Apakah Baalawi benar keturunan Rasulullah SAW?


JAKARTA, KOMPAS.com - Jurnalis Najwa Shihab merasa kaget dengan hasil tes DNA-nya. Selama ini Najwa dikenal sebagai warga Indonesia keturunan Arab. Hasil tes DNA Najwa mengejutkan. Gen Arab yang dimiliki Najwa hanya 3,4 persen. Perempuan kelahiran Makassar, 16 September 1977, ini justru punya 10 fragmen DNA dari 10 leluhur yang berbeda. Hal itu terungkap berdasarkan hasil penelitian Penelusuran Leluhur Orang Indonesia Asli yang dilakukan oleh majalah sejarah daring Historia. "Yang mengejutkan (dari hasil tes DNA) bahwa bagian Arab-nya hanya 3 persen kan gitu, padahal dari dulu mengidentifikasikan diri kalau dianggap keturunan ya keturunan Arab," ucap Najwa Shihab kepada Kompas.com via telepon, Kamis (17/10/2019). Baca juga: Asal-usul Ariel NOAH hingga Najwa Shihab Berdasarkan DNA, dari Manakah? "Tapi sekarang keturunan apa ya, aduh banyak, keturunannya ada 10," kata Najwa. Hasil penelitian memperlihatkan Najwa memiliki fragmen DNA dari moyang yang berasal dari Afrika Utara, Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa Selatan, Afrika, Eropa Utara, diaspora Asia, diaspora Afrika, dan diaspora Eropa. Komposisinya sebesar 48,54 persen South Asian, North African 26,81 persen, African 6,06 persen, East Asian 4,19 persen, African Dispersed 4,15 persen, Middle Eastern 3,48 persen, Southern European 2,20 persen, Northern European 1,91 persen, dan Asian Dispersed 1,43 persen. Baca juga: Ternyata, Gen Arab Najwa Shihab hanya 3,4 Persen Namun, putri cendekiawan Muslim Quraish Shihab itu tidak merasa heran memiliki fragmen DNA dari banyak bangsa.  "Karena saya tahu moyang saya berasal dari Hadramaut (Yaman) dan Habib Ali itu ayahnya kakeknya Abi (Quraish Shihab). Jadi saya garis keturunan keempat dari Hadramaut yang kebanyakan seorang pedagang, seorang pendakwah juga, jadi memang berkeliling," kata Najwa. Baca juga: Unik, Najwa Shihab Punya DNA dari 10 Nenek Moyang, dari Mana Saja? "Dan kemudian membayangkan bahwa katanya di situ menjadi ada (DNA) Asia Selatan-nya, Afrika Utara-nya karena saya membayangkan pedagang jalur sutra, jadi sepertinya bukan suatu hal yang mengejutkan," tutur perempuan yang akrab disapa Nana itu.  Najwa menambahkan ia terlibat dalam penelitian itu karena ditawari teman-temannya di Historia yang dipimpin sahabatnya, Bonnie Triyana. Baca juga: Produser Mira Lesmana Miliki Gen DNA China hingga Irak Kurdi Ia tertarik bergabung setelah menyaksikan presentasi tujuan penelitian itu, yakni untuk mengetahui asal usul leluhur orang Indonesia. "Tujuan utamanya lebih bagaimana supaya menunjukkan bahwa Indonesia itu beragam," ucap pembawa acara televisi itu. "Bagaimana perbedaan itu bisa menjadikan kita jauh lebih kaya dan membuat kita bertoleransi. Mungkin memahami perbedaan satu sama lain. Buat saya itu tesis yang menarik dan saya langsung bilang oke mau," ucap Najwa. Baca juga: Hasil Tes DNA Mira Lesmana dan Riri Riza Punya Kesamaan, dari India hingga Jepang Dia mengaku tidak memerlukan waktu lama untuk menerima tawaran menjadi relawan di penelitian tersebut. "Jadi enggak pakai mikir sih langsung oke ketika diajak terlibat saya langsung mau," katanya. Najwa Shihab merupakan satu dari 16 relawan yang hasil tes DNA mereka dipamerkan dalam acara tersebut. Baca juga: Punya DNA China hingga Irak Kurdi, Mira Lesmana Langsung Hubungi Indra Lesmana Para relawan itu terdiri dari berbagai profesi dan latar belakang yang berbeda. Beberapa nama di antaranya adalah Ariel NOAH, Najwa Shihab, Mira Lesmana, Ayu Utami, dan Riri Riza. Sebagian lain merupakan peserta umum yang terpilih sebagai relawan untuk tes DNA tersebut. Baca juga: Terkejut Hasil Tes DNA, Mira Lesmana: Jadi Tahu Indonesia Itu Beragam Penelitian ini juga ditujukan untuk menjawab asal usul bangsa Indonesia yang memiliki 700 lebih bahasa dan 500 populasi etnik dengan budaya yang beragam. Penelitian genetik ini memakai metode DNA mitokondria yang diturunkan melalui jalur maternal atau ibu, lalu kromosom Y yang hanya diturunkan dari sisi paternal atau ayah, serta DNA autosom yang diturunkan dari kedua orangtua. Baca juga: Tercerahkan karena Hasil Tes DNA, Edo Kondologit: Jadi Istilah Pribumi Itu Enggak Ada Penanda genetik itu menunjukkan bukti adanya pembauran beberapa leluhur genetik yang datang dari periode ataupun dari jalur yang beragam.


ada suatu pertanyaan menyeruak kepada kaum Baalawi yang lain, apakah hasil tes DNA mereka sama semua? apakah pengakuan mereka benar bahwa mereka keturunan Arab Quraish? mengingat kaum baalawi hanya boleh menikah sesama keturunan suku Quraish lebih tepat nya keturunan Rasulullah SAW saja, seharusnya DNA mereka lebih condong ke DNA Timur Tengah (Middle Eastern) bukan ke asia selatan (Iran, India, Banglades, Pakistan) atau Afrika, memang butuh penelitian mendalam mengenai hal ini, tidak berdasarkan klaim sepihak demi kemaslahatan umat. Wallahua'alam bissawab.


Sumber 


HUKUM SYARIFAH (WANITA KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW) MENIKAH DENGAN AHWAL (BUKAN KETURUNAN NABI SAW)




Pembahasan Hadits Tentang Kafaah
Dalam kitab Makarim al-Akhlaq, karya Radhiyuddin Abi an-Nashr al-Hasan bin al-Fadhal at-Thabrasi, terdapat hadits yang berbunyi:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَتَزَوَّجُ فِيْكُمْ وَأُزَوِّجُكُمْ إِلاَّ فَاطِمَةَ فَإِنَّ تَزْوِيْجَهَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ، وَنَظَرَ رَسُوْلُ الله إِلَى أَوْلاَدِ عَلِي وَجَعْفَر فَقَالَ بَنَاتُنَا لِبَنِيْنَا وَبَنُوْنَا لِبَنَاتِنَا

“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa seperti kalian. Aku kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku dengan kalian, kecuali Fatimah. Karena, perkawinannya ditetapkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah SWT). Rasulullah pun memandang kepada anak-anak Ali dan Ja’far, seraya bersabda: ‘Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami’.”

Dalam kitab tersebut tidak disebutkan sanadnya. Tetapi, hadits ini diriwayatkan oleh al-Kulaini, dalam kitabnya al-Kafi, Juz V/568, dengan sanad yang majhul [tidak diketahui]. Karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai hujah untuk menetapkan hukum wajibnya kafa’ah. Sebagai tambahan Kitab al-Kafi ini adalah rujukan imam imam syiah pengganti hadits shahih menurut kepercayaan syiah laknatullah.

Dalam riwayat lain disebutkan:
كُلُّ بَنِي آدَمَ يَنْتَمُونَ إِلَى عَصَبَةِ أَبِيهِمْ إِلا وَلَدَ فَاطِمَةَ، فَإِنِّي أَنَا أَبُوهُمْ وَأَنَا عَصَبَتُهُمْ [الطبراني في الكبير من طريق عثمان بن أبي شيبة عن جرير عن شيبة بن نعامة عن فاطمة ابنة الحسين عن جدتها فاطمة الكبرى به مرفوعا]



“Semua anak Adam bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak Fatimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka.” [Hr. At-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dari ‘Utsman bin Abi Syibah dari Jarir bin Syibah bin Nu’amah dari Fatimah binti al-Husain dari neneknya, Fatimah al-Kubra diriwayatkan secara marfu’].

Status hadits ini menurut Ibn al-Jauzi, dalam al-‘Ilal al-Mutanahiyyah, “Innahu layashihhu, laisa bi jayyid[in]. (Hadits tersebut tidak shahih, dan tidak jayyid [baik]).” Di dalam sanad-nya juga terdapat Syibah, yang dinyatakan lemah. Namun, hadits ini mempunyai banyak pendukung (syawahid). Jika pun maknanya sahih, maka hadits ini menjelaskan kekhususan Nabi saw. dan keturunannya. Namun, hadits ini tidak menjelaskan tentang wajibnya kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, khususnya keluarga Nabi saw.

Mengenai hadits dari Ibn ‘Umar:

اَلْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ لِبَعْضٍ قَبِيْلَةٌ لِقَبِيْلَةٍ وَحَيٌّ لِحَيٍّ وَرَجُلٌ لِرَجُلٍ
“Orang-orang Arab setaraf satu dengan yang lain. Kabilah satu dengan kabilah lain, satu kampung dengan kampung yang lain, laki-laki yang satu dengan yang lain…”

Hadits ini palsu, tidak ada dasarnya. Ibn Abi Hatim berkomentar, “Aku telah bertanya kepada ayahku tentang hadits ini, beliau mengatakana, “Munkar”.”Sedangkan Ibn ‘Abd al-Barr berkomentar, “Hadits ini Munkar dan palsu [maudhu’].”. Dalam isnad-nya terdapat orang yang majhul, yaitu perawi yang meriwayatkan dari Ibn Juraij. Ad-Daruquthni berkomentar, dalam kitab al-‘Ilal, “La yashihhu [Tidak sahih].”

Begitu juga hadits al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal:
اَلْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ بَعْضٍ، وَالْمَوَالِيْ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ بَعْضٍ
“Orang-orang Arab sekufu’ satu dengan yang lain. Begitu juga kaum Mawali sekufu satu dengan yang lain.” Isnad hadits ini juga lemah.

Mengenai tindakan Nabi saw. menikahkan putrinya, Fatimah al-Kubra dengan saudara sepupunya, ‘Ali bin Abi Thalib, ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk mewajiban pernikahan antara sesama syarif dengan syarifah. Sebaliknya, mengharamkan pernikahan syarifdengan bukan syarifah, atau syarifah dengan bukan syarif. Karena, ada tindakan Nabi saw. yang lain, yang berbeda dengan ini. Ketika Nabi saw. menikahkan putri bibinya, Zainab binti Jahsy al-Asadiyyah dengan Zaid bin Haritsah. Padahal, Zainah adalah syarifah, sedangkan Zaid bin Haritsah bekas budak yang telah dimerdekakan.

Bukan hanya dalam bentuk tindakan, tetapi Nabi juga memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, putra dari bekas budaknya, Zaid bin Haritsah. Maka, Usamah bin Zaid pun menikahinya atas titah Nabi saw [Hr. Muttafaq ‘alaih]. Begitu juga Abu Hudzaifah bin Rabi’ah bin ‘Utbah telah mengadopsi Salim, bekas budak wanita Anshar, sehingga dikenal sebagai Salim “Maula” [bekas budak] Abi Hudzaifah. Salim dinikahkan oleh Abu Hudzaifah dengan keponakannya, putri saudara lelakinya, Hindun binti al-Walid bin Utbah. [Hr. Bukhari].

