Pendahuluan
Poligami merupakan salah satu topik yang sering menjadi perdebatan dalam masyarakat Islam modern. Di satu sisi, ia dianggap sebagai bentuk keadilan sosial dan solusi terhadap berbagai masalah sosial, seperti jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki, kebutuhan biologis, serta kondisi sosial tertentu. Namun di sisi lain, poligami juga sering dipersepsikan sebagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan.
Untuk memahami persoalan ini secara utuh, diperlukan tinjauan mendalam berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah ﷺ, dan penjelasan para ulama, agar tidak terjebak pada pandangan emosional atau budaya, melainkan berpijak pada dalil syar’i yang sahih.
Poligami dalam Al-Qur’an
Dalil utama tentang poligami terdapat dalam Surat An-Nisa ayat 3, yang berbunyi:
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja...”
(QS. An-Nisa: 3)
Ayat ini merupakan satu-satunya ayat dalam Al-Qur’an yang secara eksplisit membolehkan laki-laki menikahi lebih dari satu istri — hingga empat orang — dengan syarat utama: keadilan.
1. Asal hukum poligami
Para ulama menyimpulkan bahwa asal hukum poligami adalah mubah (boleh), bukan wajib, bukan pula sunnah mutlak. Namun kebolehannya disertai syarat yang berat, yaitu kemampuan untuk berlaku adil dalam hal materi, waktu, dan perhatian.
Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan:
“Ayat ini menunjukkan bahwa poligami adalah rukhsah (keringanan) bagi yang membutuhkan dan mampu berlaku adil. Barang siapa takut tidak mampu adil, maka wajib baginya mencukupkan diri dengan satu istri.”
Poligami dalam Sunnah Rasulullah ﷺ
Rasulullah ﷺ sendiri menjalani poligami. Dalam sejarahnya, beliau menikahi lebih dari satu wanita, bukan karena hawa nafsu, tetapi demi tujuan sosial dan dakwah.
Menurut riwayat sahih, Rasulullah ﷺ menikahi 11 wanita, namun tidak sekaligus. Sebagian besar pernikahan beliau dilakukan untuk melindungi janda syuhada, mempererat hubungan kabilah, serta menunjukkan kasih sayang kepada umatnya.
Contoh Tujuan Poligami Rasulullah ﷺ
-
Ummu Salamah r.a. — Janda sahabat yang gugur di perang Uhud. Rasulullah ﷺ menikahinya untuk melindunginya.
-
Zainab binti Jahsy r.a. — Pernikahan ini menghapus tradisi jahiliyah yang menganggap anak angkat sama seperti anak kandung.
-
Juwairiyah binti al-Harits r.a. — Pernikahan ini menyebabkan pembebasan banyak tawanan dari Bani Musthaliq.
Dengan demikian, poligami Nabi bukanlah bentuk pemuasan pribadi, melainkan strategi dakwah dan bentuk kasih sayang sosial.
Syarat dan Etika Poligami dalam Islam
1. Mampu Berlaku Adil
Syarat utama yang ditegaskan oleh Al-Qur’an adalah keadilan.
Keadilan di sini mencakup nafkah lahir, giliran, dan perhatian, bukan perasaan hati, karena perasaan tidak bisa dikontrol.
Allah berfirman:
وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istri meskipun kamu sangat ingin...”
(QS. An-Nisa: 129)
Ayat ini menegaskan bahwa keadilan emosional tidak mungkin dicapai sepenuhnya, namun keadilan dalam hak dan kewajiban wajib dijaga.
2. Mampu Memberi Nafkah
Nabi ﷺ bersabda:
“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu (secara fisik dan finansial), maka menikahlah...”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa kemampuan ekonomi menjadi syarat penting, lebih-lebih bagi yang hendak berpoligami. Tidak dibenarkan berpoligami jika hanya menambah beban tanpa kemampuan menafkahi istri dan anak-anaknya.
3. Niat yang Lurus
Poligami harus dilandasi niat baik, seperti menolong janda, menjaga diri dari zina, atau memperbanyak keturunan dalam ketaatan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya...”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hukum Izin Istri dalam Poligami
Salah satu isu yang sering menjadi perdebatan adalah: apakah suami wajib meminta izin istri pertama untuk berpoligami?
1. Tidak Ada Dalil yang Mewajibkan Izin Istri
Dalam nash Al-Qur’an maupun hadis, tidak terdapat satu pun dalil yang mensyaratkan izin istri pertama sebagai syarat sah poligami.
Pernikahan kedua tetap sah selama memenuhi rukun dan syarat nikah — yaitu adanya wali, dua saksi, ijab kabul, dan mahar.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan:
“Tidak wajib bagi suami untuk meminta izin istri pertama ketika hendak menikah lagi, karena hal itu tidak termasuk syarat sah pernikahan. Akan tetapi, hendaknya ia memperlakukan istrinya dengan lemah lembut dan memberi kabar dengan cara yang baik.”
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 21/87)
Begitu pula pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin:
“Tidak wajib izin istri pertama. Namun jika pemberitahuan itu dapat menghindarkan fitnah, maka itu lebih utama.”
(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb)
2. Pandangan Ulama Fiqih
Keempat mazhab besar — Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali — sepakat bahwa izin istri pertama bukan syarat sah poligami.
Alasan mereka sederhana: syarat sah pernikahan hanya lima, dan izin istri tidak termasuk di dalamnya.
Namun demikian, memberitahu istri pertama dianggap sebagai akhlak yang baik (adab), agar tidak timbul kecurigaan dan permusuhan dalam rumah tangga.
Batasan Jumlah Istri
Islam menetapkan batas maksimal empat istri dalam waktu bersamaan.
Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah ﷺ kepada Ghaylan bin Salamah ats-Tsaqafi, yang ketika masuk Islam memiliki sepuluh istri. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Pilihlah empat di antara mereka dan ceraikan yang lainnya.”
(HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah)
Dari sini para ulama menetapkan bahwa poligami lebih dari empat orang istri adalah haram, dan hanya Nabi ﷺ yang memiliki kekhususan melebihi batas itu.
Keadilan dan Hikmah Sosial Poligami
1. Solusi Sosial
Poligami dalam pandangan Islam bukan untuk menuruti hawa nafsu, tetapi solusi terhadap masalah sosial, seperti:
-
Banyaknya janda akibat perang atau bencana,
-
Jumlah perempuan yang melebihi laki-laki,
-
Ketidaksuburan istri pertama,
-
Suami yang memiliki kebutuhan biologis tinggi.
2. Menghindarkan Zina
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Wahai para pemuda, barang siapa mampu menikah, hendaklah ia menikah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, poligami dapat menjadi benteng moral jika dilakukan dengan niat dan cara yang benar.
Etika dan Tanggung Jawab dalam Poligami
Poligami menuntut kedewasaan spiritual dan moral yang tinggi.
Islam tidak melarang, tetapi mengingatkan bahwa ketidakadilan dalam poligami akan membawa azab.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa memiliki dua istri lalu condong kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan miring (tidak seimbang).”
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadis ini menjadi peringatan keras agar suami berhati-hati dan adil dalam mengatur waktu, nafkah, serta kasih sayang.
Kesimpulan
-
Poligami dalam Islam hukumnya mubah (boleh), dengan syarat mampu berlaku adil dan memberi nafkah.
-
Tidak ada dalil yang mewajibkan izin istri pertama, meskipun pemberitahuan dengan cara baik sangat dianjurkan demi keharmonisan.
-
Tujuan poligami haruslah syar’i dan berniat baik, bukan sekadar menuruti hawa nafsu.
-
Keadilan merupakan tiang utama poligami. Siapa yang tidak mampu adil, maka lebih baik cukup dengan satu istri.
-
Poligami adalah bagian dari syariat Islam yang bijaksana, yang mengatur hubungan keluarga dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar