Tahukah Anda, Bank Indonesia Milik Siapa?


*Bank sentral adalah perusahaan swasta yang diberi hak monopoli mencetak uang. BI milik siapa*?

KEBANYAKAN orang, warga negara di hampir semua negara nasional di dunia ini, tidak memahami bahwa mata uang kertas yang mereka pakai di negaranya *bukanlah terbitan pemerintah setempat*. Hak monopoli penerbitan uang kertas diberikan *kepada perusahan-perusahaan swasta* yang menamakan dirinya sebagai “bank sentral”. Sebelum ada bank sentral sejumlah bank swasta menerbitkan nota bank yang berlaku sebagai alat tukar tersebut. Dimulai di Inggris, dengan kelahiran Bank of England, hak menerbitkan uang kertas itu mulai diberikan hanya kepada satu pihak saja. *Memang, kebanyakan bank sentral itu melabeli dirinya dengan nama yang berbau-bau nasionalisme*, sesuai negara masing-masing.

Bank Sentral Milik Keluarga-Keluarga

Marilah kita ambil bank sentral paling berpengaruh saat ini, yaitu Federal Reserve AS, yang menerbitkan dolar AS. Saham terbesar Federal Reserve of America ni dimiliki oleh dua bank besar, yaitu Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%) , Manufacturers Hannover (7%), dsb. Sampai pada tahun 1983 sebanyak 66% dari total saham Federal Reserve AS ini, setara dengan 7.005.700 saham, dikuasai hanya oleh 10 bank komersial, sisanya 44% dibagi oleh 17 bank lainnya.

Bahkan, kalau dilihat dengan lebih sederhana lagi, 53% saham Federal Reserve AS dimilik hanya oleh lima besar yang disebutkan di atas. Bahkan, kalau diperhatikan benar, saham yang menentukan pada Federal Reserve Bank of New York, yang menetapkan tingkat dan skala operasinya secara keseluruhan berada di bawah pengaruh bank-bank yang *secara langsung dikontrol oleh ‘London Connection’*, yaitu, Bank of England, yang *dikuasai oleh keluarga Rothschild*.

Sama halnya dengan bank-bank sentral di berbagai negara lain, namanya berbau nasionalis, tapi pemilikannya adalah privat. Bank of England, sudah disebutkan sebelumnya, bukan milik rakyat Inggris tapi para bankir swasta, yang sejak 1825 sangat kuat di bawah pengaruh satu pihak saja, keluarga Rothschild. Pengambilalihan oleh keluarga ini terjadi *setelah mereka mem-bail out utang* negara saat terjadi krisis di Inggris. Deutsche Bank bukanlah milik rakyat Jerman tapi dikuasai oleh keluarga Siemens dan Ludwig Bumberger.

Sanghai and Hong Kong Bank bukan milik warga Hong Kong tapi di bawah kontrol Ernest Cassel. Sama halnya dengan National Bank of Marocco dan National Bank of Egypt didirikan dan dikuasai oleh Cassel yang sama, bukan milik kaum Muslim Maroko atau Mesir. Imperial Ottoman Bank bukan milik rakyat Turki melainkan dikendalikan oleh Pereire Bersaudara, Credit Mobilier, dari Perancis. Demikian seterusnya.
Jadi, ‘Bank-bank Nasional’ seperti ini, sebenarnya, adalah sindikat keuangan inter-nasional, modal ‘antar-bangsa’ yang secara riel tidak ada dalam bentuk aset nyata (specie) apa pun, kecuali dalam bentuk angka-angka nominal di atas kertas atau byte yang berkedap-kedip di permukaan layar komputer. Bank-bank ini sebagian besar dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sebagian sudah disebutkan di atas.

Utang-utang yang mereka berikan kepada pemerintahan suatu negara tidak pernah diminta oleh rakyat negara tempat mereka beroperasi tapi dibuat oleh pemerintahan demokratis yang mengatasnamakan warga negara. Mereka, para bankir ini, adalah orang-orang yang tidak dipilih, tak punya loyalitas kebangsaan, dan tidak akuntabel, tetapi mengendalikan kebijakan paling mendasar suatu negara. *Dan, setiap kali mereka menciptakan kredit, setiap kali itu pula mereka mencetak uang baru dari byte komputer belaka*.

*Bank Indonesia Milik Siapa*?

Kalau bank-bank sentral di negeri-negeri lain milik keluarga tertentu yang tidak memiliki loyalitas kebangsaan, siapakah yang memiliki Bank Indonesia?

Ini adalah pertanyaan valid yang seharusnya kita ajukan sebagai warga negara Republik Indonesia. Kita tahu, rupiah pun diterbitkan oleh BI, sebagai pihak yang diberi hak monopoli untuk itu. Kita tidak pernah diberitahu siapa pemegang saham BI. Tapi, marilah kita tengok sejarah asal-muasal bank sentral di Indonesia ini.

Begitu Indonesia dinyatakan merdeka, para pendiri republik baru ini, menetapkan BNI 1946 sebagai bank sentral, dan menerbitkan uang kertas pertamanya, yaitu ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), dengan standar emas, setiap Rp 10 didukung dengan 2 gr emas. Ini artinya rupiah dijamin 1/5 gram emas per 1 rupiah.

Tapi, ketika Ir Soekarno dan Drs M Hatta menyatakan kemderdekaan RI, Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengakuinya, apalagi menyerahkan kedaulatan republik baru ini. Belanda mengajukan beberapa syarat untuk dipenuhi, dan selama beberapa tahun terus mengganggu secara milter, dengan beberapa agresi KNIL. Akhirnya, sejarah menunjukkan pada kita, terjadilah perundingan itu, 1949, dengan nama Konferensi Meja Bundar (KMB).

Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949, disepakatilah beberapa kondisi *pokok* agar RI dapat pengakuan Belanda.

*Pertama, penghentian Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 sebagai bank sentral republik*, dan digantikan oleh N.V De Javasche Bank, sebuah perusahaan swasta milik beberapa pedagang *Yahudi Belanda*, yang berganti nama menjadi Bank Indonesia (BI).

Kedua, dengan lahirnya bank sentral baru itu pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI), sebagai salah satu wujud kedaulatan republik baru itu dihentikan, *digantikan dengan Uang Bank Indonesia* (direalisasikan sejak 1952).

Ketiga, bersamaan dengan itu, *utang pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar* dolar AS kepada para bankir swasta itu tentunya – *diambilalih dan menjadi “dosa bawaan” republik baru ini*.

Kondisi ini berlangsung sampai pertengahan 1965, ketika Bung Karno menyadari kuku-kuku neokolonialisme yang semakin kuat mencenkeram bangsa muda ini. Maka, Agustus 1965, Bung Karno memutuskan *menolak* kehadiran lebih lama IMF dan Bank Dunia di Indonesia, bahkan menyatakan merdeka dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Sebelumnya, antara 1963-1965, Presiden Soekarno telah menasionalisasi aset-aset perusahaan-perusahaan Inggris dan Malaysia, serta Amerika; sebagai kelanjutan dari pengambilalihan aset-aset perusahaan Belanda, pada masa 1957-1958.

Tapi Bung Karno harus membayar mahal tindakan politik penyelamatan bangsa Indonesia dari kuku neokolonialisme ini: Ir Soekarno harus enyah dari Republik ini, dan itu terjadi 1967, dengan naiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI ke-2. Dengan enyahnya Ir Soekarno, neokolonialsme bukan saja kembali, tetapi menjadi semakin kuat. Tindakan pertama Jenderal Soeharto, 1967, adalah mengundang kembali IMF dan Bank Dunia, dan kembali menundukkan diri sebagai anggota PBB.

