Fenomena Tukang Parkir Ilegal di Indonesia: Antara Pencari Nafkah dan Pelanggar Amanah

Pendahuluan

Fenomena tukang parkir ilegal di Indonesia telah menjadi persoalan sosial yang kian meresahkan masyarakat. Hampir di setiap sudut kota—mulai dari pasar tradisional, pusat perbelanjaan, hingga pinggiran jalan umum—kehadiran mereka menjadi pemandangan yang biasa, bahkan dianggap “lumrah”. Namun di balik kebiasaan itu tersimpan masalah besar: praktik pungutan liar, pemerasan halus, dan penyalahgunaan ruang publik yang semestinya menjadi hak semua warga negara.

Masalah ini bukan hanya persoalan kecil tentang uang parkir seribu dua ribu rupiah. Ia telah berubah menjadi simbol ketidakdisiplinan sosial, lemahnya penegakan hukum, dan krisis moral di tengah masyarakat. Dalam perspektif Islam, fenomena ini menyentuh aspek hak orang lain (ḥuqūq al-‘ibād), amanah, dan keadilan sosial, yang semuanya memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ.


---

Realitas di Lapangan

Banyak tukang parkir ilegal yang tidak memiliki izin resmi dari pemerintah daerah. Mereka “menguasai” area tertentu dan menagih uang parkir seolah itu hak mereka. Tak jarang, jika seseorang menolak membayar, mereka menunjukkan sikap agresif, bahkan mengancam atau merusak kendaraan. Uang yang dikumpulkan pun sering kali tidak disetor kepada pemerintah, melainkan menjadi penghasilan pribadi tanpa pajak, tanpa tanggung jawab, dan tanpa perlindungan hukum.

Fenomena ini menciptakan lingkaran setan:

1. Masyarakat diperas secara halus oleh oknum tukang parkir.


2. Pemerintah kehilangan potensi pendapatan daerah dari retribusi parkir.


3. Tukang parkir resmi tersisih karena kalah oleh sistem liar yang “berkuasa di lapangan”.


4. Keamanan publik terganggu, karena banyak yang menggunakan kekerasan atau intimidasi.



Maka, isu tukang parkir ilegal bukan sekadar ekonomi informal, melainkan masalah moral dan ketertiban umum.


---

Pandangan Islam tentang Hak dan Amanah

Islam menekankan pentingnya menjaga hak orang lain dan menunaikan amanah. Dalam Al-Qur’an Allah ﷻ berfirman:

> "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil..."
(QS. An-Nisa [4]: 58)



Ayat ini menegaskan bahwa segala bentuk tanggung jawab dan kekuasaan—termasuk pengelolaan fasilitas umum seperti parkir—adalah amanah yang harus dijalankan dengan keadilan. Tukang parkir yang memungut biaya tanpa izin atau memberikan rasa takut kepada orang lain berarti telah mengkhianati amanah publik.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

> "Tidak halal harta seorang Muslim diambil oleh Muslim lainnya kecuali dengan kerelaan hatinya."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)



Hadits ini menegaskan bahwa mengambil uang parkir dari orang yang tidak rela atau tanpa dasar hukum yang sah adalah ghasab—yaitu mengambil hak orang lain secara zalim. Dalam fiqih Islam, ghasab termasuk dosa besar karena merampas hak orang lain, walau nilainya kecil.


---

Fenomena Sosial: Dari Ekonomi Lemah ke Kejahatan Terorganisir

Sebagian tukang parkir ilegal mungkin berawal dari niat mencari nafkah karena sulitnya lapangan pekerjaan. Namun, dalam praktiknya, banyak yang kemudian menjadi bagian dari jaringan pungutan liar (pungli) yang terorganisir. Mereka seringkali dilindungi oleh oknum preman atau bahkan aparat nakal yang menerima “setoran”.

Hal ini menciptakan ekonomi bayangan di luar sistem negara. Masyarakat kecil pun menjadi korban, karena harus membayar dua kali: pertama kepada negara melalui pajak, dan kedua kepada tukang parkir liar yang menguasai lapangan.

Islam mengajarkan bahwa rezeki harus diperoleh dengan jalan halal dan tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Allah ﷻ berfirman:

> "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu."
(QS. An-Nisa [4]: 29)



Memungut uang parkir secara paksa, tanpa izin dan tanpa dasar hukum, termasuk “memakan harta dengan jalan batil.” Meskipun alasan mencari nafkah dapat dimaklumi, cara yang haram tidak bisa dibenarkan. Rasulullah ﷺ mengingatkan:

> "Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari hasil yang haram; neraka lebih pantas baginya."
(HR. Ahmad dan Ad-Darimi)



Maka, penghasilan dari parkir ilegal termasuk dalam kategori hasil yang tidak bersih secara syar’i.


---

Dampak Sosial dan Moral

1. Menumbuhkan budaya takut dan apatis.
Banyak masyarakat memilih diam daripada menegur atau melapor, karena khawatir akan dibalas atau diintimidasi. Ketika masyarakat takut kepada kejahatan kecil, maka kejahatan besar akan tumbuh subur.


2. Mengikis kepercayaan pada hukum.
Ketika pungli kecil saja tidak bisa ditindak, bagaimana mungkin masyarakat percaya hukum bisa menindak korupsi besar? Hal ini menimbulkan krisis legitimasi moral terhadap aparat dan sistem.