Mengenai perkataan ‘Umar bin al-Khatthab:
لَأَمْنَعُنَّ فُرُوْجَ ذَوَاتِالأحْسَابِ إِلاَّ مِنَ الأَكِفَّاءِ
 “Aku melarang kemaluan wanita-wanita dari keturunan mulia, kecuali untuk lelaki yang setaraf dengannya.”
Perkataan ‘Umar ini bukan hadits. Apa yang dinyatakan ‘Umar ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan karena tidak kafa’ah. maksud "Setaraf" dari ucapan Beliau maksudnya adalah setaraf Ilmu agamanya bukan dari nasab keturunannya.

Begitu juga pendapat Salman al-Farisi, sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Qudamah:
بَلْ أَنْتَ تَقَدَّمْ فَإِنَّكُمْ مَعْشَرَ الْعَرَبِ لاَ يُتَقَدَّمُ عَلَيْكُمْ فِي صَلاَتِكُمْ وَلاَ تُنْكَحُ نِسَاؤُكُمْ إِنّ اللهَ فَضَّلَكُمْ عَلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعَلَ فِيْكُمْ
 “Anda [Jarir] yang harus maju. Kalian kalian, wahai orang-orang Arab, kalian tidak boleh dipimpin dalam shalat kalian [oleh non-Arab]. Perempuan kalian juga tidak boleh dinikahi, sesungguhnya Allah memuliakan kalian atas kami karena Muhammad saw. Dia juga dijadikan di antara kalian.” [HR. al-Baihaqi]
Perkataan Salman ini juga bukan hadits. Apa yang dinyatakan Salman ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan karena tidak kafa’ah. Kalau pun ini dijadikan sebagai syarat, hanya syarat afdhaliyyahsaja, baik dalam imamahshalat maupun pernikahan.

Karena itu, tidak ada satu dalil pun yang bisa digunakan untuk mewajibkan kafa’ah bagi pasangan suami isteri, baik dari kalangan Arab dengan Arab, Arab dengan non-Arab, maupun syarifah dengan bukan syarifah. Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menyatakan, karena itu, maka nash-nash yang menyatakan kafa’ah adalah nash yang batil, atau tidak bisa digunakan untuk berhujah. Mensyaratkan kafa’ah juga bertentangan dengan sabda Nabi saw:
لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
 “Tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab terhadap non-Arab kecuali dengan ketakwaannya.” [Hr. Ahmad]

Syarat tersebut juga bertentangan dengan nash al-Qur’an:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
 “Sesungguhnya di antara kalian yang paling mulia di sisi Allah, adalah kalian yang paling bertakwa.” [Q.s. al-Hujurat: 13]

Karena itu, hadits-hadits tentang syarat kafa’ah, atau bahkan yang mewajibkan kafa’ah jelas harus ditolak, dari aspek riwayat maupun dirayah. Maka, Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menegaskan, bahwa hadits-hadits yang menyatakan tentang kafa’ah ini adalah hadits-hadits makdzubah [bohong/palsu] [Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 104].

Perbedaan Kafa’ah di Kalangan Ulama’
Sebagian fuqaha’, seperti Imam Ahmad, menggunakan sebagian hadits di atas sebagai argumen untuk menyatakan, bahwa kafa’ah merupakan syarat sahnya pernikahan. Jika tidak terpenuhi, maka kedua mempelai yang tidak sederajat itu harus dipisahkan. Ini juga merupakan pendapat Sufyan at-Tsauri. Dasar yang digunakan, selain hadits yang telah dinyatakan lemah di atas, juga pendapat ‘Umar dan Salman. Mengenai penggunaan kedua pendapat sahabat, ‘Umar dan Salman, bisa dimengerti, karena Imam Ahmad mengakui Mazhab Sahabat sebagai dalil.

Namun, ini bukan pendapat Imam Ahmad satu-satunya. Karena, Imam Ahmad juga mempunyai pendapat kedua, yang berbeda dengan riwayat pertama. Menurutnya, kafa’ah bukan syarat sahnya pernikahan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama’, bukan hanya pendapat Imam Ahmad. Pendapat ini ternyata juga merupakan pendapat ‘Umar, Ibn Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ‘Ubaid bin ‘Umair, Hammad bin Sulaiman, Ibn Sirin, Ibn ‘Aun, Imam Malik, as-Syafii dan Ashhab ar-Ra’y [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/387-388].

Dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan, bahwa bangsa Arab non-Quraisy tidak kafa’ahdengan Quraisy. Non-Bani Hasyim juga tidak kafa’ah dengan Bani Hasyim. Pendapat Imam Ahmad ini bisa dimengerti, karena menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil. Ini juga merupakan pendapat pengikut mazhab Syafii, berdasarkan sabda Nabi saw:
إنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ، وَاصْطَفَى مِنْ كِنَانَةَ قُرَيْشًا، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِيْ مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ.
 “Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim]

Pendapat pengikut mazhab Syafii ini sama dengan pendapat Abu Hanifah. Beliau berkata, “Orang non-Arab tidak kafa’ah dengan orang Arab. Orang Arab tidak kafa’ah dengan Quraisy. Semua kaum Quraisy itu kafa’ah.”

Namun, sekali lagi, dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan sebaliknya, bahwa bangsa Arab satu dengan yang lain sama-sama kafa’ah. Bangsa non-Arab juga demikian, satu dengan yang lain, juga sama-sama kafa’ah. Alasannya, karena Nabi saw. telah menikahkan kedua putrinya dengan ‘Utsman. Baginda saw. juga menikahkan putrinya, Zainab binti Muhammad saw. dengan Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’. Padahal, keduanya berasal dari Bani ‘Abdi Syam, bukan dari Bani Hasyim. ‘Ali bin Abi Thalib juga telah menikahkan ‘Umar dengan putrinya, Ummu Kaltsum, dengan ‘Umar bin Khatthab. Meski ‘Umar bukan dari Bani Hasyim. Begitu juga ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsman telah menikahi Fatimah binti al-Husain bin ‘Ali, sedangkan Mush’ab bin az-Zubair menikahi saudara Fatimah, Sukainah. Miqdad bin al-Aswad menikahi Shuba’ah binti az-Zubair bin ‘Abdul Muthallib, putri paman Nabi saw. Padahal, keduanya berbeda nasabnya [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/392-393].

Karena itu, pendapat yang menyatakan kewajiban kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, di kalangan fuqaha’ adalah pendapat syar’i, setidaknya jika mazhab yang menyatakannya menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil. Sebagaimana Imam Ahmad, misalnya. Namun, jika mazhab tersebut tidak menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil, seperti pengikut mazhab Syafii, maka pendapat ini tentu bukan pendapat syar’i. Dengan catatan, jika pendapat tersebut didasarkan pada Mazhab Sahabat.

Namun, jika pendapat tersebut didasarkan pada hadits lain, yaitu “Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim], sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah, maka hadits ini tidak menunjukkan kewajiban kafa’ahpasangan suami-isteri. Dengan demikian, pendapat yang paling kuat, adalah pendapat yang menyatakan, bahwa kafa’ah tersebut bukan syarat, juga bukan kewajiban bagi pasangan suami-isteri.

Masalah Agama dan Kerelaan Bukan Masalah Kafa’ah
Mengenai faktor agama yang dijadikan ukuran kafa’ah antara suami-isteri, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, Syafii, Malik dan Abu Hanifah, dalam hal ini Imam Malik berkata, “Kafa’ah hanya dalam masalah agama, bukan yang lain.” Sebagaimana firman Allah SWT:
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لاَ يَسْتَوُوْنَ
“Apakah sama orang yang beriman dengan orang yang fasik, tentu mereka tidak sama.” [Q.s. as-Sajdah: 18]
Ibn al-Mundzir menukil dari al-Buwaithi, bahwa Imam as-Syafii berkata, “Kafa’ah itu dalam agama.” Pendapat ini juga dinyatakan dalam kitab Mukhtashar al-Buwaithi. Dalam kitab Fath al-Bari, beliau menyatakan, “Kafa’ah dalam agama yang diakui merupakan perkara yang disepakati. Maka, tidak halal seorang wanita Muslimah bagi lelaki Kafir.” [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]
Mengenai perbedaan agama ini, menurut al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, sebenarnya ini bukan pembahasan tentang kafa’ah. Tetapi, ini merupakan pembahasan tentang pernikahan kaum Muslim dengan non-Muslim. Ini tentu merupakan pembahasan lain. Hal yang sama juga terkait dengan kefasikan seseorang, ini sebenarnya tidak terkait dengan masalah kafa’ah. Tetapi, masalah pilihan dan kerelaan.

Imam as-Syafii menyatakan, bahwa asal muasal kafa’ah dalam pernikahan, sebenarnya adalah hadits Barirah [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]. Dalam hal ini, Barirah, budak wanita, menikah dengan sesama budak. Ketika Barirah dimerdekakan, sementara suaminya masih menjadi budak, maka dia diberi pilihan, apakah mau tetap menjadi isteri budak tersebut, atau membatalkan nikahnya. Diriwayatkan dari al-Qasim dari ‘Aisyah, bahwa Barirah ketika itu masih menjadi isteri dari seorang budak. Ketika dia dimerdekakan, Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Kamu pilih, jika kamu mau, maka kamu tetap menjadi isteri budak ini. Jika kamu mau, kamu bisa meninggalkannya.” [HR. Ahmad]. Dalam riwayat Muslim dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, “Barirah telah dimerdekakan. Suaminya tetap menjadi budak. Rasulullah saw. memberikan pilihan kepadanya. Kalau suaminya sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.”

Jadi, pilihan yang diberikan Nabi saw. kepada Barirah tidak terkait dengan masalah kafa’ah atau tidak, melainkan terkait dengan status suaminya yang masih menjadi budak, dan konsekuensi Barirah menjadi isteri budak. Karena itu, ‘Aisyah berkomentar, “Kalau suaminya sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.” [Hr. Muslim].

Dari sini bisa dipahami, bahwa diberikannya pilihan kepada Barirah untuk bertahan menjadi isteri budak, atau tidak, merupakan bukti yang kuat, bahwa ini masalah pilihan. Tidak terkait dengan rusak dan tidaknya akad pernikahannya, karena tidak kafa’ah. Ini berbeda dengan perbedaan agama, karena ini bukan masalah pilihan. Dalam kasus suami murtad, misalnya, jelas status pernikahannya batal (fasakh). Begitu juga wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, baik Kristen, Yahudi, Hindu, Budha maupun yang lain. Dengan atau tanpa keputusan pengadilan, status pernikahan pasangan ini jelas batal.