*Nekolonialisme Berlanjut*

Berkuasanya Orde Baru, di bawah Jenderal Soeharto, menjadi alat kepanjangan neokolonilaisme melalui pemberian ‘paket bantuan pembangunan’. Untuk dapat ‘membangun’, bagi bangsa-bangsa ‘terbelakang, miskin dan bodoh, dalam definisi baru sebagai “Dunia Ketiga”‘ yang baru merdeka ini, tentu memerlukan uang. Maka disediakankan ‘paket bantuan’, termasuk sumbangan untuk mendidik segelintir elit, tepatnya mengindoktrinasi mereka, dengan ‘ilmu ekonomi pembangunan’, ‘manajemen pemerintahan’; plus ‘pinjaman lunak, bantuan pembangunan’, lewat lembaga-lembaga keuangan internasional (dengan dua lokomotifnya yakni IMF, Bank Pembangunan/Bank Dunia).

Kepada segelintir elit baru ini diajarkanlah ekonomi neoklasik, dengan model pembiayaan melalui defisit-anggaran-nya, dengan teknik Repelita bersama mimpi-mimpi elusif Rostowian-nya (teori Tinggal Landas yang terkenal itu), sebagai legitimasi dan pembenaran bagi utang negara yang disulap menjadi ‘proyek-proyek pembangunan’ dan diwadahi dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Untuk hal-hal teknis para teknokrat tersebut, kemudian ‘didampingi’ oleh para konsultan spesial para economic hit men sebagaimana dipersaksikan oleh John Perkins itu. Semuanya, dilabel dengan nama indah, ‘Kebijakan dan Perencanaan Publik’.

Maka, *utang luar negeri* Indonesia yang hanya *6.3 milyar* dolar AS di akhir masa Soekarno (dengan *4 miliar* dolar di antaranya adalah warisan Hindia Belanda tersebut di atas), ketika Orde Baru berakhir menjadi *54 milyar* dolar AS (posisi Desember 1997). Lebih dari sepuluh tahun sesudah Soeharto lengser utang luar negeri kita pun semakin membengkak menjadi lebih dari *150 milyar* dolar AS. Kita tahu, jatuhnya Jenderal Soeharto, adalah akibat “krisis moneter”, yang disebabkan oleh *kelakuan para bankir dan spekulan valas*. Tetapi, rumus klasik dalam menyelesaikan “krisis moneter” adalah bail out, yang artinya *pemerintah ‘atas nama rakyat’ harus melunasi utang itu*. Ironisnya, langkahnya adalah dengan cara *mengambil utang baru, dari para bankir itu sendiri*!

Dan, bayaran untuk itu semua, dari ironi menjadi tragedi, adalah republik ini kini *sepenuhnya dikendalikan oleh para bankir*. Melalui letter of intent seluruh kebijakan pemerintahan RI, tanpa kecuali, hanyalah menuruti semua yang ditetapkan oleh para bankir. Dua di antaranya yang terkait dengan bank sentral dan kebijakan uang adalah:

Mulai 1999, Bank Indonesia, yang semula adalah De Javasche Bank itu, telah sama sekali dilepaskan dari Republik Indonesia. *Gubernur BI bukan lagi bagian dari Kabinet RI*. Ia tidak lagi harus akuntabel kepada rakyat RI.

Mulai 2011 melalui UU Mata Uang (kalau disahkan) Bank Indonesia dilegalisir sebagai pemegang hak monopoli menerbitkan uang kertas di Indonesia. Dan bersamaan dengan ini dilakukan kriminalisasi atas pemakaian mata uang lain sebagai alat tukar di Republik Indonesia. Dengan kemungkinan pengecualian atas mata uang kertas tertentu, yang bisa kita duga maksudnya, tentu saja adalah dolar AS.

Dolar Hong Kong diterbitkan oleh Bank-Bank Swasta

Kalau para wakil rakyat dimengerti DPR, yang kini tengah merampungkan UU Mata Uang, tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti semua konstelasi ini, warga Republik ini harus memahaminya. Dan, sebagai warga negara yang mengerti, kita memiliki hak asasi dan hak konstitusional untuk mengambil keputusan sendiri.

Haramnya Musik


Saudaraku, siapa di antara kita yang tidak mengenal musik? Dan di antara orang yang mengenal musik, siapa dari mereka yang menyukainya? Mungkin ada di antara kita yang mengangkat tangan dan ada yang tidak. Sebagian kita ada yang menyukai musik dan ada yang tidak. Karena hal ini disebabkan oleh adanya pro dan kontra akan hukum musik itu sendiri dan juga karena ketidaktahuan kita akan manfaat dan bahaya musik itu sendiri.

Pada kesempatan kali ini, mari kita simak bersama, apa sih sebenarnya hukum musik itu sendiri? Terkhusus lagi, jika musik itu dinisbatkan kepada Islam. Sebelum kita membahas bersama, ada kesepakatan yang harus kita patuhi. Karena kita adalah orang Islam, tentunya kita mengimani bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Tuhan kita dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Nabi dan panutan kita. Maka konsekuensi dari itu, kita harus meyakini kebenaran yang datang dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Bukankah begitu, wahai saudaraku? Oke, mari kita simak dan renungkan bersama pembahasan kali ini.

Bagaimana Allah menerangkan hal ini dalam Al-Qur’an?
Ternyata, banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan akan hal ini. Satu di antaranya adalah:

Firman Allah ‘Azza wa jalla,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Lukman: 6)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwasanya setelah Allah menceritakan tentang keadaan orang-orang yang berbahagia dalam ayat 1-5, yaitu orang-orang yang mendapat petunjuk dari firman Allah (Al-Qur’an) dan mereka merasa menikmati dan mendapatkan manfaat dari bacaan Al-Qur’an, lalu Allah Jalla Jalaaluh menceritakan dalam ayat 6 ini tentang orang-orang yang sengsara, yang mereka ini berpaling dari mendengarkan Al-Qur’an dan berbalik arah menuju nyanyian dan musik. 1

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu salah satu sahabat senior Nabi berkata ketika ditanya tentang maksud ayat ini, maka beliau menjawab bahwa itu adalah musik, seraya beliau bersumpah dan mengulangi perkataannya sebanyak tiga kali.2

Begitu juga dengan sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang didoakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar Allah memberikan kelebihan kepada beliau dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga beliau dijuluki sebagai Turjumanul Qur’an, bahwasanya beliau juga mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nyanyian.3

Al-Wahidy berkata bahwasanya ayat ini menjadi dalil bahwa nyanyian itu hukumnya haram. 4

Dan masih banyak lagi, ayat-ayat lainnya yang menjelaskan akan hal ini.

Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengkabarkan kepada umatnya tentang musik?
Saudaraku, termasuk mukjizat yang Allah Ta’ala berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pengetahuan beliau tentang hal yang terjadi di masa mendatang. Dahulu, beliau pernah bersabda,

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف

”Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.”5

Saudaraku, bukankah apa yang telah dikabarkan oleh beliau itu telah terjadi pada zaman kita saat ini?

Dan juga dalam hadis lain, secara terang-terangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang musik. Beliau pernah bersabda,

إني لم أنه عن البكاء ولكني نهيت عن صوتين أحمقين فاجرين : صوت عند نغمة لهو ولعب ومزامير الشيطان وصوت عند مصيبة لطم وجوه وشق جيوب ورنة شيطان

“Aku tidak melarang kalian menangis. Namun, yang aku larang adalah dua suara yang bodoh dan maksiat; suara di saat nyanyian hiburan/kesenangan, permainan dan lagu-lagu setan, serta suara ketika terjadi musibah, menampar wajah, merobek baju, dan jeritan setan.”6

Kedua hadis di atas telah menjadi bukti untuk kita bahwasanya Allah dan Rasul-Nya telah melarang nyanyian beserta alat musik.

Sebenarnya, masih banyak bukti-bukti lain baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun perkataan ulama yang menunjukkan akan larangan dan celaan Islam terhadap nyanyian dan alat musik. Dan hal ini bisa dirujuk kembali ke kitabnya Ibnul Qayyim yang berjudul Ighatsatul Lahafan atau kitab-kitab ulama lainnya yang membahas tentang hal ini.

Lalu, bagaimana dengan musik Islami?
Setelah kita mengetahui ketiga dalil di atas, mungkin ada yang bertanya di antara kita, lalu bagaimana dengan lagu-lagu yang isinya bertujuan untuk mendakwahkan manusia kepada kebaikan atau nasyid-nasyid Islami yang mengandung ajakan manusia untuk mengingat Allah? Bukankah hal itu mengandung kebaikan?


Program Qurban 1439 / 2018

Maka kita jawab, ia benar. Hal itu mengandung kebaikan, tapi menurut siapa? Jika Allah dan Rasul-Nya menganggap hal itu adalah baik dan menjadi salah satu cara terbaik dalam berdakwah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabat adalah orang-orang yang paling pertama kali melakukan hal tersebut. Akan tetapi tidak ada satu pun cerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya melakukannya, bahkan mereka melarang dan mencela hal itu.

Wahai saudaraku, perlu diketahui, bahwasanya nasyid Islami yang banyak kita dengar sekarang ini itu, bukanlah nasyid yang dilakukan oleh para sahabat Nabi yang mereka lakukan ketika mereka melakukan perjalanan jauh ataupun ketika mereka bekerja, akan tetapi nasyid-nasyid saat ini itu merupakan budaya kaum sufi yang mereka lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Mereka menjadikan hal ini sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah, yang padahal hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, maka dari mana mereka mendapatkan hal ini?

Maka telah jelas bagi kita, bahwa kaum sufi tersebut telah membuat syariat baru, yaitu membuat suatu bentuk pendekatan diri kepada Allah Ta’ala dengan cara melantunkan nasyid yang hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 7

Waktu-waktu yang diperbolehkan untuk bernyanyi dan bermain alat musik
Saudaraku, ternyata Islam tidak melarang kita secara mutlak untuk bernyanyi dan bermain alat musik. Ada waktu-waktu tertentu yang kita diperbolehkan untuk melakukan hal itu. Kapan itu?

1. Ketika Hari raya
Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh istri beliau, Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu masuk (ke tempatku) dan di dekatku ada dua anak perempuan kecil dari wanita Anshar, sedang bernyanyi tentang apa yang dikatakan oleh kaum Anshar pada masa perang Bu’ats.” Lalu aku berkata, “Keduanya bukanlah penyanyi.” Lalu Abu Bakar berkata, “Apakah seruling setan ada di dalam rumah Rasulullah?” Hal itu terjadi ketika Hari Raya. Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya dan ini adalah hari raya kita.” 8

2. Ketika pernikahan
Hal ini berdasarkan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang menceritakan tentang anak kecil yang menabuh rebana dan bernyanyi dalam acara pernikahannya Rubayyi’ bintu Mu’awwidz yang pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari adanya hal tersebut.

Dan juga berdasarkan dari sebuah hadis, bahwasanya beliau pernah bersabda, “Pembeda antara yang halal dan yang haram adalah menabuh rebana dan suara dalam pernikahan.”9

Jadi, telah jelas bukan, bahwa keadaan yang diperbolehkan untuk bernyanyi dan bermain alat musik hanyalah ketika hari raya dan pernikahan. Dan alat musik yang diperbolehkan hanyalah duff (rebana) yang hanya dimainkan oleh wanita.

Beberapa karakter khas yang ada dalam nyanyian dan musik
Dapat melalaikan hati
Menghalangi hati untuk memahami Al-Qur’an dan merenungkannnya serta mengamalkan kandungannya
Al-Qur’an dan nyanyian tidak akan bertemu secara bersamaan dalam hati selamanya. Karena Al Qur’an melarang mengikuti hawa nafsu dan memerintahkan untuk menjaga kesucian hati. Sedangkan nyanyian memerintahkan sebaliknya, bahkan menghiasinya dan merangsang jiwa manusia untuk mengikuti hawa nafsu.
Nyanyian dan minuman keras ibarat saudara kembar dalam merangsang jiwa untuk melakukan keburukan. Saling mendukung dan menopang satu sama lain.
Nyanyian itu pencabut kewibawaan seseorang
Nyanyian dapat menyerap masuk ke dalam pusat khayalan, lalu membangkitkan nafsu dan syahwat yang terpendam di dalamnya.
Dan masih banyak lagi yang lainnya.10

Karakter-karakter khas yang terdapat pada musik tersebut mencakup semua jenis musik, baik itu musik rock, pop, dangdut, maupun musik Islami. Karena hal ini memang telah terbukti di kalangan para pecinta musik. Dan memang, nyanyian dan musik ini sangat besar pengaruhnya bagi para pelaku dan pendengarnya dari segala sisi, baik dari akidahnya, akhlaknya, maupun dari akal pikirannya yang telah menunjukkan adanya kemerosotan yang sangat signifikan jika dibanding dengan generasi kakek nenek kita, yang mana dulu masih jarang ditemukan adanya nyanyian ataupun musik.

Renungan
Wahai Saudara, kami rasa ketiga dalil dari Al-Qur’an dan hadis di atas dan penjelasan setelahnya, sudah cukup membuktikan kepada kita bahwa Islam melarang adanya nyanyian dan alat-alat musik. Dan juga, sudah cukup melegakan hati saudaraku yang memang sebelumnya kontra dengan musik. Dan menjadikan terang dan jelas bagi saudaraku yang sebelumnya pro dengan musik. Dan telah terjawab sudah, pertanyaan pada judul pembahasan kita saat ini. Bukankah demikian?

Namun memang sudah seharusnya bagi kita seorang muslim, untuk menerima dengan tunduk apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, tanpa ada rasa berat dan penolakan sedikit pun dari dalam hati kita. Karena jika hal itu terjadi, maka itu adalah salah satu tanda adanya kesombongan yang ada dalam hati kita. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ» قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: «إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk ke dalam surga seseorang yang di dalam hatinya ada setitik kesombongan.” Lalu ada seorang laki-laki bertanya pada beliau, “Sesungguhnya manusia itu menyukai baju yang indah dan sandal yang bagus.” Lalu beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” 11

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan kita taufik dan kekuatan untuk bisa melakukan segala apa yang Dia perintahkan dan menjauhi segala apa yang Dia larang. Sesungguhnya Allah Ta’ala-lah yang Maha Pemberi taufik dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanyalah milik Allah semata. Wallahu waliyyut taufiq.



Catatan kaki :

Lihat Tafsir Ibnu Katsir, hal. 556/3
Idem
Idem
Lihat Ighatsatul Lahafan karya Ibnul Qayyim, hal. 239
HR. Bukhari, no. 5590
HR. Hakim 4/40, Baihaqi 4/69
Lihat penjelasan lebih lengkapnya di at Tahrim atau Ighatsatul Lahafan
HR. Bukhari, no. 949, dan lain-lain
HR. At Tirmidzi, no. 1080, dihasankan oleh Syekh Al-Albani
Lihat At-Tahrim, hal. 151
HR. Muslim, no. 275
Referensi :

Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anil ‘Adzim. 2008. Mesir, Daarul Aqidah.
Ibnu Qayyim al Jauziyyah, Ighatsatul Lahfaan. Maktabah syamilah
Nashiruddin Al Albani, Tahriim Aalaatit Tharbi. Maktabah syamilah


Baca selengkapnya. Klik https://muslim.or.id/20706-benarkah-musik-islami-itu-haram.html

Kisah Anak Misterius di Zaman Rasulullah SAW yang Diduga Sebagai Dajjal


Ada seorang pria di masa Nabi Muhammad SAW, namanya adalah Safi Ibn Sayyad. Namanya Safi, putra dari Sayyad. Dia hidup di masa Nabi Muhammad SAW dan dia seorang anak laki-laki yang dibesarkan pada asalnya dari keluarga Yahudi. Dia sangat membenci Rasulullah SAW. Dan mereka berkata bahwa anak laki-laki ini, Safi ibnu Sayyad, dia dapat memberitahumu apa yang kau pikirkan. Dia punya kemampuan tertentu. Ini kisah nyata. Ini dalam shahih. Ini bukan sesuatu yang dibuat-buat.

Rasulullah SAW mendengar tentangnya. Suatu hari beliau pergi untuk mencari tahu apakah dia benar Dajjal atau bukan. Beliau pergi bersama Umar bin Khattab r.a dan mereka menuju sebuah desa dimana Safi ibn Sayyad berada. Dan anak itu sedang duduk, bermain-main dengan sesuatu. Ketika Rasulullah SAW mencoba mendekat, Umar bin Khattab bercerita, beliau pindah dari pohon ke pohon. Rasulullah bersembunyi dibalik pepohonan. Beliau mencoba mendekati anak ini dan mencoba mendengar apa yang dikatakannya.

Anak itu mengucapkan sesuatu, beliau ingin mendengar apa yang dikatakannya. Seiring Rasulullah SAW mendekati Safi dengan sangat dekat sampai mendengar perkataannya, tiba-tiba ibu dari anak itu melihat Rasulullah SAW dan ibunya berkata, “Wahai Safi, di sana ada Muhammad.” Dan Safi menengadah dan berhenti berbicara. Safi menjadi sangat marah! Dia sangat membenci beliau SAW. Entah mengapa.


Rasulullah SAW bersabda, “Andai saja ibunya tidak melihatku, aku bisa mendengar sedikit lagi, dan aku akan tahu dia Dajjal atau bukan.” Karena orang-orang berkata bahwa anak itu adalah Dajjal bahwa dia akan muncul dari sana dan dia akan menjadi Dajjal.

Rasulullah SAW berkata pada anak itu, “Aku menyembunyikan sesuatu dalam pikiranku, di dalam dadaku dimana aku ingin agar kau mencoba menebak apakah itu.” Dan anak itu melihat, sedikit mengernyitkan dahi dan berkata, “Ad-Dukh.. Ad-Dukh. Aku hanya bisa mendapatkan Ad-Dukh, Ad-Dukh.” Rasulullah SAW bersabda, “Semoga kekuatanmu tidak bisa melebihi itu!”

Rasulullah SAW berkata padanya, “Apakah kau percaya bahwa aku ini utusan Tuhan?” Dia berkata, “Hanya jika kau percaya bahwa akulah utusan Tuhan.” Dia berlaku agak sombong dengan berkata, “Akulah yang utusan Tuhan.” Rasulullah SAW berdiri dan pergi.

Umar bin Khattab bertanya, “Apa artinya Ad-Dukh? Kata apakah yang kau sembunyikan dalam dirimu? ”

Beliau bersabda, “Aku menyembunyikan kata Ad-Dukhan.”


Ad-Dukhan artinya, “asap atau kabut” dan anak itu menebak separuh darinya.

Anak laki-laki ini, Safi ibn Sayyad tumbuh besar, dan dia tinggal di Madinah. Dia pada akhirnya masuk Islam dan dia menikah. Dan mereka berkata bahwa dia punya sekitar 10 anak. Dan para Sahabat selalu menghindarinya, karena mereka tidak merasa nyaman berada di dekatnya.

Suatu hari… mereka melakukan perjalanan haji. Lalu ketika mereka pulang dari berhaji, pada perjalanan pulang, seorang Sahabat dari Rasulullah SAW (Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu), duduk di bawah sebuah bayangan dari sebuah pohon dan kemudian Safi ibn Sayyad dengan membawa barangnya duduk di samping Sahabat tersebut. Sahabat tersebut merasa tidak nyaman di dekatnya, dan berkata, “Ada banyak tempat berteduh di sini, kau bisa duduk di tempat lain.” Jadi Safi mulai menangis. Safi ibn Sayyad menangis. Dia bertanya, “Kenapa kau menangis?” Safi berkata, “Ini karena orang-orang berkata bahwa aku adalah Dajjal dan lain-lain.” Safi menatap Sahabat dari kaum Anshar ini, dan berkata, “Kau harus tahu bahwa sesungguhnya kau sangat berpengetahuan luas. Kau harus tahu bahwa ad-Dajjal bukanlah Muslim sementara aku seorang Muslim. Dia tidak menikah tapi aku menikah. Dia tidak dapat punya anak, tapi aku punya anak. Dan dia tidak bisa memasuki Mekkah atau Madinah, tapi aku di sini.”

Sahabat itu berkata, “Demi Allah, kau benar. Argumenmu benar juga.”

Kemudian Safi ibn Sayyad berkata padanya, “Tapi kau tahu, nama itu (Dajjal) cukup bagus. Dajjal nama yang keren karena dia punya kekuatan. Aku tidak keberatan jika aku benar-benar Dajjal.”

Lalu sahabat itu berdiri dan berkata, “Tolong menjauhlah dariku.” Kemudian dia menjauhi Safi. Di belakangnya, Safi ibn Sayyad tertawa-tawa. Jadi Safi adalah orang yang sangat aneh.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, ada sebuah peperangan besar yang terjadi dengan Musailamah al-Kazzab, dimana ratusan penghafal Al Quran terbunuh. Dan mereka melihat Safi ibn Sayyad berperang bersama mereka dan mereka mencari jasadnya, dan mereka berkata, “Kami tidak bisa menemukannya, baik di antara yang sudah mati atau yang masih hidup.” Semua anak-anaknya meninggal, istrinya juga meninggal. Dan setelah perang itu, mereka tidak bisa menemukannya sama sekali, dia menghilang. Inilah kisah Safi ibn Sayyad.

Jadi Wallahu’alam, apakah dia Dajjal atau tidak. Umar ibn al-Khattab r.a berkata, “Aku sering berkata di hadapan Rasulullah SAW, ‘Demi Allah dia adalah Dajjal.’ Dan beliau tidak menyangkal perkataanku dan tidak membenarkannya. Beliau diam saja.”

Jadi perkara Dajjal sangat aneh dan misterius sampai dia sungguh muncul.
Sumber: Syeikh Bilal Assad

Kisah di atas, Safi Ibn Sayyad. ada dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu no. hadits 6075 dan 6076. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Jana`iz no. hadits 1354, Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Kitabul Fitan wa Asyrathus Sa’ah no. hadits 2930, Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu, dalam Kitabul Malahim bab Fi Khabari Ibnu Sha’id no. hadits 4329, Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Kitabul Fitan ‘an Rasulillah no. hadits 2175. Hadits di atas secara lengkap diriwayatkan dari jalan Az-Zuhri dari Salim bin Abdillah.

Sumber: https://www.syahida.com/2016/06/12/5003/kisah-anak-misterius-zaman-rasulullah-saw-diduga-dajjal/#axzz5SBm766PK

Larangan Duduk Memeluk Lutut Saat Khutbah Jumat

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc   Tidak sedikit jamaah shalat Jumat yang duduknya dalam keadaan memeluk lutut. Bahkan saking enaknya duduk ...