Kesalahan Sebagian orang dalam memahami istilah Kafa'a

Kata kufu’ artinya sepadan atau setara. Dalam pengertian adat-istiadat, kufu’ ialah kedudukan setara antara calon suami dengan calon istri, baik dalam urusan agama, keturunan, nasab, maupun kedudukan sosial dan ekonomi. Bila calon pasangan dalam hal-hal tersebut setara, maka mereka disebut kufu’. Adapun kufu’ dalam bidang lain, seperti tingkat pendidikan, sosial, ekonomi dan lain-lain bukan merupkan masalah pokok yang dapat menghalangi upaya penciptaan rumah tangga yang sakinah dan mawaddah. Masalah-masalah semacam itu dapat diatasi dengan cara melakukan peningkatan secara bertahap dari pihak yang bersangkutan.
sekufu menurutku: Kualitas Dirinya Setaraf atau Lebih Baik diambil dikutipan dari suatu kisah dengan judul: Nikahilah SYARIFAH Memperhatikan beberapa bahasan sekitar topik ini rasanya tidak adil kalau tidak ada pembandin. Rekayasa dalil oleh beberapa pihak juga merugikan pihak itu sendiri sebelum orang lain. Mari kita perhatikan: 1) MEREKA memakai dalil BARIROH yang diberi HAK KHIYAR. itu saja HAK…. [mereka membahasakan DISURUH BERPISAH karena TIDAK KUFU] Dan perbedaan STATUS bariroh adalah TIMBUL baru DARI BUDAK MENJADI MERDEKA bukan karena nasab bukan juga karena dari AWAL tidak sekufu. Mereka tidak mau melihat realita ini…. Lihat juga qodliyah syh.ZAINAB binti JAHZ. Mereka membelokkan motivasi pernikahannya dengan RASUL S.A.W. mereka bilang karena ketidakkufuuan syh.Zainab dg ZAID bin Haritsah ! Perhatikan keajaiban ini! dan tanyakan ,kalau soal kufu kenapa dari awal dinikahkan? Siapa pula yang menikahkan!? Tidakkah disimak illat ayat dalam AL-ahzab tentang TABANNY!? Kalo alqur’an bilang karena TABANNY ,lalu ada yg teriak karena kekufuan,,.maka SIAPA anda???!

2) MEREKA berdalil SY.Umar ra saja menginginkan HUBUNGAN nasab dg Menikahi SALAH SATU putri sy.ALI ra….terus mengkritik jamaah lain yang dikiranya sembarangan tidak menjaga nasab degan menikahkan putrinya dengan kalangan luar….MARI kita tanya balik dia: APAKAH SAYYIDINA ALI ra. tidak menjaga nasab dengan menikahkan putrinya pada sy.Umar ra.? demikian pula FATIMAH binti sy.ALI ra diperistri ALMUNDZIR bin UBAIDAH bin ZUBEIR bin AWWAM…! APAkah sy.ALHUSEIN ra tidak menjaga nasab hingga menikahkan putrinya FATIMAH pada ABDILLAH bin UMAR bin UTSMAN bin AFFAN?Begitu pula SUKEINAH binty ALHUSEIN ra diambil istri oleh ZAID bin AMR bin UTSMAN bin AFFAN ! Lalu oleh MUS’AB bin ZUBEIR bin AWWAM!…..

3) Mereka BERISTIDLAL dengan hadits al-HAKIEM {orang ARAB kufu sesama ARABnya….sampai sempurna hadits}… PADAHAL IBNU ABI HATIEM bertanya pd ayahnya tentang hadits tersebut dan dijawab: itu ADALAH BOHONG ,tdk ada ASALnya. ADDARUQUTHNI juga berkata dalam KITABnya ALilal: Hadits tersbut TDK berdasar ,.IBNU ABDIL BAR juga berkomentar: Ini adalah hadits MUNGKAR dan MAUDLU’…..disamping LOGIKA dari hadits tersebut tidk MENUTUP KEMUNGKINAN keKUFUAN non ARAB terhadap ARAB kecuali ada dalil lain. Karena statement AFFIRMATIF demikian HUKUMNYA sebagaimana KAIDAH USHUL FIQH.

4) Mereka memakai dalil ucapan sy.UMAR ra. saya akan cegah pernikahan wanita2 punya status tinggi kcuali dengan yang SEIMBANG… jawabnya adalah ITU kebijakan sy.Umar ra dan hadits MAUQUF tidak cukup sebagai dalil Kekufuan nasab, lagi pula lafadz HASAB tidak bisa diartikan NASAB kcuali dg dalil’; Kalaupun kita akuri adANYA kUFU dalam nasab ,meski tidak ada hadits shohih dalam hal ini,maka semua itu TIDAK AKAN melampaui dari keberadaannya sebagai HAK…. HAK yang sewaktu waktu bisa ditanggalkan sesuai tuntutan situasi kondisi…..Hak yg tidak bisa menghalangai seseorang untuk melamar SYARIFAH ! APAKAH Rasulullah s.a.w. melarang ABU BAKAR ra? melamar sayyidah FATIMAH ra.? APAKAH BELIAU s.a.w. melarang UMAR r.a. dalam hal yang sama? Soal diterima ato tidak itu urusan dan hak WALIYYUL AMR….cuma hal penting yang harus diperhatikan semua pihak bahwa seorang wanita semakin lama tidak semakin besar animo peminat padanya dan tidak semua orang tertarik pada kalangan tertentu plus hadits riwayat at-Tirmidzi,al-Baihaqi,al-Hakiem : [Bila datang orang yang kalian ridho akan akhlak dan agamanya maka nikahkanlah. Apabila tidak kalian lakukan maka akan timbul fitnah dan kerusakan besar di bumi.]. APAKAH menjaga hak harus dengan membiarkan para syarifah DITEKAN OLEH PEMAHAMAN YANG SEMPIT? Bagaimana tdk? kalau sampai ada yang berwasiat bila putrinya tdk mendapatkan sayyid -karena dia dari kalangan itu- lebih baik tdk …APAKAH wasiat seperti itu tdk mungkar? Bukankah wasiat mungkar tidak boleh diikuti?

APAKAH itu bukan WA’DUL BANAT yang semestinya DIBERANGUS HABIS oleh kalangan mereka sendiri? MAHA BENAR ALLAH swt. dalam firman-NYA dalam ayat 8 surat ATTAKWIR… Wa’DUL BANAT adalah HARAM sedang melepas hak TDK ADA YANG MENGATAKAN HARAM apalagi demi melestarikan DZURRIYAH ARROSUL s.a.w… maka bila berkumpul ANTARA HARAM dan TIDAK HARAM jelas yang WAJIB Diambil adalah YANG KEDUA…

5) Mereka bilang kalau memang sang wanita mau dan disetujui wali-walinya maka boleh2 saja.Cuma wali ini harus semua wali bahkan satu pendapat seluruh wali di bumi!!!) Lihat keajaiban ini ! Bagaimana mereka terus mencari celah menghalangi sunnah ArRasul terimplementasikan bahkan pada dzurriyah beliau s.a.w. sendiri cuma karena gender mereka. Padahal ASSYEIKH Abu Hamid, dedengkot Syafi’iyah-madzhab yang relatif paling diperpegangi mereka, berkata : WALI-WALI wanita yang nikah dg selain KUFU, mereka yang diperhitungkan persetujuannya adalah YANG menjadi WALI akad ketika proses PERNIKAHAN. Bukan orang yang bisa berpindah kewalian padanya.Yang seperti itu tidak diperhitungkan persetujuannya. (Lihat alBayan 9/194 ,fiqhussunnah 290 dll).

6.Mereka membuat kelas khusus dalam kekufuaan nasab. Padahal peristilahan yang masyhur adalah HASYIMIAH, MUTTHOLIBIYAH, QUROSYIYYAH, ARAB, KESALIHAN dan ISLAM. Bila tidak…Bagaimana ayah Imam Syafii bisa menikahi SYARIFAH???

7. Mereka sering kali memakai qoul kedua, ketiga, keempat dst.. bahkan memakai literatur dari kalangan yang dipertanyakan amanat ILMIAH ,kadar obyektifitas dan dan ke-fair-annya…..Dan anda semua tahu bahwa BILA ADA PENDAPAT PERTAMA maka yang lain harus minggir.

8. Apakah dg menikah dengan pihak luar hubungan ke al-JAD AL-a’dzom s.a.w. terputus? Sama sekali tidak. Kalau dalam intisabnya anak, maka benar seseorang intisab kpd ayahnya. Sedang keterhubungan ke beliau s.a.w. maka adakalanya dg nasab atau SABAB. SABAB ini seperti hubungan ilmu, kesahabatan dan lain-lain. Adapun hubungan darah, maka hal itu berada di atas SABAB. KALAU tidak , mengapa sy.Umar r.a. Repot-repot memeperistri sydah Ummu Kultsum binti sy.Ali ra? BADH’AH NABAWIYAH ini di mana pun berada PASTI TERMULIAKAN. Sampai di akhirat. Sekedar diketahui bahwa Imam SYAFI’I dan dan banyak ulama lain termasuk RAJA-RAJA UTSMANIYAH adalah dari model ini.

9.Mereka menjadikan sydah ROBIAH alADAWIYAH sebagai sosok yang layak diteladani dalam hal yang mereka inginkan…..Di sini mereka membikin kekaburan. ALADAWIYAH mengambil kebijakan pribadinya bukan karena tidak mendapatkan orang yang KUFU. Berapa kali ORANG sekelas HASAN ALBASHRI melamarnya!

10. KETIDAKsetaraan dalam nasab tidak bisa mengeliminir sabda RASUL s.a.w. [ANNIKAHU SUNNATI FAMAN ROGHIBA 'AN SUNNATI FALAISA MINNI] Pernikahan adalah merupakan sunnahku (kata Nabi ) dan merupakan sunnah bagi nabi-nabi sebelum saya, barang siapa yang inkar atas sunnahku maka dia bukan golonganku.

11. Mereka seenaknya mengartikan hadits QOTUSSHILAH dengan shilah nasab. Hal yang jauh dari shiyagh. Pengartian hadits tidak bisa tidak dengan mempertimbangkan AQWAL Ulama di sekitar hadits tersebut serta memperhatikan kaidah PENAFSIRAN NASH yang di antaranya adalah makna dhohir harus dipakai selama tidak ada dalil lain yang mengharuskannya beralih ke makna lain. Sedang makna dhohir QOT’USSHILAH adalah memutus hubungan dengan tidak mempergauli atau menyambung kekerabatan bahkan menjauhi dengan tidak memudahkan faktor2 pernikahan. dst. HAL yang tidak bisa dibuat sembarangan.

12. Mereka mamakai ucapan Sahabat Salman alfarisi r.a. yang BUKAN HADITS marfu’ sebagai sandaran. Sesuatu yang sangat lemah dalam berHUJJAH. Itu saja kalau diketahui asbab wurudnya ucapan Salman aLfarisi maka akan ketahuanlah kemana ucapan itu harus diarahkan. Sedang asal usul ucapan Shahabat Salman r.a. tersebut adalah dia melamar putri sy.Umar bin Khottob r.a. dan diberi pengharapan. Tetapi Ibnu Umar tidak suka hal tersebut. Lalu ia bertemu AMR bin Ash r.a. yang berjanji akan memberesi hal ini. Amr bin Ash lalu bertemu Salman dan bilang dengan nada sumbang :”Selamat,ya!” /Sahabat Salman r.a.bertanya-tanya dan berkata,”Atas apa?” /Dijawab Amr r.a.,”AMIRUL MU’MININ tawadlu, merendahkan diri padamu.”/ Salman r.a. yang merasa tidak enak lantas berkata,”Apakah karena seorang semacam saya ,beliau merendahkan diri? Demi Allah saya tidak akan memperistri putrinya,selamanya……” Dan dalam riwayat al-Baihaqi terdapat :” Wahai golongan Arab kami tidak menikahi wanita-wanitamu dan tidak mengimamimu sholat….” Demikianlah… itu semua ucapan pribadi Sahabat Salman r.a. yang tidak bisa dibuat UMUM kecuali dengan dalil lain . BAHKAN banyak hadits lain yang berseberangan semacam Hadits BILAL memperistri Halah binti AUF saudara Abdurrahman bin Auf r.a…Seperti hadits Usamah bin Zaid yang memeperistri FATHIMAH binti QOIS alQUROSYIYAH.. dan contoh lain SABDA RASULULLAH s.a.w. :{YA BANY BAYADHOH…Nikahkanlah ABA HIND ..dan ambillah dia sbg menantu…} padahal Abu Hind cuma seorang HAJJAM, tukang canduk (sedot darah )….dst.


13. Madzhab-madzhab Islam yang MU’TABAROH wujud adalah untuk keMASLAHATAN MUSLIMIN. TIDAK ADA keWAJIBAN MEMPERPEGANGI habis satu MADZHAB APA lagi bila berhadapan keadaan dhorurat. BAHKAN kaidah FIQHIYYAH berkata: al-hajat TUNAZZALUL MUNAZZALADDHORURAOH Dan dalam HADITS: AdDIENU YUSR….alhadits! (Wallhu A’lam)

Kisah Cinta Abul ‘Ash dengan Zainab Putri Rasulullah

Dulu di kota Makkah, terdapat seorang pemuda terhormat di kalangan suku Quraisy. Ia terkenal dengan harta kekayaan yang melimpah, mempunyai usaha perniagaan, dan terkenal sebagai pemuda jujur serta memegang amanat. Pemuda itu ialah Abul ‘Ash bin Rabi’. Melihat kemuliaan pemuda ini, kekasih Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Khadijah binti Khuwailid berkeinginan menjodohkan putrinya, Zainab, dengan pemuda ini. Nabi Muhammad pun menyetujui keinginan istrinya tersebut. Apalagi, Abul ‘Ash bukan termasuk orang asing di sisi Nabi. Moyang Abul’ Ash bertemu dengan moyang Nabi pada Abdu Manaf. Demikian pula, garis darah Abul Ash dari jalur ibu bertemu dengan garis darah Zainab dari jalur ibu (Khadijah) pada Khuwailid.
Pernikahan pun dilangsungkan. Di hari yang indah itu, Khadijah memberikan kalung miliknya sebagai hadiah bagi putri terncintanya itu. Maka, Zainab pun berpindah tangan. Ia meninggalkan rumah ibu dan ayahnya menuju naungan dan belaian Abul Ash bin Rabi’ untuk membangun maligai rumah tangga bersamanya. Ketika itu, sesungguhnya Abul Ash belum memeluk Islam. Sementara itu, الله belum mengharamkan pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki kafir.

Bahtera pun Mulai Berguncang
Waktu pun terus berlalu, cahaya Islam mulai merasuk di hati penduduk Mekkah.
Namun sungguh sayang, Abul ‘Ash bin Rabi’ masih enggan menerima hidayah Islam yang telah dipeluk istri tercintanya itu. Ia masih belum bisa meninggalkan agama nenek moyangnya yang telah mengakar kuat di hatinya walaupun di sisi hatinya yang lain, ia masih sangat mencintai Zainab dengan kecintaan yang murni.
Zainab, dengan segala keinginan yang kuat, berupaya merayu suaminya agar menerima hidayah Islam. Ia berupaya sebaik mungkin menerangkan agama yang dibawa ayahnya kepada suaminya itu dengan tenang dan penuh pengharapan. Dipilihnya kata-kata yang halus dan wajah yang lembut untuk menarik hati Abul Ash. Ia juga berusaha sekuat mungkin memilih untaian lisan yang indah dan tutur kata yang santun untuk meluluhkan hati sang suami tercinta. 

Namun, tidaklah ada yang bisa membalik hati manusia selain pencipta manusia itu sendiri, yaitu الله. Zainab sangat bersedih karena laki-laki yang dicintainya itu sama sekali tidak terketuk hatinya. Abul Ash hanya diam, dan tidak menanggapi seruan istrinya dengan jawaban yang memuaskan. Seolah-olah, suara hati sang istri tidaklah demikian penting dan berarti dalam hidupnya.
Ketika permusuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin dengan orang-orang kafir Quraisy semakin memuncak, orang-orang kafir tersebut mendorong para laki-laki yang mempunyai istri mukminah agar menceraikannya. Benarlah, dua belahan hati Nabi kita yang mulia, Ruqayyah dan Ummu Kultsum telah dicerai suaminya, lalu diantarkan ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa bahagianya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kembali kedua putrinya. Justru kekhawatiranlah yang melanda bila keduanya masih hidup bersama laki-laki musyrik.
Kaum kafir Quraisy sebenarnya juga mendorong Abul ‘Ash agar mencerai Zainab. Salah satu di antara mereka mengatakan, “Hai Abul ‘Ash! Cerailah istrimu! Kembalikan dia ke rumah bapaknya! Kami sanggup dan bersedia mengawinkanmu dengan siapa saja yang engkau sukai dari segudang wanita Quraisy yang cantik-cantik!
Akan tetapi, ternyata cintanya terlanjur begitu dalam kepada Zainab. Baginya, tidak ada wanita Arab yang mampu menandingi kekasih tercintanya tersebut. Oleh karena itu, Abul ‘Ash menjawab seruan orang kafir tadi, “Tidak! Aku tidak akan mencerainya. Aku tidak akan menggantinya dengan wanita manapun di seluruh dunia ini.”
Pada dasarnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin seandainya Abul ‘Ash mencerai Zainab. Namun, apa kuasa beliau? Saat itu, Allah belum mengharamkan perkawinan wanita mukminah dengan pria musyrik. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berhak memaksa Abul ‘Ash untuk mencerai istrinya.
Ketika terjadi perang Badr, Abul ‘Ash ikut berada dalam barisan kaum musyrikin. Apa boleh buat, sekiranya ia tidak berkenan memerangi mertuanya, ia tinggal bersama musyrikin tersebut di Makkah. Itulah yang memaksanya ikut dalam barisan musuh-musuh Allah.
Maka, perang pun terjadi dengan membawa hasil berupa kekalahan telak, kehinaan, dan rasa malu yang menimpa kaum kafir Quraisy. Di antara mereka, ada yang tewas terbunuh di tangan kaum muslimin. Ada yang tertawan dan ada pula yang berhasil meloloskan diri. Adapun Abul ‘Ash, ia termasuk kelompok yang tertawan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan uang tebusan yang harus dibayar bagi setiap tawanan yang ingin bebas. Tebusan yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan, sebesar kedudukan dan kekayaan tawanan tersebut di kaumnya, antara seribu hingga empat ribu dirham. Maka, berdatanganlah para utusan dari Makkah dengan membawa uang untuk menebus karib kerabat mereka yang tertawan….

Rasulullah pun Turut Bersedih
Zainab, belahan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu dalam cintanya kepada suaminya turut pula mengirim utusan untuk menebus Abul ‘Ash bin Rabi’. Di antara uang tebusan itu, terdapat sebuah kalung Zainab yang merupakan pemberian ibundanya, Khadijah binti Khuwailid, sebagai hadiah di hari pernikahan Zainab dengan Abul ‘Ash.
Ketika Nabi kita yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kalung tersebut, tersentuhlah hati beliau. Wajah beliau berubah menjadi sedih dengan kesedihan yang mendalam. Bagaimana tidak? Kalung yang beliau lihat dulunya adalah milik istri pertamanya yang selalu mendampingi beliau dalam keadaan susah dan senang. Wanita mana yang mampu menandingi kesetiaan Khadijah di kala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dicaci-maki orang-orang kafir. Khadijahlah yang menyelimuti nabi dan menenangkan beliau ketika turun wahyu pertama kali. Dari wanita mulia inilah Nabi memperoleh anak. Maka, wajarlah jikalau muncul perasaan rindu di hati beliau.
Di sisi lain, kalung yang beliau lihat adalah kepunyaan putri yang sangat beliau sayangi. Maka, hati mana yang tidak tersentuh, apalagi dari seorang ayah kepada putri yang terpisah darinya? Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para shahabatnya, “Harta ini dikirimkan Zainab untuk menebus suaminya, Abul ‘Ash. Sekiranya tuan-tuan setuju, saya harap tuan-tuan bebaskan tawanan itu tanpa uang tebusan. Uang dan harta Zainab kirimkan kembali padanya.
Para shahabat Nabi yang mulia serta merta menyahut seruan beliau dengan berkata, “Baik ya Rasulullah! Kami setuju.”
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun akhirnya membebaskan Abul ‘Ash ibn Rabi’ dengan memberi syarat agar ia segera mengantarkan Zainab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setibanya di Makkah.
Benar, setibanya di Makkah, Abul ‘Ash segera memenuhi janji ayah kekasih tercintanya itu. Ia memerintah Zainab agar segera mempersiapkan diri untuk pergi ke Madinah. Abul ‘Ash pun turut menyiapkan perbekalan dan kendaraan untuk kepergian istrinya tersebut. Ia lalu menyuruh adiknya, ‘Amr ibn Rabi’[1], untuk mengantar Zainab dan menyerahkannya pada utusan Rasulullah yang sudah menunggu tidak jauh di luar kota Makkah.
‘Amr ibn Rabi’ menyambut perintah kakaknya itu. Serta merta ia menyandang busur dan membawa sekantong anak panah, lalu dinaikkannya Zainab ke Haudaj. Mereka pergi ke luar Makkah di tengah hari, di depan muka kaum Quraisy. Melihat hal itu, orang-orang Quraisy marah, dan berupaya menyusul keduanya, lalu mengancam dan menakut-nakuti Zainab. Mereka mendapati Amr dan Zainab di Dzi Thuwa. Salah satu dari mereka yang pertama kali mampu menyusul keduanya adalah Habbar bin Aswad bin Muthallib bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushayyi dan Nafi’ bin Abdul Qais Az-Zuhri (ada yang mengatakan Nafi’ bin Abdi ‘Amr).
Habbar yang datang dengan menghunus pedang sangat menggetarkan perasaan Zainab yang berada di sekedupnya. Saat itu, ia sedang hamil. Gangguan dan ancaman Habbar membuatnya jatuh terpelanting dari sekedupnya yang mengakibatkan kandungannya gugur. Ini merupakan musibah berat yang dihadapi Zainab karena gangguan mereka membuat beliau sering sakit-sakitan yang akhirnya menjadi sebab kematian beliau. Oleh karena itu, sang ayah, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada para shahabatnya,
Jika kamu sekalian bertemu Habbar bin Aswad dan Nafi’ bin Amr, bakarlah keduanya karena keduanya telah menyakiti Zainab, putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ia keluar ke Madinah hingga akhirnya ia terus sakit-sakitan sampai meninggal dunia.”
(As-Siyar II/247)
Akan tetapi, ‘Amr ibn Rabi’, dengan panah yang telah ia siapkan, berkata keras kepada orang-orang Quraisy tersebut, “Siapa mendekat, aku panah batang lehernya!”
Suasana menjadi tegang. Perkataan ‘Amr bukanlah main-main karena suku Quraisy telah mengenalnya sebagai pemanah ulung yang tidak pernah meleset bidikannya. Di tengah-tengah suasana seperti itu, berkatalah Abu Sufyan ibn Harb, “Wahai anak saudaraku, letakkan panahmu! Kami akan bicara denganmu.”
‘Amr pun meletakkan panahnya.
Abu Sufyan berkata lagi, “Perbuatanmu ini tidak betul hai ‘Amr. Engkau membawa Zainab keluar dengan terang-terangan di hadapan orang banyak dan di depan mata kami. Orang ‘Arab seluruhnya tahu akan kekalahan mereka di Badr dan musibah yang ditimpakan bapak Zainab kepada kami. Bila engkau membawa Zainab ke luar secara terang-terangan begini, berarti engkau menghina seluruh kabilah ini sebagai penakut, lemah, dan tidak berdaya. Alangkah hinanya itu!!! Oleh karena itu, bawalah Zainab kembali kepada suaminya untuk beberapa hari. Setelah penduduk tahu kami telah berhasil mencegah kepergiannya, engkau boleh membawanya diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Jangan di siang bolong seperti ini! Engkau boleh mengantarkannya kepada bapaknya. Kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa untuk menahannya.”
‘Amr menyetujui saran Abu Sufyan. Dia mengantar Zainab kembali ke rumahnya di Makkah. Selang beberapa hari kemudian, di tengah malam, ‘Amr membawa Zainab ke luar kota dengan sembunyi-sembunyi lalu meyerahkannya kepada utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tangan ke tangan, sebagaimana pesan Abul ‘Ash. Dalam Majma’ Zawaid disebutkan bahwa tatkala warga Makkah sudah tenang dan tidak lagi membicarakan perihal Zainab, Amr keluar bersama Zainab di waktu malam, lalu menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan temannya.
Akhirnya, Abul Ash pun berpisah dengan istrinya. Dalam masa perpisahan ini, tiada satupun yang sangat Zainab harapkan selain hidayah Islam merasuk kepada kekasih yang sangat ia cintai itu. Zainab senantiasa memohon kepada Allah agar Abul Ash segera memeluk agama Islam. Perpisahan ini demikian lama, berlangsung beberapa tahun hingga menjelang Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah).

Awal Mula Pertemuan setelah Perpisahan yang Lama
Abul Ash adalah seorang pedagang dan biasa berdagang ke negeri Syam. Kegiatan perdagangan inilah yang dilakukannya setelah ia berpisah dengan wanita yang sangat dicintainya itu. Suatu ketika, menjelang terjadinya Fathu Makkah, dalam perjalanan pulang Abul Ash dari Syam ke Makkah, kafilahnya dicegat pasukan patroli Rasulullah. Ketika itu, Abul Ash membawa seratus onta yang penuh dengan muatan dan seratus tujuh pulu personil yang menggiring unta-unta tersebut. Namun, Abul Ash masih beruntung karena ia berhasil lolos dari sergapan patroli Madinah. Kemudian, dengan sembunyi-sembunyi ia menyusup ke kota Madinah di kala hari telah gelap. Ia berhasil mendapati rumah Zainab, lalu minta perlindungan kepadanya. Zainab pun memberi perlindungan kepada Abul Ash.
Setelah itu, ketika Nabi hendak menunaikan shalat shubuh dan beliau sudah sudah berdiri di mihrab, lalu takbir dan takbirnya diikuti para shahabat, Zainab berteriak dengan sekuat-kuatnya dari tempat khusus wanita,
Hai manusia! Saya Zainab binti Muhammad. Abul Ash minta perlindungan kepada saya. Oleh karena itu, saya melindunginya.
Setelah Nabi usai melakasanakan shalat, Nabi berkata kepada para shahabatnya,
Apakah tuan-tuan mendengar suara Zainab?
Para shahabat menjawab, “Kami mendengarnya wahai utusan Allah
Nabi berkata lagi,
Demi الله yang jiwaku dalam genggamannya. Saya tidak tahu apa-apa tentang hal ini, kecuali setelah mendengar teriakan Zainab
Kemudian, Nabi mendatangi rumah Zainab, kemudian berkata kepada putrinya tersebut,
Hormatilah Abul ‘Ash! Akan tetaapi, ketahuilah! Engkau tidak lagi halal baginya.
Setelah itu, Nabi memanggil pasukan patroli Madinah yang telah menyergap kafilah dagang Abul Ash, lalu beliau berkata kepadaa mereka,
Sebagaimana kalian ketahui, orang ini (Abul Ash) adalah family kami. Kalian telah merampas hartanya. Jika kalian ingin berbuat baik, kembalikanlah hartanya. Itulah yang kami sukai. Akan tetapi, jika kalian enggan mengenbalikan, itu adalah hak kalian karena harta itu adalah rampasan perang dibrikan الله kepada kalian. Kalian berhak mengambilnya.
Mendengar perkataan Nabi tersebut, para shahabat justru mengatakan,
Kami kembalikan wahai ututsan Allah…”
Mengetahui para shahabat nabi ingin mengembalikan hartanya, Abul Ash mendatangi mereka untuk mengambil hartanya tersebut. Ketika Abul Ash sampai di hadapan para shahabat Nabi, para shahabat berkata,
Wahai Abul ‘Ash! Engkau adalah seorang bangsawan Quraisy. Engkau anak paman ingakan serahkan harta ini semuanya kepadanu. Engkau akan dapat menikmati harta penduduk Makkah yang Engkau bawa ini. Tinggallah bersama kami di Madinah
Kalau kita lihat sepintas, tawaran para shahabat ini demikian menguntungkan Abul Ash. Namun, lihatlah betapa tinggi dan luhur pekerti serta kemormatan Abul Ash dalam sikap Abul Ash berikut ini:
Abul Ash menolak tawaran para shahabat seraya berkata,
Usul kalian sangat jelak dan tidak pantas. Aku harus membayar hutang-hutangku segera
Lalu, Abu ‘Ash membawa kembali harta bendanya menuju Makkah. kemudian, begitu ia sampai di Makkah, ia segera memabayarkan hutang-hutangnya kepada setiap yang berhak menerimanya. Setelah itu, ia bekata kepada penduduk Makkah,
Hai kaum Quraisy! Masih adakah yang belum menerima pembayaran dariku?
Penduduk Makkah serta merta menjawab seruan itu,
Tidak! Semoga الله membalasmu dengan yang lebih baik. Kami telah menerima pembayaran darimu secukupnya.
Abul ‘Ash lalu berkata,
Sekarang ketahuilah, aku telah aku telah membyar hak kamu masing-masing secukupnya. Maka, kini dengarkan! Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang disembah kecuali الله dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan الله . Demi الله, tidak ada yang menghalangiku untuk menyatakan Islam kepada Muhammad ketika aku berada di Madinah, kecuali kekhawatiranku kalau kalian menyangka, aku masuk Islam karena hendak memakan harta kalian. Kini, setelah الله membayarnya kepada kamu sekalian dan tanggung jawabku telah selesai, aku menyatakan masuk Islam.
Setelah itu, Abul ‘Ash keluar dari Makkah untuk menemui Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah pun menerima dan menyambut kedatangannya, serta menyerahkan kembali istrinya, Zainab ke dalam naungannya.

Di antara kemuliaan Abul Ash adalah apa yang disabdakan Nabi Muhammad berikut ini,
Dia berbicara kepadaku, aku mempercayainya. Dia berjanji kepadaku, dia memenuhi janjinya.
Namun, kebahagiaan Abul ‘Ash dalam merasakan kesejukan sang istri tercinta setelah waktu perpisahan yang begitu panjang tidaklah berlangsung lama. Ia dapati lagi perpisahan berikutnya yang tidak mungkin lagi datang pertemuan berikutnya. Perpisahan itu ialah kepergian Zainab meninggalkan dunia ini, tepatnya pada tahun 8 hijriah

Tanda-tanda kiamat menurut ISLAM

Daripada Huzaifah bin Asid Al-Ghifari ra. berkata:Datang kepada kami Rasulullah saw. dan kami pada waktu itu sedang berbincang-bincang. Lalu beliau bersabda: “Apa yang kamu perbincangkan?”. Kami menjawab: “Kami sedang berbincang tentang hari qiamat”.

Lalu Nabi saw. bersabda: “Tidak akan terjadi hari qiamat sehingga kamu melihat sebelumnya sepuluh macam tanda-tandanya”. Kemudian beliau menyebutkannya: “Asap, Dajjal, binatang, terbit matahari dari tempat tenggelamnya, turunnya Isa bin Maryam alaihissalam, Ya’juj dan Ma’juj, tiga kali gempa bumi, sekali di timur, sekali di barat dan yang ketiga di Semenanjung Arab yang akhir sekali adalah api yang keluar dari arah negeri Yaman yang akan menghalau manusia kepada Padang Mahsyar mereka”.

H.R Muslimi

Keterangan:
Sepuluh tanda-tanda qiamat yang disebutkan Rasulullah saw. dalam hadis ini adalah tanda-tanda qiamat yang besar-besar, akan terjadi di saat hampir tibanya hari qiamat. Sepuluh tanda itu ialah:
  1. Dukhan (asap) yang akan keluar dan mengakibatkan penyakit yang seperti selsema di kalangan orang-orang yang beriman dan akan mematikan semua orang kafir.
  2. Dajjal yang akan membawa fitnah besar yang akan meragut keimanan, hinggakan ramai orang yang akan terpedaya dengan seruannya.
  3. Dabbah-Binatang besar yang keluar berhampiran Bukit Shafa di Mekah yang akan bercakap bahawa manusia tidak beriman lagi kepada Allah swt.
  4. Matahari akan terbit dari tempat tenggelamnya. Maka pada saat itu Allah swt. tidak lagi menerima iman orang kafir dan tidak menerima taubat daripada orang yang berdosa.
  5. Turunnya Nabi Isa alaihissalam ke permukaan bumi ini. Beliau akan mendukung pemerintahan Imam Mahadi yang berdaulat pada masa itu dan beliau akan mematahkan segala salib yang dibuat oleb orang-orang Kristian dan beliau juga yang akan membunuh Dajjal.
  6. Keluarnya bangsa Ya’juj dan Ma’juj yang akan membuat kerusakan dipermukaan bumi ini, iaitu apabila mereka berjaya menghancurkan dinding yang dibuat dari besi bercampur tembaga yang telah didirikan oleh Zul Qarnain bersama dengan pembantu-pembantunya pada zaman dahulu.
  7. Gempa bumi di Timur.. Bisa jadi ini mengacu kepada gempa di China, Tsunami di Aceh.
  8. Gempa bumi di Barat. Bisa jadi ini akan terjadi di daerah Mexico, Argentina, Brazilia dan negara-negara Amerika Latin
  9. Gempa bumi di Semenanjung Arab.. Kemungkinan kasus longsor di Mesir sebagai pembukanya.
  10. Api besar yang akan menghalau manusia menuju ke Padang Mahsyar. Api itu akan bermula dari arah negeri Yaman. (Apa ini bahaya Nuklir?)
Mengikut pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam kitab Fathul Bari beliau mengatakan: “Apa yang dapat dirajihkan (pendapat yang terpilih) dari himpunan hadis-hadis Rasulullah Saw. bahawa keluarnya Dajal adalah yang mendahului segala petanda-petanda besar yang mengakibatkan perubahan besar yang berlaku dipermukaan bumi ini. Keadaan itu akan disudahi dengan kematian Nabi Isa alaihissalam (setelah belian turun dari langit). Kemudian terbitnya matahari dari tempat tenggelamnya adalah permulaan tanda-tanda qiamat yang besar yang akan merusakkan sistem alam cakrawala yang mana kejadian ini akan disudahi dengan terjadinya peristiwa qiamat yang dahsyat itu. Barangkali keluarnya binatang yang disebutkan itu adalah terjadi di hari yang matahari pada waktu itu terbit dari tempat tenggelamnya”

sumber:
http://misteridunia.wordpress.com/2011/10/07/tanda-tanda-kiamat-menurut-islam/

Syarifah dapat menikahi Ajami/ Ahwal/ Pribumi berdasarkan Keimanan




Pembahasan Hadits Tentang Kafaah

Dalam kitab Makarim al-Akhlaq, karya Radhiyuddin Abi an-Nashr al-Hasan bin al-Fadhal at-Thabrasi, terdapat hadits yang berbunyi:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَتَزَوَّجُ فِيْكُمْ وَأُزَوِّجُكُمْ إِلاَّ فَاطِمَةَ فَإِنَّ تَزْوِيْجَهَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ، وَنَظَرَ رَسُوْلُ الله إِلَى أَوْلاَدِ عَلِي وَجَعْفَر فَقَالَ بَنَاتُنَا لِبَنِيْنَا وَبَنُوْنَا لِبَنَاتِنَا

“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa seperti kalian. Aku kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku dengan kalian, kecuali Fatimah. Karena, perkawinannya ditetapkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah SWT). Rasulullah pun memandang kepada anak-anak Ali dan Ja’far, seraya bersabda: ‘Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami’.”

Dalam kitab tersebut tidak disebutkan sanadnya. Tetapi, hadits ini diriwayatkan oleh al-Kulaini, dalam kitabnya al-Kafi, Juz V/568, dengan sanad yang majhul [tidak diketahui]. Karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai hujah untuk menetapkan hukum wajibnya kafa’ah. Sebagai tambahan Kitab al-Kafi ini adalah rujukan imam imam syiah pengganti hadits shahih menurut kepercayaan syiah laknatullah.

Dalam riwayat lain disebutkan:

كُلُّ بَنِي آدَمَ يَنْتَمُونَ إِلَى عَصَبَةِ أَبِيهِمْ إِلا وَلَدَ فَاطِمَةَ، فَإِنِّي أَنَا أَبُوهُمْ وَأَنَا عَصَبَتُهُمْ [الطبراني في الكبير من طريق عثمان بن أبي شيبة عن جرير عن شيبة بن نعامة عن فاطمة ابنة الحسين عن جدتها فاطمة الكبرى به مرفوعا]

“Semua anak Adam bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak Fatimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka.” [Hr. At-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dari ‘Utsman bin Abi Syibah dari Jarir bin Syibah bin Nu’amah dari Fatimah binti al-Husain dari neneknya, Fatimah al-Kubra diriwayatkan secara marfu’].

Status hadits ini menurut Ibn al-Jauzi, dalam al-‘Ilal al-Mutanahiyyah, “Innahu layashihhu, laisa bi jayyid[in]. (Hadits tersebut tidak shahih, dan tidak jayyid [baik]).” Di dalam sanad-nya juga terdapat Syibah, yang dinyatakan lemah. Namun, hadits ini mempunyai banyak pendukung (syawahid). Jika pun maknanya sahih, maka hadits ini menjelaskan kekhususan Nabi saw. dan keturunannya. Namun, hadits ini tidak menjelaskan tentang wajibnya kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, khususnya keluarga Nabi saw.

Mengenai hadits dari Ibn ‘Umar:

اَلْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ لِبَعْضٍ قَبِيْلَةٌ لِقَبِيْلَةٍ وَحَيٌّ لِحَيٍّ وَرَجُلٌ لِرَجُلٍ

“Orang-orang Arab setaraf satu dengan yang lain. Kabilah satu dengan kabilah lain, satu kampung dengan kampung yang lain, laki-laki yang satu dengan yang lain…”


Hadits ini palsu, tidak ada dasarnya. Ibn Abi Hatim berkomentar, “Aku telah bertanya kepada ayahku tentang hadits ini, beliau mengatakana, “Munkar”.”Sedangkan Ibn ‘Abd al-Barr berkomentar, “Hadits ini Munkar dan palsu [maudhu’].”. Dalam isnad-nya terdapat orang yang majhul, yaitu perawi yang meriwayatkan dari Ibn Juraij. Ad-Daruquthni berkomentar, dalam kitab al-‘Ilal, “La yashihhu [Tidak sahih].”


Begitu juga hadits al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal:

اَلْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ بَعْضٍ، وَالْمَوَالِيْ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ بَعْضٍ

“Orang-orang Arab sekufu’ satu dengan yang lain. Begitu juga kaum Mawali sekufu satu dengan yang lain.” Isnad hadits ini juga lemah.
Mengenai tindakan Nabi saw. menikahkan putrinya, Fatimah al-Kubra dengan saudara sepupunya, ‘Ali bin Abi Thalib, ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk mewajiban pernikahan antara sesama syarif dengan syarifah. Sebaliknya, mengharamkan pernikahan syarifdengan bukan syarifah, atau syarifah dengan bukan syarif. Karena, ada tindakan Nabi saw. yang lain, yang berbeda dengan ini. Ketika Nabi saw. menikahkan putri bibinya, Zainab binti Jahsy al-Asadiyyah dengan Zaid bin Haritsah. Padahal, Zainah adalah syarifah, sedangkan Zaid bin Haritsah bekas budak yang telah dimerdekakan.

Bukan hanya dalam bentuk tindakan, tetapi Nabi juga memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, putra dari bekas budaknya, Zaid bin Haritsah. Maka, Usamah bin Zaid pun menikahinya atas titah Nabi saw [Hr. Muttafaq ‘alaih]. Begitu juga Abu Hudzaifah bin Rabi’ah bin ‘Utbah telah mengadopsi Salim, bekas budak wanita Anshar, sehingga dikenal sebagai Salim “Maula” [bekas budak] Abi Hudzaifah. Salim dinikahkan oleh Abu Hudzaifah dengan keponakannya, putri saudara lelakinya, Hindun binti al-Walid bin Utbah. [Hr. Bukhari].

Mengenai perkataan ‘Umar bin al-Khatthab:

لَأَمْنَعُنَّ فُرُوْجَ ذَوَاتِالأحْسَابِ إِلاَّ مِنَ الأَكِفَّاءِ

 “Aku melarang kemaluan wanita-wanita dari keturunan mulia, kecuali untuk lelaki yang setaraf dengannya.”

Perkataan ‘Umar ini bukan hadits. Apa yang dinyatakan ‘Umar ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan karena tidak kafa’ah. maksud "Setaraf" dari ucapan Beliau maksudnya adalah setaraf Ilmu agamanya bukan dari nasab keturunannya.

Begitu juga pendapat Salman al-Farisi, sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Qudamah:


بَلْ أَنْتَ تَقَدَّمْ فَإِنَّكُمْ مَعْشَرَ الْعَرَبِ لاَ يُتَقَدَّمُ عَلَيْكُمْ فِي صَلاَتِكُمْ وَلاَ تُنْكَحُ نِسَاؤُكُمْ إِنّ اللهَ فَضَّلَكُمْ عَلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعَلَ فِيْكُمْ

 “Anda [Jarir] yang harus maju. Kalian kalian, wahai orang-orang Arab, kalian tidak boleh dipimpin dalam shalat kalian [oleh non-Arab]. Perempuan kalian juga tidak boleh dinikahi, sesungguhnya Allah memuliakan kalian atas kami karena Muhammad saw. Dia juga dijadikan di antara kalian.” [HR. al-Baihaqi]

Perkataan Salman ini juga bukan hadits. Apa yang dinyatakan Salman ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan karena tidak kafa’ah. Kalau pun ini dijadikan sebagai syarat, hanya syarat afdhaliyyahsaja, baik dalam imamahshalat maupun pernikahan.

Karena itu, tidak ada satu dalil pun yang bisa digunakan untuk mewajibkan kafa’ah bagi pasangan suami isteri, baik dari kalangan Arab dengan Arab, Arab dengan non-Arab, maupun syarifah dengan bukan syarifah. Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menyatakan, karena itu, maka nash-nash yang menyatakan kafa’ah adalah nash yang batil, atau tidak bisa digunakan untuk berhujah. Mensyaratkan kafa’ah juga bertentangan dengan sabda Nabi saw:

لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

 “Tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab terhadap non-Arab kecuali dengan ketakwaannya.” [Hr. Ahmad]


Syarat tersebut juga bertentangan dengan nash al-Qur’an:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

 “Sesungguhnya di antara kalian yang paling mulia di sisi Allah, adalah kalian yang paling bertakwa.” [Q.s. al-Hujurat: 13]


Karena itu, hadits-hadits tentang syarat kafa’ah, atau bahkan yang mewajibkan kafa’ah jelas harus ditolak, dari aspek riwayat maupun dirayah. Maka, Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menegaskan, bahwa hadits-hadits yang menyatakan tentang kafa’ah ini adalah hadits-hadits makdzubah [bohong/palsu] [Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 104].

Perbedaan Kafa’ah di Kalangan Ulama’

Sebagian fuqaha’, seperti Imam Ahmad, menggunakan sebagian hadits di atas sebagai argumen untuk menyatakan, bahwa kafa’ah merupakan syarat sahnya pernikahan. Jika tidak terpenuhi, maka kedua mempelai yang tidak sederajat itu harus dipisahkan. Ini juga merupakan pendapat Sufyan at-Tsauri. Dasar yang digunakan, selain hadits yang telah dinyatakan lemah di atas, juga pendapat ‘Umar dan Salman. Mengenai penggunaan kedua pendapat sahabat, ‘Umar dan Salman, bisa dimengerti, karena Imam Ahmad mengakui Mazhab Sahabat sebagai dalil.

Namun, ini bukan pendapat Imam Ahmad satu-satunya. Karena, Imam Ahmad juga mempunyai pendapat kedua, yang berbeda dengan riwayat pertama. Menurutnya, kafa’ah bukan syarat sahnya pernikahan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama’, bukan hanya pendapat Imam Ahmad. Pendapat ini ternyata juga merupakan pendapat ‘Umar, Ibn Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ‘Ubaid bin ‘Umair, Hammad bin Sulaiman, Ibn Sirin, Ibn ‘Aun, Imam Malik, as-Syafii dan Ashhab ar-Ra’y [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/387-388].

Dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan, bahwa bangsa Arab non-Quraisy tidak kafa’ahdengan Quraisy. Non-Bani Hasyim juga tidak kafa’ah dengan Bani Hasyim. Pendapat Imam Ahmad ini bisa dimengerti, karena menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil. Ini juga merupakan pendapat pengikut mazhab Syafii, berdasarkan sabda Nabi saw:


إنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ، وَاصْطَفَى مِنْ كِنَانَةَ قُرَيْشًا، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِيْ مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ.

 “Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim]

Pendapat pengikut mazhab Syafii ini sama dengan pendapat Abu Hanifah. Beliau berkata, “Orang non-Arab tidak kafa’ah dengan orang Arab. Orang Arab tidak kafa’ah dengan Quraisy. Semua kaum Quraisy itu kafa’ah.”

Namun, sekali lagi, dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan sebaliknya, bahwa bangsa Arab satu dengan yang lain sama-sama kafa’ah. Bangsa non-Arab juga demikian, satu dengan yang lain, juga sama-sama kafa’ah. Alasannya, karena Nabi saw. telah menikahkan kedua putrinya dengan ‘Utsman. Baginda saw. juga menikahkan putrinya, Zainab binti Muhammad saw. dengan Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’. Padahal, keduanya berasal dari Bani ‘Abdi Syam, bukan dari Bani Hasyim. ‘Ali bin Abi Thalib juga telah menikahkan ‘Umar dengan putrinya, Ummu Kaltsum, dengan ‘Umar bin Khatthab. Meski ‘Umar bukan dari Bani Hasyim. Begitu juga ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsman telah menikahi Fatimah binti al-Husain bin ‘Ali, sedangkan Mush’ab bin az-Zubair menikahi saudara Fatimah, Sukainah. Miqdad bin al-Aswad menikahi Shuba’ah binti az-Zubair bin ‘Abdul Muthallib, putri paman Nabi saw. Padahal, keduanya berbeda nasabnya [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/392-393].