Kontroversi Masalah Ahlul Bait

Dengan menyebut Nama Allah Yang Rahmaan dan Rahiim. Maha Suci Allah, Maha Benar Allah atas segala firmanNya. Salawat dan Salam kami haturkan kepada Rasulullah SAW, para keluarga (Ahlul Bait), para Sahabat, juga para pengikut Beliau yang istiqamah hingga akhir hayat. Kontrovesi berkecamuk secara terselubung dalam dada ummat Islam, yang pada dasarnya dibagi menjadi dua kubu raksasa, yaitu Arabi (orang Arab, berketurunan Arab, atau Peranakan Arab) dan Ajami/ Ahhwal (nonArab). Ini bukan persoalan geografis, ini mengenai tempat dimana diturunkannya Islam dan penyebarannya yang awal. Arab (Mekah dan Madinah) merupakan sentral Islam, yang mana ramai orang berasumsi bahwa “oleh karenanya Arabi lebih memahami Islam dibandingkan dengan Ajami,” atau dengan kalimat lain “Ajami belajar Islam dari Arabi.” Arabi kemudian terbagi menjadi dua, yakni Sayyid (dan Sayyidah) dan Masyaikh (biasa disebut Arab Syekh atau Tuan). Arab Sayyid (dan Sayyidah) inilah yang disebut Ahlul Bait (Anak Cucu atau Rasulullah SAW yang berbangsa Arab). Lalu ada persoalan apakah dengan hal tersebut? Persoalannya duduk pada “tingkat kemuliaan,” dimana disebutkan bahwa kedudukan Ahlul Bait (Arab Sayyid) lebih mulia dari pada Ajami; meskipun kita samasama tahu bahwa Rasulullah SAW adalah As’adal Arabi wal Ajami, atau Pimpinan Arabi dan Ajami. Dalam konteks yang sangat terbatas, Rasulullah SAW memandang sama seluruh muslim adalah ummat yang dicintainya.

Dalam konteks lain, Ahlul Bait adalah keturunan (tetesan darah Rasulullah yang Mulia) yang memang patut dicintai oleh setiap Muslim yang beriman, bukan hanya sekedar dihormati saja. Bahkan terhadap sesama Arabi, Masyaikh patut memuliakan Sayyid. Hal ini dikarenakan oleh cinta kepada Rasulullah SAW; darah Rasulullah yang Mulia mengalir dalam darah Ahlul Bait. Kontroversi mulai muncul saat terbukanya hukum hukum tertentu yang diberlakukan berdasarkan penafsiran berbagai macam dalil yang mutawattir dan bertanggungjawab, yang mengatur interaksi antara Ahlul Bait dan yang non Ahlul Bait. Ada kemungkinan bahwa masyarakat Ajami yang berbeda pendapat merasa terdiskredit dengan hukum-hukum yang akan dijelaskan nanti. Lebih dari itu, hukum-hukum tersebut menempatkan posisi Ajami pada level yang terlalu inferior; dalam kondisi tertentu dapat disebut terintimidasi secara harga diri. Sebagai tindak respon, sebagian Ajami yang merasa “terdiskreditkan” hampir menolak hukumhukum tersebut, meskipun sikap mereka tidak akan merubah keadaan. Respon Ajami tersebut oleh sebagian Ahlul Bait dianggap negatif, bahkan disebut sebagai bentuk kedengkian yang merupakan raja dari penyakit hati. Sejarah Ahlul Bait serupa dengan lorong-lorong panjang yang memiliki banyak tikungan, namun bukanlah sebuah labirin. Singkat cerita, Ahlul Bait adalah keturunan Rasulullah SAW dari silsilah Imam Ali bin Abi Thalib (Karamallahu Wajhahu) dan Siti Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW; khususnya dari Imam Al-Hasan dan Al-Husain.

Rasulullah SAW dikaruniai keturunan yang secara gen dari garis perempuan (Puterinya yang Mulia Siti Fathimah). Jika bangsa Arab menganut pola keturunan matrilineal, maka hal itu sah saja. Namun jika bangsa Arab, setidaknya pada saat itu, menganut pola keturunan patriarki, maka ceritanya bisa menjadi lain. Dan seperti yang akan saya paparkan, ada sedikit paradoks dalam situasi ini. Keutamaankeutamaan Ahlul Bait hampir tidak dapat dihitung jika dibandingkan dengan Ajami yang konon “tidak ada apa-apanya” dibandingkan dengan Ahlul Bait. Inilah yang menjadi kontroversi antara Ahlul Bait dengan yang nonAhlul Bait.


AHLUL BAIT DISUCIKAN OLEH ALLAH SWT

Benarkah demikian? Jawabannya adalah “Ya, benar!” Allah SWT telah Menyatakannya dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan dosadosa dari kalian Ahlul Bait, dan mensucikan kalian sesuci sucinya.” (QS. AlAhzab: 33).
Ini merupakan deklarasi awal kemuliaan Ahlul Bait; Allah SWT “HENDAK” mensucikan para Ahlul Bait sesuci-sucinya. Ini berarti Ahlul Bait adalah orang-orang yang "HENDAK" disucikan oleh Allah SWT, bahkan ketika Ahlul Bait itu tidak berupaya untuk mensucikan dirinya sendiri. Bagaimana dengan mereka yang kebetulan Ahlul Bait namun melakukan kemungkaran? Sebagai manusia yang memiliki potensi ganda, perbuatan buruk dapat dilakukan oleh siapa saja. Jika salah satu Ahlul Bait (dari keturunannya) melakukan hal mungkar, apakah ayat tersebut masih berlaku? Dimanakah letak keadilan Allah SWT? Jawabannya singkat, mereka sama akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan di bumi karena hukum ini berlaku sama untuk semua umat manusia tanpa terkecuali. Lalu bagaimanakah kiranya jika dia meninggal saat baru saja atau dalam melakukan kemungkaran? Pertanyaan ini biarlah dijawab oleh Ahlul Bait sendiri. Jika diperhatikan, ayat di atas mengandung modal “hendak” yang orientasinya adalah sesuatu yang belum terlaksana.



Pemahaman yang beredar awet selama ini seakan-akan firman Allah tersebut berbunyi “Sesungguhnya Allah mensucikan…” atau “Sesungguhnya Allah telah mensucikan…” Allah SWT tidak mensucikan orang-orang yang melaksanakan perbuatan mungkar jika dia tidak bertobat dan merubah kelakuannya. Firman tersebut hendaknya dimaknai sebagai sebuah ultimatum bahwa Ahlul Bait seyogianya menjaga akhlaknya agar tidak terjerumus dalam jurang dosa, karena sebagai keturunan Rasulullah SAW, mereka bertanggungjawab atas kelanggengan ajaran Islam yang dibawa oleh Beliau SAW. Jika ada Ahlul Bait yang menyalahi hukum, maka ayat di atas tidak berlaku atas dirinya. Bagaimana dengan Ajami? Apakah ada hak istimewa yang serupa?


Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

“…Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendakiNya dan menyiksa siapa yang dikehendakiNya”
(QS. Al-Baqarah:284/Al-Maidah: 18)


“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (sebagai pewaris Al-Qur’an) dan menghapuskan segala segala kesalahanmu dan mengampuni dosa-dosamu…”
(QS. Al-Anfal: 29)

“…sesungguhnya Tuhanmu mengampuni orangorang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat dan sesudah itu memperbaiki dirinya…”
(QS. An-Nahl:119)

“…tetapi orang yang berlaku zalim, kemudian ditukarkannya kezalimannya dengan kebaikan (Allah akan mengampuninya); maka sesungguhnya Aku maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An-Naml:11)


“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosadosamu…”
(Al-Ahzab:70-71)

“…janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya…”
(QS. Az-Zumar:53)


“…dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensicikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri…”
(QS. Al-Fathir: 18)

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 910)

Ayat-ayat di atas adalah ayat-ayat yang sifatnya umum. Orang Ajami/Ahwal yang beriman pun merupakan orang-orang yang “disucikan oleh Allah” sesuci-sucinya (sedangkan orang kafir dan zalim sekalipun masih diampuni atau disucikan oleh Allah jika dia berbuat baik!). Dalam hal ini, tentu saja yang dimaksudkan dengan “mensucikan” adalah mengampuni dosadosa. Secara otomatis, siapapun yang tidak beriman, tidak mensucikan dirinya, maka tidak akan disucikan oleh Allah SWT. Tidak akan ada keraguan dalam al-Qur’an, tidak ada ayatayat yang bertolakbelakang. Setiap ayat menjelaskan ayat lainnya. Untuk bisa memahami maksud Allah dengan “hendak mensucikan” dalam surat al-Ahzab ayat 33 di atas, kita membutuhkan ayat-ayat yang saya kutip di atas. Intinya, Allah SWT mensucikan orang-orang yang Dia Kehendaki, yaitu orang-orang yang beriman dan mensucikan dirinya; baik itu Ajami maupun Arabi; baik itu Ahlul Bait, maupun yang non-Ahlul Bait.

Dengan demikian, tudingan bahwa Ahlul Bait itu superior dan Ajami inferior dalam hal pensucian (pengampunan) dosa (sesuci-sucinya) itu tidaklah relevan. Ajami tidak perlu merasa terdiskredit, karena Allah itu Maha Adil. Menggunakan ayat 33 dari surat al-Ahzab tanpa dikaitkan dengan ayatayat

seperti yang saya kutip di atas (dan masih banyak ayatayat yang demikian) hanya memoles “wajah Tuhan” sebagai Dzat yang tidak adil, dan itu salah satu dosa besar.


AHLUL BAIT ADALAH PEWARIS ALQUR’AN
ayat 32 dalam surat al-Fathir yang berbunyi:
“Kemudian Kitab itu (Al-Qur’an) Kami wariskan kepada orang orang dari hamba Kami yang telah Kami Pilih.”
Terdapat kemuliaan Ahlul Bait, karena yang dimaksudkan dengan “hamba terpilih” adalah para Ahlul Bait (ini dilansir oleh salah satu penulis Ahlul Bait yang bukunya digunakan untuk kalangan Ahlul Bait saja). Ini memang agak beresiko. Mengapa tidak? Allah sendiri tidak menyebutkannya dalam ayat tersebut, dan ayat tersebut sama sekali bukan ayat mutasyabih. Justru ayat tersebut berkenaan dengan ayat ke 29 surat Al-Anfal bahwa pewaris Al-Qur’an adalah orang-orang yang beriman. Menurut penulis Ahlul Bait yang saya sebut di atas, alasan Ali Ar-Ridha pendeta syiah adalah “jika yang dimaksudkan adalah seluruh ummat Muslim, maka tentu semuanya akan menjadi penghuni syurga.” Memang ada benarnya, ayat tersebut bukan untuk seluruh ummat Muslim; tetapi mereka yang terpilih. Namun yang terpilih bukan saja Ahlul Bait, tetapi orang-orang yang beriman; baik itu dari kalangan Ahlul Bait, maupun yang nonAhlul Bait. Sehingga, komentar penulis bahwa

“…jadi yang mewarisi Kitab Suci adalah Al-Ithrah At-Thahirah (keluarga suci keturunan Rasulullah SAW.) bukan orang-orang selain mereka…” menurut saya agak prematur. Saya khawatir kemuliaan yang dianugerahkan oleh Allah menjadi bibit ujub dalam hati dan merusak iman. Beberapa literatur Ahlul Bait memang terkesan subjektif dan pragmatis. Saya menggunakan kata “beberapa” sebagai implikatur skalar yang maksudnya berbeda dengan “banyak” tetapi lebih dekat bermakna “sedikit.” Saya sebut subjektif karena tidak jelas objeknya. Kaum Ajami kadang digeneralisir sebagai “orang yang membenci Ahlul Bait,” kurang iman, pelontar fitnah, dan sebagainya (misalnya dalam sebuah tulisan yang berjudul “Tuntutan Tanggung Jawab terhadap Ahlul Bait dan Kafa’ahnya). Siapa sebenarnya yang menjadi objek dari tudingan tersebut tidak jelas, sehingga tulisan tersebut subjektif. Saya sebut pragmatis karena TERLALU BANYAK ayat-ayat yang penafsirannya terkondisi.