3. Membiasakan generasi muda pada pelanggaran kecil.
Anak-anak yang melihat praktik parkir ilegal tanpa penegakan hukum bisa tumbuh dengan mindset bahwa mencuri sedikit “tidak apa-apa.” Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Hancurnya umat sebelum kalian karena mereka menegakkan hukum bagi orang lemah dan membiarkan orang kuat."
(HR. Bukhari dan Muslim)



Artinya, keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, sekecil apapun pelanggarannya.




---

Tanggung Jawab Pemerintah dan Masyarakat

Dalam Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezhaliman. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

> "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)



Pemerintah daerah memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menata sistem parkir agar tertib, transparan, dan manusiawi. Caranya antara lain:

1. Menertibkan parkir ilegal dengan operasi gabungan yang tegas namun tetap manusiawi.


2. Membuka lapangan kerja alternatif bagi tukang parkir liar agar mereka tidak kembali ke jalan.


3. Menerapkan sistem digital parkir resmi untuk mengurangi celah pungutan liar.


4. Mengedukasi masyarakat agar berani menolak atau melapor pungli.



Sedangkan bagi masyarakat, tanggung jawab moralnya adalah tidak mendukung praktik ilegal, meskipun kecil. Membayar tukang parkir ilegal dengan alasan “kasihan” justru memperkuat sistem yang salah.


---

Dimensi Akhirat: Kezaliman Sekecil Apapun Akan Dibalas

Dalam pandangan Islam, mengambil hak orang lain tanpa izin bukan hanya urusan dunia, tetapi juga urusan akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Barang siapa mengambil sejengkal tanah orang lain secara zalim, maka ia akan dikalungi tujuh lapis bumi di hari kiamat."
(HR. Bukhari dan Muslim)



Jika sejengkal tanah saja bisa menjadi beban besar di akhirat, apalagi mengambil uang milik orang lain yang setiap hari terjadi berulang kali? Maka, fenomena tukang parkir ilegal bukan sekadar pelanggaran sosial, tapi kezaliman yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.


---

Alternatif Solusi dari Perspektif Islam

1. Tazkiyah dan Dakwah Sosial.
Perlu gerakan dakwah di kalangan masyarakat bawah, termasuk tukang parkir, untuk menanamkan nilai amanah dan halal-haram. Masjid, ormas Islam, dan tokoh masyarakat dapat berperan aktif.


2. Sistem ekonomi Islam yang inklusif.
Banyak tukang parkir liar muncul karena minimnya lapangan kerja. Pemerintah dapat menggandeng lembaga zakat dan BAZNAS untuk menyediakan pelatihan kerja atau bantuan modal usaha bagi mereka.


3. Revitalisasi budaya malu dan tanggung jawab.
Dalam Islam, rasa malu (ḥayā’) adalah bagian dari iman. Jika seseorang malu untuk menzalimi sesama, maka keadilan sosial akan tumbuh dari bawah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Malu itu sebagian dari iman."
(HR. Bukhari dan Muslim)






---

Kesimpulan

Fenomena tukang parkir ilegal di Indonesia merupakan cermin dari ketimpangan sosial, lemahnya penegakan hukum, dan krisis moralitas publik. Dari kacamata Islam, praktik semacam ini termasuk dalam kategori memakan harta orang lain secara batil, yang jelas diharamkan dalam Al-Qur’an dan hadits.

Islam tidak menolak orang mencari nafkah, tetapi mengatur agar rezeki diperoleh dengan cara halal dan tidak merugikan orang lain. Tukang parkir liar, betapapun kecil nominalnya, telah mengganggu hak publik dan melanggar prinsip keadilan yang menjadi dasar masyarakat beriman.

Pemerintah wajib menegakkan ketertiban dan menata sistem parkir agar adil dan transparan. Sedangkan masyarakat hendaknya tidak mendukung praktik yang salah meski dengan alasan “kasihan”. Sebab, kasihan yang tidak pada tempatnya justru memperpanjang kezaliman.

Akhirnya, kita perlu kembali pada firman Allah ﷻ:

> "Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, sehingga kamu akan disentuh oleh api neraka..."
(QS. Hud [11]: 113)



Ayat ini menjadi pengingat bagi seluruh lapisan masyarakat: ketika kezaliman dianggap biasa, maka kehancuran sosial tinggal menunggu waktu.

Maka, tugas kita bukan sekadar menolak tukang parkir ilegal, tetapi membangun budaya kejujuran dan amanah yang menjadi pondasi keadilan dalam masyarakat Islam yang sejati.


---

Apakah Anda ingin saya buatkan versi PDF-nya agar bisa Anda baca atau bagikan dengan tampilan rapi (judul, ayat, hadits, dan kutipan tersusun)?

Tidak ada komentar:

Tabayyun dalam Sejarah: Meluruskan Tuduhan bahwa Kerajaan Saudi Arabia adalah Bentukan Zionis melalui Lawrence of Arabia dan Imam Muhammad ibn ʿAbd al-Wahhab

  Pendahuluan: Di Tengah Banjir Informasi, Di Mana Posisi Umat Islam? Dalam beberapa tahun terakhir, umat Islam di berbagai belahan dunia—t...