bait itu hanya turunan arab dan islam. mau di sumatera di cina kek nasab tetep aja nyambung ke bapak ny bukan emak ny jgn bahlol dah mau sah2in nasab dri sisi perempuan krna faktor tmpat tinggal. agama ny apa sih kok sah2in nasab dri sisi perempuan? kalo islam ya jelas kagak boleh! hanya boleh dri laki! itu hukum islam ttg nasab hanya dri sebelah laki! gak usah bawa2 sayyida fatimah yg bisa nurunin darah rasul ke anak ny karena emg sayyida fatima itu sudah pengecualian satu2 ny wanita yg bisa menurunkan keturunan rasul hanya sayyida fatimah seorang selain dia gak ada yg bisa faham lo? malu dong kalian kok mentingin nafsu sih halal2in pake dalil2 yg gak jelas demi buat nikahin syarifa. tau diri dong kalian kurang nikmat apalagi sih dri allah sdh di lahirkan dri ummat ny rasulullah kok masih kurang mau halal2in nikah ny syarifa sama yg bukan sayyid? dasar menjijikan bisa nya mentingin nafsu pake bawa2 agama sgala lagi gak usah pake alesan krna ketakwaan iman ny jdi bisa sah seorang syarifa dgn yg bkn sayyid. takwa iman itu smua beda dgn urusan nasab. nasab ya nasab mau smpe kiamat umat muslim smua nasab ny bersambung ke BAPAK NYA.kalian gak usah kacauin silsilah ahlul bait mana bisa silsilah di raih dari sisi perempuan jelas putus! banyak istighfar jgn mentingin nafsu!!

Unknown mengatakan...

lo gak usah sok pinter pake2 ngomong tolong hadirkan hadits atau ayat Al Quran nya ttg pelarangan pernikahan Syarifah dgn selain sayyid, monggo mas...

bahlol emg smua hukum atau sbgai ny harus dri hadith dn quran? itu udah interpretasi ulama ente gak usah sok2 pinter main2 balik ke hadith dan quran ente pikir ente siapa bisa bgitu?? ente ny nabi?? kita umat Muslim butuh ulama seorang guru buat terjemahin itu smua yg ada dn diluar quran buat jelasin itu smua lo kagak bisa maen sok pinter ke hadith dn quran dasar mentingin nafsu aja

Freethinker mengatakan...

tabayun mas, dalil nya mana? Islam mengajarkan Muslim Untuk Ittiba.. syukron :)

Freethinker mengatakan...

"bahlol emg smua hukum atau sbgai ny harus dri hadith dn quran? itu udah interpretasi ulama ente gak usah sok2 pinter main2 balik ke hadith dan quran"


ini saya kutip dari anda mohammad bin hasyim

saya akan meluruskan pendapat anda ya,, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).


jadi seandainya kamu tidak memakai Al Quran dan Al Hadits anda termasuk kepada bagian yg mana?

Anonim mengatakan...

Assalamu Alaikum..
Saya termasuk yg sering bertanya dlm hati tentang pernikahan syarifah, belum tau mau tanya kemana,..
Teman saya seorang syarifah, menikah dengan bukan sayyid, akhirnya dia di buang dari keluarganya, dianggap tdk pernah ada, saya heran saja segitu parahnya semua hubungan silaturahimnya diputuskan..
Karena kafaah itu juga, paradigma yang sering saya dengar kalau syarifah justru banyak yang kawin lari, mati bunuh diri, karena merasa terkekang dgn kafaah..
Menurut saya keistimewaan ahlul bait tetap harus terjaga, karna nasab Nabi Muhammad sudah beliau kecualikan kepada putrinya Fatimah, dan dinasabkan ke Sayyid Hasan dan Sayyid Husain sebagai ahlul bait.. sampai ke ahlul bait saat ini.
Saya pernah mendengar dari teman saya seorang sayyid, berkata "jika seorang akhwal menikahi seorang syarifah, maka sama saja akhwal itu meniduri ibu kandungnya", apa ada hadits yang berbunyi seperti itu? Karna teman saya bilang kalau itu hadits..

Terima kasih..

Unknown mengatakan...

.sudah sudah, yang pasti kalo syarifah nikah sama selain sayed keturunan nya bakal putus sama Rasulullah, sah atau tidak nya antum2 cari tau sendiri, resiko tanggung sendiri ilmu itu bakal di pertanggung jawabkan sampai akhirat, jadi kalau antum" ni punya ilmu terus di sebarkan ehh ternyata ilmu nya antum tu salah ya di itung aja siapa yang membaca dan mengamal kan...
.kalau masalah habib silsilah Rasulullah udah di jamin kaga bakal putus ya sampai kiamat...
.kalo antum" ngaku cinta Rasulullah Muhamad SAW kenapa ngga cinta sama keturunan Nya??
.so jangan menjelek jelekan ke habiban...
.sekedar mengingatkan...

Freethinker mengatakan...

buat anonim,

Waalaikumsalam Warahmatullahiwabarakatuh, memang benar sebagian yg mengaku dirinya keluarga Rasulullah SAW sering kali mencap pendosa bagi syarifah yg nikah kepada ahwal, contohnya seperti meniduri ibukandung sendiri, seperti nikah sama anjing dan ini memang benar adanya karena Demi Allah saya pernah dengar sendiri dengan telinga saya. itu semua tidak lah benar karena mereka mengambil pendapat dari habib habib yg keras terhadap hukum kafaah padahal hadits hadits yg mereka pakai cacat dalam sanad, hadits palsu, hadits dhaif, yang tidak bisa dijadikan hujjah dalam hukum kafaah. terimakasih. wassalam.

Freethinker mengatakan...

buat kamal yahya,

ane setuju dengan ente, nikah dengan ahwal tidak akan merusak ucapan Rasulullah bahwa keturunannya tetap ada sampai datangnya kiamat, karena bukan karena satu syarifah yg menikah dengan ahwal itu akan menghilangkan keturunan Rasul sendiri, karena Sayyid bisa menikah dengan siapa saja yg mereka inginkan,, dan yang pasti turunan mereka akan menjadi sayyid dan syarifah,, dan syarifah itu jumlahnya jutaan, saya yakin nasab Rasulullah tidak akan putus sampai hari kiamat walaupun syarifah menikah dengan ahwal karena semua sudah diatur oleh Allah, walaupun itu tinggal 1 pasang saayyid dan syarifah pada akhir zaman.

dengan membuat lembaga rabithah alawiyah itu benar benar suatu yg ghuluw dan Allah tidak menyukai perbuatan itu.

Herri Arnanda mengatakan...

semoga biaa diberi hidayah akan benar tidakny hukum mengenai sayyid syarifah ini. amiinn

Unknown mengatakan...

Beliau yg mengaku dg sebutan Habib jamak habaib adalah benar keturunan langsung dari Fatimah As-Zahroh putri baginda Nabi SAW...sekalipun banyak yg ngaku2...yg jelas setiap keturunan asli Sayyidah Fatimah pasti akan sering didatangi langsung oleh Rasulullah SAW,baik nyata/mimpi dan tidak satupun dari mereka itu yg berbohong...namun yg namanya juga manusia tidak ada yg maksum selain nabi dan rasul,,,kesalahan disengaja/tidak itu adalah hal yg wajar krn itu hak asasi,,,bisa jadi karena kepentingan atau pengaruh lingkungan yg membuat mereka itu terlepas dari jalurnya,,,ibarat kereta api mungkin onderdilnya banyak yg sudah rusak atau masinisnya lagi tidak konsen,,,Wallahu A'lam bisshowab....

Freethinker mengatakan...

liat dong video diatas, memang lagi membahas tentang syiah,, tetapi ustad diats mengemukakan bahwa ga semua syarifah harus menikah dengan sayyid.. contoh muawiyah menikahi anak anak nya sayidina ali,, padahal bapak dari muawiyah adalah abu sufyan seorang musuh Islam sebelum beliau menjadi seorang muslim dan bukan keturunan Sayyid (keturunan Rasulullah)

Larangan Duduk Memeluk Lutut Saat Khutbah Jumat

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc   Tidak sedikit jamaah shalat Jumat yang duduknya dalam keadaan memeluk lutut. Bahkan saking enaknya duduk ...