TERLALU BANYAK ayat-ayat “umum” yang ditafsirkan secara “khusus” dalam konteks ke Ahlul Bait—an seperti contoh yang baru saya paparkan. Misal lain, untuk memperkuat tudingan mengenai “orang yang membenci Ahlul Bait” ini, penulis Ahlul Bait buku yang saya sebut tadi menggunakan ayat ke 54 surat anNisa

yang tidak ditulis secara penuh. Dalam buku tersebut (pada halaman 15) ditulis:
“Ataukah mereka manusia (masih merasa iri hati terhadap apa-apa yang telah diberikan Allah pada orang-orang (yang merupakan) karuniaNya.”

Sedangkan ayat tersebut merupakan rangkaian yang fatal jika dipisahkan dari ayat ke 49 sampai dengan ayat ke 55 dari surat anNisa. Saya bersedia menuliskannya disini:

Ayat 49: ”Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (ayat ini ada hubungannya dengan kontroversi pertama).

Ayat 50: “Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata bagi mereka.”
Ayat 51: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari alkitab? Mereka percaya kepada jibt dan thagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.”

Ayat 52: “Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah. Barangsiapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.”

Ayat 53: “Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikitpun (kebajikan) kepada manusia,” [ayat ini diakhiri dengan koma, bukan titik, yang artinya adalah sinyal transisi, bukan akhir ayat,]

Ayat 54: “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.”

Ayat 55 “Maka di antara mereka (orangorang yang dengki itu), ada orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) beriman kepadanya. Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang kekal.”

Ayat-ayat di atas ditujukan kepada orang-orang yang merasa dirinya suci, yang menyembah jibt dan thagut, yang kaya raya namun kikir, dan kemudian memerangi Rasulullah SAW dalam mengajak ummat manusia ke dalam iman. Jangan jadikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai penguat hujjah yang subjektif secara pragmatis. Ini merupakan kritikan bagi mereka yang tidak mau bijak (meskipun mampu) dalam melansir ayat suci.





MENIKAHI PEREMPUAN AHLUL BAIT BERARTI MEMUTUSKAN HUBUNGAN FAMILINYA DENGAN RASULULLAH SAW



Lelaki kaum Ajami tidak dibenarkan menikahi salah seorang perempuan dari kalangan Ahlul Bait, anak cucu Rasulullah SAW yang mulia lagi disucikan oleh Allah SWT. Apabila hal tersebut tetap terjadi, maka setiap adanya senggama antara mereka, maka mereka terhukum zina. Selain itu, perbuatan tersebut tidak dianggap berdasarkan cinta, melainkan hawa nafsu yang merusak; terutama memutuskan hubungan famili antara perempuan tersebut dengan Rasulullah SAW. Sehingga, bagi kalangan Ahlul Bait, menikahi perempuan dari kalangan Ahlul Bait (jika lelakinya Ajami) merupakan tindakan kriminal; meskipun hal itu terjadi atas dasar cinta (mahabbah) karena Allah dan Rasul. Hukum ini disebut kafa’ah, atau kesederajatan. Kalangan Ahlul Bait (berdasarkan penafsiran atas berbagai dalil) sangat menjaga hubungan famili dengan Rasulullah SAW. Tidak terkecuali, kalangan Ajami pun senantiasa mencintai dan menjaga hal tersebut. Salah satu cara untuk menjaga nasab menuju Rasulullah SAW adalah dengan tidak menikahkan perempuan-perempuan

Ahlul Bait dengan lelaki-lelaki yang non Ahlul Bait. Kelihatannya, pola keturunan patriarki yang dianut. Sedangkan ketika Rasulullah SAW mendeklarasikan Ahlul Baitnya melalui nasab puterinya, kelihatan pola keturunan matrilineal yang dianut. Sebuah Hadits menyebutkan: “Fathimah adalah bagian dari diriku. Apa yang membuatnya marah akan membuatku marah. Apa yang melegakannya akan melegakanku. Sesungguhnya semua nasab akan terputus pada hari kiamat, selain nasabku, sebabku, dan keturunanku.” (HR. Ahmad dan alHakim).

Paradoks pola keturunan yang disebutkan di atas bersumber dari sebuah hadits pula:

“Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka, kecuali anak Fathimah



(Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain), akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab.” (HR. Baihaqi dan At-Thabrani).

Paradoks ini sama sekali tidak bermuatan negatif, melainkan positif. Rasulullah SAW bermaksud menyelamatkan ummat dari perbuatan nista, dan menyelamatkan keturunannya dari terputusnya nasab. Pada hari kiamat, dalam surat al-Mukminun ayat 101 disebutkan, akan putus segala nasab. Ayat ini menunjukkan satu hal, yaitu bahwa setiap orang menjadi pribadi masing-masing yang akan mempertanggung jawabkan amal perbuatannya. Untuk nasab Rasulullah SAW, insya Allah akan mendapatkan naungan dari kemuliaan Beliau yang Tercinta. Hanya saja, menilik sejarah (bahkan dilansir oleh penulis Ahlul Bait), Rasulullah SAW menikahkan puteri-puteri Beliau yang lain dengan para sahabat Beliau. Ruqayyah (juga Ummu Kultsum) dinikahkan dengan Sayyidina Utsman bin Affan r.a., Zainab dinikahkan dengan Abul ‘Ash bin arRabi. Mungkin hal tersebut tidak memutuskan nasab Rasulullah SAW. Kami berharap puteri-puteri Rasulullah SAW yang tercinta tidak terputus nasabnya. Kami berharap meskipun kami yakin bahwa mereka tidak terputus nasabnya, karena mereka menikahi lelaki beriman; Allah mengharamkan perempuan beriman menikahi lelaki musyrik, begitu pula sebaliknya. Di sisi lain, pada hakikatnya, menikah itu memperlebar jalur kekeluargaan, bukan memutuskannya. Menikah dengan orang berbeda agama berarti murtad. Menikah dengan orang tidak beriman berarti fasik. Tetapi menikah dengan orang seagama dan beriman adalah memperlebar keluarga beriman, memperpanjang nasab. Demikianlah pandangan Ajami dalam memahami ayat-ayat pernikahan yang sarat dalam surat an-Nisa.

Masih banyak lagi hukum-hukum yang mengandung kontroversi yang tidak sempat saya ulas dalam artikel ini. Dalam menulis artikel ini, saya mengambil posisi netral sebagai moderator. Saya tidak bermaksud mewakili Ajami juga bukan Ahlul Bait; meskipun dalam beberapa hal saya juga terkoptasi dengan pemikiran Ajami yang berbeda dengan Ahlul Bait; dimana saya juga kurang setuju dengan cara-cara para penulis Ahlul Bait yang secara arogan menginferiorkan Ajami. Melalui ini pula, saya hendak berpesan pada kaum Muslimin Ajami bahwa status manusia di hadapan Allah itu sama; terkecuali para Ahlul Bait, Allah membedakannya dalam hal-hal tertentu.


Mari sama-sama kita cintai Rasulullah SAW dan Ahlul Bait Beliau, dan menjaga hukum-hukum yang maktub. Ajami adalah pelindung Ahlul Bait, pagar besi yang menjaga mereka agar tidak tersentuh kaum yang membenci mereka.

Sedangkan kepada kaum Muslimin Ahlul Bait, hendaknya menghormati kaum Ajami yang adalah pelindung dan pencinta. Perbedaan pendapat yang ada sebenarnya bersumber dari keteledoran penulis Ahlul Bait yang mendiskreditkan kaum Ajami; yang secara arogan menuding kiri dan kanan. Status dan perlakuan istimewa layak untuk didapatkan oleh Ahlul Bait. Hukum-hukum interaksi wajib ditegakkan. Namun untuk urusan kemuliaan, biarlah Allah yang menetapkannya.

Dengan ini saya menyimpulkan bahwa pernikahan antara Syarifah dengan Ajami adalah sah apabila didasarkan oleh keimanan agama dan Allah SWT, permasalahan kafa'ah adalah hanya sebuah budaya yang konyol dikarenakan ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW selalu mengajarkan kita PERSAMAAN=EQUALITY=KAFA'AH yang benar adalah kita sebagai makhluk Allah SWT mempunyai hak yang sama di mata Allah.

Al-Ahzab 40:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” ()

Surat AL-Hujarat 13:
aku ciptakana manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal (bukan untuk saling menjatuhkan) sesungguhnya iman seseorang lah yang jadi pembeda di mata ALLAH SWT.

Dengan ini saya menyimpulkan bahwa pernikahan antara Syarifah dengan Ajami adalah sah apabila didasarkan oleh keimanan agama dan Allah SWT, permasalahan kafa'ah adalah hanya sebuah budaya yang konyol dikarenakan ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW selalu mengajarkan kita PERSAMAAN=EQUALITY=KAFA'AH yang benar adalah kita sebagai makhluk Allah SWT mempunyai kewajiban dan hak yang sama.

10 Kasus wanita Ahlulbayt menikah dengan non ahlulbayt:

1. Ruqayyah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Utsman bin Affan.

2. Ummu Kultsum binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Utsman bin Affan.

3. Zainab binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Abul ‘Ash.

4. Ummu Kultsum bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Umar bin Al-Khatthab.

5. Sukainah binti Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Zaid bin Umar bin Utsman bin Affan.

6. Fathimah binti Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan.

7. Fathimah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Al-Mundzir bin Zubair bin Al-Awam.

8. Idah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Nuh bin Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah.

9. Fathimah binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Ayyub bin Maslamah Al-Makhzumi.



10. Ummul Qasim binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Marwan bin Aban bin Utsman bin Affan.

tidak mengapa seorang syarif menikahkan putrinya dengan orang yang bukan syarif jika memang putrinya tersebut rela. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menikahkan putri-putri beliau dengan sebagian sahabat yang bukan dari Bani Hasyim. Semisal Utsman bin Affan dan Abul ‘Ash bin Ar Rabi’ radhiallahu’anhum. Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu juga menikahkan putrinya dengan Umar bin Khatab radhiallahu’anhu. Demikian juga Sukainah bin Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib pernah menikah dengan empat orang lelaki yang bukan dari Bani Hasyim. Demikianlah praktek para salaf terdahulu dan hal ini tidak bisa diingkari.

Sampai hari ini barulah ada sebagian orang di sebagian negeri yang enggan melakukan hal tersebut, yang karena takabbur (sombong) dan ingin diagungkan, sehingga mereka membatasi calon pengantin putrinya hanya dari kalangan tertentu saja.
Hal ini jelas akan menimbulkan kerusakan dan bahaya yang besar. Cukuplah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para khulafa ar rasyidin sebagai teladan yang baik bagi kita.

Lisanul hal afshah min lisanil maqaal (Tindakan lebih fasih dari ucapan). inilah pernikahan yang dicontohkan oleh Rasulullah kepada para Sahabat beserta anak cucu mereka.
Sesungguhnya pernikahan diatas adalah pernikahan yang sah walaupun Sang laki laki bukan dari golongan Sayyid, apabila ada golongan yang mengatakan bahwasannya menikahkan Syarifah bukan kepada Sayyid adalah perbuatan yang HARAM, maka golongan itu sudah mengharamkan pernikahan pernikahan para sahabat dengan anak dan cucu Rasulullah diatas. Wallahualam bissawab.

Assalamu’alaikum.

Larangan Duduk Memeluk Lutut Saat Khutbah Jumat

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc   Tidak sedikit jamaah shalat Jumat yang duduknya dalam keadaan memeluk lutut. Bahkan saking enaknya duduk ...