Karena itu, pendapat yang menyatakan kewajiban kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, di kalangan fuqaha’ adalah pendapat syar’i, setidaknya jika mazhab yang menyatakannya menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil. Sebagaimana Imam Ahmad, misalnya. Namun, jika mazhab tersebut tidak menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil, seperti pengikut mazhab Syafii, maka pendapat ini tentu bukan pendapat syar’i. Dengan catatan, jika pendapat tersebut didasarkan pada Mazhab Sahabat.

Namun, jika pendapat tersebut didasarkan pada hadits lain, yaitu “Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim], sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah, maka hadits ini tidak menunjukkan kewajiban kafa’ahpasangan suami-isteri. Dengan demikian, pendapat yang paling kuat, adalah pendapat yang menyatakan, bahwa kafa’ah tersebut bukan syarat, juga bukan kewajiban bagi pasangan suami-isteri.


Masalah Agama dan Kerelaan Bukan Masalah Kafa’ah

Mengenai faktor agama yang dijadikan ukuran kafa’ah antara suami-isteri, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, Syafii, Malik dan Abu Hanifah, dalam hal ini Imam Malik berkata, “Kafa’ah hanya dalam masalah agama, bukan yang lain.” Sebagaimana firman Allah SWT:


أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لاَ يَسْتَوُوْنَ

“Apakah sama orang yang beriman dengan orang yang fasik, tentu mereka tidak sama.” [Q.s. as-Sajdah: 18]

Ibn al-Mundzir menukil dari al-Buwaithi, bahwa Imam as-Syafii berkata, “Kafa’ah itu dalam agama.” Pendapat ini juga dinyatakan dalam kitab Mukhtashar al-Buwaithi. Dalam kitab Fath al-Bari, beliau menyatakan, “Kafa’ah dalam agama yang diakui merupakan perkara yang disepakati. Maka, tidak halal seorang wanita Muslimah bagi lelaki Kafir.” [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]

Mengenai perbedaan agama ini, menurut al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, sebenarnya ini bukan pembahasan tentang kafa’ah. Tetapi, ini merupakan pembahasan tentang pernikahan kaum Muslim dengan non-Muslim. Ini tentu merupakan pembahasan lain. Hal yang sama juga terkait dengan kefasikan seseorang, ini sebenarnya tidak terkait dengan masalah kafa’ah. Tetapi, masalah pilihan dan kerelaan.

Imam as-Syafii menyatakan, bahwa asal muasal kafa’ah dalam pernikahan, sebenarnya adalah hadits Barirah [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]. Dalam hal ini, Barirah, budak wanita, menikah dengan sesama budak. Ketika Barirah dimerdekakan, sementara suaminya masih menjadi budak, maka dia diberi pilihan, apakah mau tetap menjadi isteri budak tersebut, atau membatalkan nikahnya. Diriwayatkan dari al-Qasim dari ‘Aisyah, bahwa Barirah ketika itu masih menjadi isteri dari seorang budak. Ketika dia dimerdekakan, Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Kamu pilih, jika kamu mau, maka kamu tetap menjadi isteri budak ini. Jika kamu mau, kamu bisa meninggalkannya.” [HR. Ahmad]. Dalam riwayat Muslim dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, “Barirah telah dimerdekakan. Suaminya tetap menjadi budak. Rasulullah saw. memberikan pilihan kepadanya. Kalau suaminya sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.”

Jadi, pilihan yang diberikan Nabi saw. kepada Barirah tidak terkait dengan masalah kafa’ah atau tidak, melainkan terkait dengan status suaminya yang masih menjadi budak, dan konsekuensi Barirah menjadi isteri budak. Karena itu, ‘Aisyah berkomentar, “Kalau suaminya sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.” [Hr. Muslim].

Dari sini bisa dipahami, bahwa diberikannya pilihan kepada Barirah untuk bertahan menjadi isteri budak, atau tidak, merupakan bukti yang kuat, bahwa ini masalah pilihan. Tidak terkait dengan rusak dan tidaknya akad pernikahannya, karena tidak kafa’ah. Ini berbeda dengan perbedaan agama, karena ini bukan masalah pilihan. Dalam kasus suami murtad, misalnya, jelas status pernikahannya batal (fasakh). Begitu juga wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, baik Kristen, Yahudi, Hindu, Budha maupun yang lain. Dengan atau tanpa keputusan pengadilan, status pernikahan pasangan ini jelas batal.

Kontroversi Masalah Ahlul Bait
Dengan menyebut Nama Allah Yang Rahmaan dan Rahiim. Maha Suci Allah, Maha Benar Allah atas segala firmanNya. Salawat dan Salam kami haturkan kepada Rasulullah SAW, para keluarga (Ahlul Bait), para Sahabat, juga para pengikut Beliau yang istiqamah hingga akhir hayat. Kontrovesi berkecamuk secara terselubung dalam dada ummat Islam, yang pada dasarnya dibagi menjadi dua kubu raksasa, yaitu Arabi (orang Arab, berketurunan Arab, atau Peranakan Arab) dan Ajami/ Ahhwal (nonArab). Ini bukan persoalan geografis, ini mengenai tempat dimana diturunkannya Islam dan penyebarannya yang awal. Arab (Mekah dan Madinah) merupakan sentral Islam, yang mana ramai orang berasumsi bahwa “oleh karenanya Arabi lebih memahami Islam dibandingkan dengan Ajami,” atau dengan kalimat lain “Ajami belajar Islam dari Arabi.” Arabi kemudian terbagi menjadi dua, yakni Sayyid (dan Sayyidah) dan Masyaikh (biasa disebut Arab Syekh atau Tuan). Arab Sayyid (dan Sayyidah) inilah yang disebut Ahlul Bait (Anak Cucu atau Rasulullah SAW yang berbangsa Arab). Lalu ada persoalan apakah dengan hal tersebut? Persoalannya duduk pada “tingkat kemuliaan,” dimana disebutkan bahwa kedudukan Ahlul Bait (Arab Sayyid) lebih mulia dari pada Ajami; meskipun kita samasama tahu bahwa Rasulullah SAW adalah As’adal Arabi wal Ajami, atau Pimpinan Arabi dan Ajami. Dalam konteks yang sangat terbatas, Rasulullah SAW memandang sama seluruh muslim adalah ummat yang dicintainya.

Dalam konteks lain, Ahlul Bait adalah keturunan (tetesan darah Rasulullah yang Mulia) yang memang patut dicintai oleh setiap Muslim yang beriman, bukan hanya sekedar dihormati saja. Bahkan terhadap sesama Arabi, Masyaikh patut memuliakan Sayyid. Hal ini dikarenakan oleh cinta kepada Rasulullah SAW; darah Rasulullah yang Mulia mengalir dalam darah Ahlul Bait. Kontroversi mulai muncul saat terbukanya hukum hukum tertentu yang diberlakukan berdasarkan penafsiran berbagai macam dalil yang mutawattir dan bertanggungjawab, yang mengatur interaksi antara Ahlul Bait dan yang non Ahlul Bait. Ada kemungkinan bahwa masyarakat Ajami yang berbeda pendapat merasa terdiskredit dengan hukum-hukum yang akan dijelaskan nanti. Lebih dari itu, hukum-hukum tersebut menempatkan posisi Ajami pada level yang terlalu inferior; dalam kondisi tertentu dapat disebut terintimidasi secara harga diri. Sebagai tindak respon, sebagian Ajami yang merasa “terdiskreditkan” hampir menolak hukumhukum tersebut, meskipun sikap mereka tidak akan merubah keadaan. Respon Ajami tersebut oleh sebagian Ahlul Bait dianggap negatif, bahkan disebut sebagai bentuk kedengkian yang merupakan raja dari penyakit hati. Sejarah Ahlul Bait serupa dengan lorong-lorong panjang yang memiliki banyak tikungan, namun bukanlah sebuah labirin. Singkat cerita, Ahlul Bait adalah keturunan Rasulullah SAW dari silsilah Imam Ali bin Abi Thalib (Karamallahu Wajhahu) dan Siti Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW; khususnya dari Imam Al-Hasan dan Al-Husain.

Rasulullah SAW dikaruniai keturunan yang secara gen dari garis perempuan (Puterinya yang Mulia Siti Fathimah). Jika bangsa Arab menganut pola keturunan matrilineal, maka hal itu sah saja. Namun jika bangsa Arab, setidaknya pada saat itu, menganut pola keturunan patriarki, maka ceritanya bisa menjadi lain. Dan seperti yang akan saya paparkan, ada sedikit paradoks dalam situasi ini. Keutamaankeutamaan Ahlul Bait hampir tidak dapat dihitung jika dibandingkan dengan Ajami yang konon “tidak ada apa-apanya” dibandingkan dengan Ahlul Bait. Inilah yang menjadi kontroversi antara Ahlul Bait dengan yang nonAhlul Bait.

AHLUL BAIT DISUCIKAN OLEH ALLAH SWT
Benarkah demikian? Jawabannya adalah “Ya, benar!” Allah SWT telah Menyatakannya dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan dosadosa dari kalian Ahlul Bait, dan mensucikan kalian sesuci sucinya.” (QS. AlAhzab: 33).

Ini merupakan deklarasi awal kemuliaan Ahlul Bait; Allah SWT “HENDAK” mensucikan para Ahlul Bait sesuci-sucinya. Ini berarti Ahlul Bait adalah orang-orang yang "HENDAK" disucikan oleh Allah SWT, bahkan ketika Ahlul Bait itu tidak berupaya untuk mensucikan dirinya sendiri. Bagaimana dengan mereka yang kebetulan Ahlul Bait namun melakukan kemungkaran? Sebagai manusia yang memiliki potensi ganda, perbuatan buruk dapat dilakukan oleh siapa saja. Jika salah satu Ahlul Bait (dari keturunannya) melakukan hal mungkar, apakah ayat tersebut masih berlaku? Dimanakah letak keadilan Allah SWT? Jawabannya singkat, mereka sama akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan di bumi karena hukum ini berlaku sama untuk semua umat manusia tanpa terkecuali. Lalu bagaimanakah kiranya jika dia meninggal saat baru saja atau dalam melakukan kemungkaran? Pertanyaan ini biarlah dijawab oleh Ahlul Bait sendiri. Jika diperhatikan, ayat di atas mengandung modal “hendak” yang orientasinya adalah sesuatu yang belum terlaksana.

Pemahaman yang beredar awet selama ini seakan-akan firman Allah tersebut berbunyi “Sesungguhnya Allah mensucikan…” atau “Sesungguhnya Allah telah mensucikan…” Allah SWT tidak mensucikan orang-orang yang melaksanakan perbuatan mungkar jika dia tidak bertobat dan merubah kelakuannya. Firman tersebut hendaknya dimaknai sebagai sebuah ultimatum bahwa Ahlul Bait seyogianya menjaga akhlaknya agar tidak terjerumus dalam jurang dosa, karena sebagai keturunan Rasulullah SAW, mereka bertanggungjawab atas kelanggengan ajaran Islam yang dibawa oleh Beliau SAW. Jika ada Ahlul Bait yang menyalahi hukum, maka ayat di atas tidak berlaku atas dirinya. Bagaimana dengan Ajami? Apakah ada hak istimewa yang serupa?

Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
“…Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendakiNya dan menyiksa siapa yang dikehendakiNya”
(QS. Al-Baqarah:284/Al-Maidah: 18)

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan
furqan (sebagai pewaris Al-Qur’an) dan menghapuskan segala segala kesalahanmu dan mengampuni
dosa-dosamu…”
(QS. Al-Anfal: 29)

“…sesungguhnya Tuhanmu mengampuni orangorang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat dan sesudah itu memperbaiki dirinya…”
(QS. An-Nahl:119)

“…tetapi orang yang berlaku zalim, kemudian ditukarkannya kezalimannya dengan kebaikan (Allah akan mengampuninya); maka sesungguhnya Aku maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An-Naml:11)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosadosamu…”
(Al-Ahzab:70-71)

“…janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya…”
(QS. Az-Zumar:53)

“…dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensicikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri…”
(QS. Al-Fathir: 18)

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 910)

Ayat-ayat di atas adalah ayat-ayat yang sifatnya umum. Orang Ajami/Ahwal yang beriman pun merupakan orang-orang yang “disucikan oleh Allah” sesuci-sucinya (sedangkan orang kafir dan zalim sekalipun masih diampuni atau disucikan oleh Allah jika dia berbuat baik!). Dalam hal ini, tentu saja yang dimaksudkan dengan “mensucikan” adalah mengampuni dosadosa. Secara otomatis, siapapun yang tidak beriman, tidak mensucikan dirinya, maka tidak akan disucikan oleh Allah SWT. Tidak akan ada keraguan dalam al-Qur’an, tidak ada ayatayat yang bertolakbelakang. Setiap ayat menjelaskan ayat lainnya. Untuk bisa memahami maksud Allah dengan “hendak mensucikan” dalam surat al-Ahzab ayat 33 di atas, kita membutuhkan ayat-ayat yang saya kutip di atas. Intinya, Allah SWT mensucikan orang-orang yang Dia Kehendaki, yaitu orang-orang yang beriman dan mensucikan dirinya; baik itu Ajami maupun Arabi; baik itu Ahlul Bait, maupun yang non-Ahlul Bait.

Dengan demikian, tudingan bahwa Ahlul Bait itu superior dan Ajami inferior dalam hal pensucian (pengampunan) dosa (sesuci-sucinya) itu tidaklah relevan. Ajami tidak perlu merasa terdiskredit, karena Allah itu Maha Adil. Menggunakan ayat 33 dari surat al-Ahzab tanpa dikaitkan dengan ayatayat
seperti yang saya kutip di atas (dan masih banyak ayatayat yang demikian) hanya memoles “wajah Tuhan” sebagai Dzat yang tidak adil, dan itu salah satu dosa besar.

AHLUL BAIT ADALAH PEWARIS ALQUR’AN

ayat 32 dalam surat al-Fathir yang berbunyi:

“Kemudian Kitab itu (Al-Qur’an) Kami wariskan kepada orang orang dari hamba Kami yang telah Kami Pilih.”

Terdapat kemuliaan Ahlul Bait, karena yang dimaksudkan dengan “hamba terpilih” adalah para Ahlul Bait (ini dilansir oleh salah satu penulis Ahlul Bait yang bukunya digunakan untuk kalangan Ahlul Bait saja). Ini memang agak beresiko. Mengapa tidak? Allah sendiri tidak menyebutkannya dalam ayat tersebut, dan ayat tersebut sama sekali bukan ayat mutasyabih. Justru ayat tersebut berkenaan dengan ayat ke 29 surat Al-Anfal bahwa pewaris Al-Qur’an adalah orang-orang yang beriman. Menurut penulis Ahlul Bait yang saya sebut di atas, alasan Ali Ar-Ridha pendeta syiah adalah “jika yang dimaksudkan adalah seluruh ummat Muslim, maka tentu semuanya akan menjadi penghuni syurga.” Memang ada benarnya, ayat tersebut bukan untuk seluruh ummat Muslim; tetapi mereka yang terpilih. Namun yang terpilih bukan saja Ahlul Bait, tetapi orang-orang yang beriman; baik itu dari kalangan Ahlul Bait, maupun yang nonAhlul Bait. Sehingga, komentar penulis bahwa
“…jadi yang mewarisi Kitab Suci adalah Al-Ithrah At-Thahirah (keluarga suci keturunan Rasulullah SAW.) bukan orang-orang selain mereka…” menurut saya agak prematur. Saya khawatir kemuliaan yang dianugerahkan oleh Allah menjadi bibit ujub dalam hati dan merusak iman. Beberapa literatur Ahlul Bait memang terkesan subjektif dan pragmatis. Saya menggunakan kata “beberapa” sebagai implikatur skalar yang maksudnya berbeda dengan “banyak” tetapi lebih dekat bermakna “sedikit.” Saya sebut subjektif karena tidak jelas objeknya. Kaum Ajami kadang digeneralisir sebagai “orang yang membenci Ahlul Bait,” kurang iman, pelontar fitnah, dan sebagainya (misalnya dalam sebuah tulisan yang berjudul “Tuntutan Tanggung Jawab terhadap Ahlul Bait dan Kafa’ahnya). Siapa sebenarnya yang menjadi objek dari tudingan tersebut tidak jelas, sehingga tulisan tersebut subjektif. Saya sebut pragmatis karena TERLALU BANYAK ayat-ayat yang penafsirannya terkondisi.

TERLALU BANYAK ayat-ayat “umum” yang ditafsirkan secara “khusus” dalam konteks ke Ahlul Bait—an seperti contoh yang baru saya paparkan. Misal lain, untuk memperkuat tudingan mengenai “orang yang membenci Ahlul Bait” ini, penulis Ahlul Bait buku yang saya sebut tadi menggunakan ayat ke 54 surat anNisa
yang tidak ditulis secara penuh. Dalam buku tersebut (pada halaman 15) ditulis:

“Ataukah mereka manusia (masih merasa iri hati terhadap apa-apa yang telah diberikan Allah pada orang-orang (yang merupakan) karuniaNya.”

Sedangkan ayat tersebut merupakan rangkaian yang fatal jika dipisahkan dari ayat ke 49 sampai dengan ayat ke 55 dari surat anNisa. Saya bersedia menuliskannya disini:

Ayat 49: ”Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (ayat ini ada hubungannya dengan kontroversi pertama).

Ayat 50: “Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata bagi mereka.”

Ayat 51: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari alkitab? Mereka percaya kepada jibt dan thagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.”


Ayat 52: “Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah. Barangsiapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.”

Ayat 53: “Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikitpun (kebajikan) kepada manusia,” [ayat ini diakhiri dengan koma, bukan titik, yang artinya adalah sinyal transisi, bukan akhir ayat,]

Ayat 54: “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.”

Ayat 55 “Maka di antara mereka (orangorang yang dengki itu), ada orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) beriman kepadanya. Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang kekal.”

Ayat-ayat di atas ditujukan kepada orang-orang yang merasa dirinya suci, yang menyembah jibt dan thagut, yang kaya raya namun kikir, dan kemudian memerangi Rasulullah SAW dalam mengajak ummat manusia ke dalam iman. Jangan jadikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai penguat hujjah yang subjektif secara pragmatis. Ini merupakan kritikan bagi mereka yang tidak mau bijak (meskipun mampu) dalam melansir ayat suci.


MENIKAHI PEREMPUAN AHLUL BAIT BERARTI MEMUTUSKAN HUBUNGAN FAMILINYA DENGAN RASULULLAH SAW

Lelaki kaum Ajami tidak dibenarkan menikahi salah seorang perempuan dari kalangan Ahlul Bait, anak cucu Rasulullah SAW yang mulia lagi disucikan oleh Allah SWT. Apabila hal tersebut tetap terjadi, maka setiap adanya senggama antara mereka, maka mereka terhukum zina. Selain itu, perbuatan tersebut tidak dianggap berdasarkan cinta, melainkan hawa nafsu yang merusak; terutama memutuskan hubungan famili antara perempuan tersebut dengan Rasulullah SAW. Sehingga, bagi kalangan Ahlul Bait, menikahi perempuan dari kalangan Ahlul Bait (jika lelakinya Ajami) merupakan tindakan kriminal; meskipun hal itu terjadi atas dasar cinta (mahabbah) karena Allah dan Rasul. Hukum ini disebut kafa’ah, atau kesederajatan. Kalangan Ahlul Bait (berdasarkan penafsiran atas berbagai dalil) sangat menjaga hubungan famili dengan Rasulullah SAW. Tidak terkecuali, kalangan Ajami pun senantiasa mencintai dan menjaga hal tersebut. Salah satu cara untuk menjaga nasab menuju Rasulullah SAW adalah dengan tidak menikahkan perempuan-perempuan
Ahlul Bait dengan lelaki-lelaki yang non Ahlul Bait. Kelihatannya, pola keturunan patriarki yang dianut. Sedangkan ketika Rasulullah SAW mendeklarasikan Ahlul Baitnya melalui nasab puterinya, kelihatan pola keturunan matrilineal yang dianut. Sebuah Hadits menyebutkan: “Fathimah adalah bagian dari diriku. Apa yang membuatnya marah akan membuatku marah. Apa yang melegakannya akan melegakanku. Sesungguhnya semua nasab akan terputus pada hari kiamat, selain nasabku, sebabku, dan keturunanku.” (HR. Ahmad dan alHakim).

Paradoks pola keturunan yang disebutkan di atas bersumber dari sebuah hadits pula:
“Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka, kecuali anak Fathimah

(Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain), akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab.” (HR. Baihaqi dan At-Thabrani).

Paradoks ini sama sekali tidak bermuatan negatif, melainkan positif. Rasulullah SAW bermaksud menyelamatkan ummat dari perbuatan nista, dan menyelamatkan keturunannya dari terputusnya nasab. Pada hari kiamat, dalam surat al-Mukminun ayat 101 disebutkan, akan putus segala nasab. Ayat ini menunjukkan satu hal, yaitu bahwa setiap orang menjadi pribadi masing-masing yang akan mempertanggung jawabkan amal perbuatannya. Untuk nasab Rasulullah SAW, insya Allah akan mendapatkan naungan dari kemuliaan Beliau yang Tercinta. Hanya saja, menilik sejarah (bahkan dilansir oleh penulis Ahlul Bait), Rasulullah SAW menikahkan puteri-puteri Beliau yang lain dengan para sahabat Beliau. Ruqayyah (juga Ummu Kultsum) dinikahkan dengan Sayyidina Utsman bin Affan r.a., Zainab dinikahkan dengan Abul ‘Ash bin arRabi. Mungkin hal tersebut tidak memutuskan nasab Rasulullah SAW. Kami berharap puteri-puteri Rasulullah SAW yang tercinta tidak terputus nasabnya. Kami berharap meskipun kami yakin bahwa mereka tidak terputus nasabnya, karena mereka menikahi lelaki beriman; Allah mengharamkan perempuan beriman menikahi lelaki musyrik, begitu pula sebaliknya. Di sisi lain, pada hakikatnya, menikah itu memperlebar jalur kekeluargaan, bukan memutuskannya. Menikah dengan orang berbeda agama berarti murtad. Menikah dengan orang tidak beriman berarti fasik. Tetapi menikah dengan orang seagama dan beriman adalah memperlebar keluarga beriman, memperpanjang nasab. Demikianlah pandangan Ajami dalam memahami ayat-ayat pernikahan yang sarat dalam surat an-Nisa.

Masih banyak lagi hukum-hukum yang mengandung kontroversi yang tidak sempat saya ulas dalam artikel ini. Dalam menulis artikel ini, saya mengambil posisi netral sebagai moderator. Saya tidak bermaksud mewakili Ajami juga bukan Ahlul Bait; meskipun dalam beberapa hal saya juga terkoptasi dengan pemikiran Ajami yang berbeda dengan Ahlul Bait; dimana saya juga kurang setuju dengan cara-cara para penulis Ahlul Bait yang secara arogan menginferiorkan Ajami. Melalui ini pula, saya hendak berpesan pada kaum Muslimin Ajami bahwa status manusia di hadapan Allah itu sama; terkecuali para Ahlul Bait, Allah membedakannya dalam hal-hal tertentu.

Mari sama-sama kita cintai Rasulullah SAW dan Ahlul Bait Beliau, dan menjaga hukum-hukum yang maktub. Ajami adalah pelindung Ahlul Bait, pagar besi yang menjaga mereka agar tidak tersentuh kaum yang membenci mereka.
Sedangkan kepada kaum Muslimin Ahlul Bait, hendaknya menghormati kaum Ajami yang adalah pelindung dan pencinta. Perbedaan pendapat yang ada sebenarnya bersumber dari keteledoran penulis Ahlul Bait yang mendiskreditkan kaum Ajami; yang secara arogan menuding kiri dan kanan. Status dan perlakuan istimewa layak untuk didapatkan oleh Ahlul Bait. Hukum-hukum interaksi wajib ditegakkan. Namun untuk urusan kemuliaan, biarlah Allah yang menetapkannya.

Dengan ini saya menyimpulkan bahwa pernikahan antara Syarifah dengan Ajami adalah sah apabila didasarkan oleh keimanan agama dan Allah SWT, permasalahan kafa'ah adalah hanya sebuah budaya yang konyol dikarenakan ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW selalu mengajarkan kita PERSAMAAN=EQUALITY=KAFA'AH yang benar adalah kita sebagai makhluk Allah SWT mempunyai hak yang sama di mata Allah.

Al-Ahzab 40:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” ()

Surat AL-Hujarat 13:
aku ciptakana manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal (bukan untuk saling menjatuhkan) sesungguhnya iman seseorang lah yang jadi pembeda di mata ALLAH SWT.

Dengan ini saya menyimpulkan bahwa pernikahan antara Syarifah dengan Ajami adalah sah apabila didasarkan oleh keimanan agama dan Allah SWT, permasalahan kafa'ah adalah hanya sebuah budaya yang konyol dikarenakan ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW selalu mengajarkan kita PERSAMAAN=EQUALITY=KAFA'AH yang benar adalah kita sebagai makhluk Allah SWT mempunyai kewajiban dan hak yang sama.


10 Kasus wanita Ahlulbayt menikah dengan non ahlulbayt

1. Ruqayyah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Utsman bin Affan.
2. Ummu Kultsum binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Utsman bin Affan.
3. Zainab binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Abul ‘Ash.
4. Ummu Kultsum bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Umar bin Al-Khatthab.
5. Sukainah binti Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Zaid bin Umar bin Utsman bin Affan.
6. Fathimah binti Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan.
7. Fathimah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Al-Mundzir bin Zubair bin Al-Awam.
8. Idah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Nuh bin Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah.
9. Fathimah binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Ayyub bin Maslamah Al-Makhzumi.

10. Ummul Qasim binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Marwan bin Aban bin Utsman bin Affan.










tidak mengapa seorang syarif menikahkan putrinya dengan orang yang bukan syarif jika memang putrinya tersebut rela. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menikahkan putri-putri beliau dengan sebagian sahabat yang bukan dari Bani Hasyim. Semisal Utsman bin Affan dan Abul ‘Ash bin Ar Rabi’ radhiallahu’anhum. Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu juga menikahkan putrinya dengan Umar bin Khatab radhiallahu’anhu. Demikian juga Sukainah bin Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib pernah menikah dengan empat orang lelaki yang bukan dari Bani Hasyim. Demikianlah praktek para salaf terdahulu dan hal ini tidak bisa diingkari.

Sampai hari ini barulah ada sebagian orang di sebagian negeri yang enggan melakukan hal tersebut, yang karena takabbur (sombong) dan ingin diagungkan, sehingga mereka membatasi calon pengantin putrinya hanya dari kalangan tertentu saja.

Hal ini jelas akan menimbulkan kerusakan dan bahaya yang besar. Cukuplah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para khulafa ar rasyidin sebagai teladan yang baik bagi kita.






Lisanul hal afshah min lisanil maqaal (Tindakan lebih fasih dari ucapan). inilah pernikahan yang dicontohkan oleh Rasulullah kepada para Sahabat beserta anak cucu mereka.


Sesungguhnya pernikahan diatas adalah pernikahan yang sah walaupun Sang laki laki bukan dari golongan Sayyid, apabila ada golongan yang mengatakan bahwasannya menikahkan Syarifah bukan kepada Sayyid adalah perbuatan yang HARAM, maka golongan itu sudah mengharamkan pernikahan pernikahan para sahabat dengan anak dan cucu Rasulullah diatas. Wallahualam bissawab.

Wassalam..

Larangan Duduk Memeluk Lutut Saat Khutbah Jumat

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc   Tidak sedikit jamaah shalat Jumat yang duduknya dalam keadaan memeluk lutut. Bahkan saking enaknya duduk ...