Salah satu hadits yang
menggambarkan era penuh fitnah di akhir zaman tampaknya sangat sesuai dengan
kondisi dunia dewasa ini. Di dalamnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan bahwa pada masa itu sulit sekali menemukan orang yang istiqomah. Yang
ada ialah orang-orang yang di pagi hari masih beriman kemudian di waktu sore ia
menjadi kafir. Demikian pula ada yang di waktu sore beriman namun keesokan hari
di waktu pagi ia telah menjadi kafir.
بَادِرُوا
فِتَنًا
كَقِطَعِ
اللَّيْلِ
الْمُظْلِمِ
يُصْبِحُ
الرَّجُلُ
مُؤْمِنًا
وَيُمْسِي
كَافِرًا
وَيُمْسِي
مُؤْمِنًا
وَيُصْبِحُ
كَافِرًا
يَبِيعُ
دِينَهُ
بِعَرَضٍ
مِنْ
الدُّنْيَا
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian
fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu
pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi
menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” (HR. Ahmad No.
8493)
Sikap tidak istiqomah
kata Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam disebabkan karena orang pada masa itu
lebih mengutamakan kepentingan atau kemaslahatan dunia daripada memelihara keutuhan
dien-nya (agama) alias imannya. Orang seperti ini telah tenggelam ke dalam
faham bahkan ideologi materialisme.
Berdasarkan hadits ini
berarti kita dapat simpulkan bahwa seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat
syahadat atau mengaku muslim haruslah bersikap sangat waspada ketika ia
menjalani era penuh fitnah di Akhir Zaman. Ia harus memahami bahwa bentuk
pelanggaran terhadap Allah dapat berakibat kepada dua macam akibat. Pertama,
ada yang berakibat seseorang menjadi berdosa, namun di mata Allah dosanya itu
tidak menyebabkan dirinya keluar dari Islam. Artinya Allah masih tetap mengakui
eksistensi iman pelaku dosa tersebut. Ia masih tetap dipandang sebagai seorang
muslim atau seorang yang beriman.
Namun yang kedua, ada
pula jenis dosa yang tidak saja pelakunya dipandang telah bermaksiat kepada
Allah, tetapi bahkan mengakibatkan pelakunya tidak lagi dipandang masih beriman
di mata Allah. Artinya perbuatan dosa yang dilakukannya telah membatalkan
imannya. Allah menilai pelaku dosa tersebut telah keluar dari Islam alias
menjadi kafir. Inilah yang sangat perlu kita khawatirkan. Dan hadits di atas
jelas mengindikasikan fenomena ini. Jadi, di era penuh fitnah kita akan dengan
mudah melihat adanya orang-orang yang di pagi hari masih beriman, namun karena
satu dan lain hal, tiba-tiba di waktu sore ia telah menjadi kafir, copot
imannya. Demikian pula ada mereka yang di waktu sore masih beriman, namun entah
apa yang terjadi di malam harinya, tiba-tiba keesokan paginya ia telah menjadi
kafir.
Di dalam kitabnya
berjudul Dhawabith At-Takfir ‘inda Ahlis-Sunnah wa Al-Jama’ah, Mas’ud bin
Faisol menguraikan sembilan Pembatal Keimanan yang disepakati oleh para ulama:
Sombong dan menolak
beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, walaupun membenarkan dan mengakui
kebenaran Islam
Syirik dalam beribadah
kepada Allah subhaanahu wa ta’ala
Membuat perantara dalam
beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’ala dan meminta pertolongan kepada
selain Allah subhaanahu wa ta’ala
Mendustakan Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallam atau membenci sesuatu yang beliau bawa walaupun
ia melakukannya
Tidak mengkafirkan
orang-orang musyrik atau ragu terhadap kekafiran mereka atau membenarkan mazhab
(faham/keyakinan) mereka
Memperolok-olok Allah
subhaanahu wa ta’ala, Al-Qur’an, Al-Islam, pahala dan siksa, dan yang
sejenisnya, atau mengolok-olok Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam atau
salah seorang Nabi ‘alaihimus-salam, baik ketika bergurau ataupun sungguhan
Membantu orang musyrik
atau menolong mereka untuk memusuhi orang Islam
Meyakini bahwa ada
sebagian orang yang boleh keluar dari ajaran Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallam dan tidak wajib mengikuti ajaran beliau
Meyakini ada petunjuk
yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atau
meyakini ada hukum yang lebih baik daripada hukum beliau yang berlandaskan
syariat Allah subhaanahu wa ta’ala
Kita semua berlindung
kepada Allah dari perbuatan dosa, baik yang menyebabkan diri kita dipandang
“sekadar” bermaksiat kepada Allah, apalagi yang sampai menyebabkan diri kita
tidak lagi dipandang Allah masih merupakan seorang beriman. Na’udzubillahi min
dzaalika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar