KAIDAH-KAIDAH DALAM
BERJIHAD
Oleh
Syaikh Prof.
Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad
Ini adalah pembahasan
yang sangat penting dalam masalah jihad, yaitu memahami bahwa jihad yang
disyariatkan dalam Islam adalah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan
syarat-syarat yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam serta atsar para Salafush Shalih. Tidak sempurna jihad
dijalan Allah dan tidak akan termasuk amal shalih tanpa memperhatikan
syarat-syarat tersebut.
Diantara kaidah-kaidah
serta syarat-syarat jihad adalah sebagai berikut.
[1]. Jihad harus
dilandasai oleh dua hal yang merupakan syarat diterimanya amal ibadah, yaitu
ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima jihadnya seseorang hingga dia
mengikhlaskan niatnya karena Allah dan mengharapkan keridhoanNya. Jika dia
hanya mengharapkan dengan jihadnya tersebut keuntungan pribadi atau jabatan
atau yang lainnya dari perkara-perkara dunia maka jihadnya ini tidak diterima
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, Allah tidak akan menerima jihad
seseorang apabila dia tidak mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam berjihad. Seseorang yang ingin berjihad haruslah terlebih dahulu
memahami bagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjihad
kemudian dia mencontohnya.
[2]. Jihad tersebut
harus sesuai dengan maksud dan tujuan disyariatkannya jihad yaitu untuk
meninggikan kalimat Allah dan agar agama ini hanyalah milik Allah, sebagaimana
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya : Wahai Rasulullah ! ada
seseorang yang berperang karena keberaniannya, ada lagi karena fanatik
(golongan), ada juga karena riya, mana diantara mereka yang termasuk berjihad
di jalan Allah ? maka beliau menjawab : “Barangsiapa yang berperang di jalan
Allah agar kalimat Allah tinggi maka dia di jalan Allah” [Hadits Riwayat
Bukhari 7458 dan Muslim 1904]
[3]. Jihad haruslah
diiringi dengan ilmu dan pemahaman agama yang baik, karena jihad termasuk
semulia-mulianya ibadah dan ketaatan. Dan ibadah tidaklah sah tanpa ilmu dan
pemahaman agama. Oleh karena itulah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata :
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia lebih banyak
merusak daripada memperbaiki”. Disebutkan dalam atsar bahwa : “Ilmu adalah imam/pemimpin
amal sedangkan amal itu adalah pengikutnya”. Hal ini sebenarnya sudah jelas,
karena jika tujuan dan perbuatan tidak diiringi dengan ilmu, maka hal tersebut
hanyalah kebodohan dan kesesatan serta mengekor kepada hawa nafsu. Maka harus
diketahui hakekat jihad yang sebenarnya, tujuan jihad, macam-macam jihad dan
tingkatan-tingkatannya, serta harus dipahami keadaan musuh yang hendak
diperangi. [2]
[4]. Jihad hendaknya
dilakukan dengan penuh rahmat/kasih sayang dan lemah lembut karena jihad
tidaklah disyariatkan untuk menyiksa jiwa atau menyakiti orang lain. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tidaklah
kelemah lembutan ada pada sesuatu, melainkan dia akan memperindahnya, dan
tidaklah kekerasan ada pada sesuatu melainkan dia akan merusaknya” [Hadits
Riwayat Muslim]
Syaikhhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata : “Syaitan selalu menginginkan dari manusia agar
mereka berlebih-lebihan dalam semua perkara. Jika syaitah melihat orang
tersebut condong kepada kasih sayang maka dia jadikan berlebih-lebihan dalam
menyayangi, hingga tidak membenci apa yang dibenci Allah dan tidak cemburu.
Tapi jika syaitan melihat orang itu condong kepada sikap kasar/keras, maka
syaitan pun menjadikannya berlebih-lebihan hingga tidak berbuat ihsan/baik,
lemah lembut dan kasih sayang sesuai dengan yang Allah perintahkan dan dia amat
ekstrim dalam membenci dan mencela serta memberi sangsi…” [3]
[5]. Jihad haruslah
dipenuhi dengan keadilan dan jauh dari kedzoliman. Ini adalah ketentuan yang
penting dalam jihad di jalan Allah, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
firmannya.
“Artinya : Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampui batas” [Al-Baqarah : 190]
Dan firmanNya.
“Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, medorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” [Al-Maidah : 8]
Dahulu, jika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukannya, selalu mewasiati mereka
untuk bertakwa dan beliau berkata : “Berjalanlah dengan menyebut nama Allah dan
di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Janganlah
mecincang (mayat) dan janganlah berbuat curang serta jangan membunuh anak
kecil” [Hadits Riwayat Muslim 1731]
Para ulama telah
menjelaskan bahwa orang yang tidak ikut berperang dari kaum wanita, anak-anak
kecil, orang-orang tua, orang buta, orang-orang yang lemah/sakit, orang-orang
gila, dan para pendeta/pastur serta biarawan/biarawati adalah golongan yang
tidak layak dibunuh dalam medan jihad karena perang itu ditujukan kepada orang
yang memerangi kita ketika kita menampakkan agama Allah. Siapapun dari golongan
diatas yang tidak ikut serta memerangi kita maka kita pun tidak boleh memerangi
mereka. Yang demikian itu karena Allah membolehkan untuk membunuh jiwa yang
dengannya makhluk ini bisa baik, seperti yang Allah firmankan.
“Artinya : Dan berbuat
fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh” [Al-Baqarah : 217]
Maksudnya bahwa perang
itu meskipun terdapat kejelekan dan kerusakan di dalamnya, tapi kerusakan dan
fitnah kekafiran lebih dari itu semuanya. Barangsiapa yang tidak menghalangi
kaum muslimin dari mendirikan agama Allah, maka bahaya kekafirannya hanya untuk
dia sendiri. Oleh karena itulah para ulama berkata : “Para da’i yang menyeru
kepad bid’ah yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah layak diberi sangsi,
berlainan dengan yang diam (tidak menyeru kepada bid’ah). Semuanya ini termasuk
kebaikan Islam dan seruan Islam untuk berbuat adil dan menjauhi segala bentuk
penganiayaan dan kedzoliman” [4]
[6]. Jihad
(tholab/menyerang ,-pent) haruslah bersama imam kaum muslimin atau dengan
seizinnya baik pemimpin/imam tersebut orang yang baik ataupun fasik. Ini
diantara kententuan yang paling penting yang harus ada dalam jihad fi
sabilillah, karena jihad –khususnya jihad melawan musuh-musuh Allah dengan
senjata- tidak bisa dilakukan melainkan dengan kekuatan dan kekuatan tidak bisa
diperoleh melainkan dengan persatuan. Dan persatuan tidak dapat terwujud
melainkan dengan kepemimpinan. Dan kepemimpinan tidak berjalan melainkan dengan
adanya sikap mendengar serta taat (kepada pemimpin). Semua perkara ini saling
berkaitan dan tidak sempurna sebagiannya melainkan dengan sebagian yang lain,
bahkan tidak akan tegak agama dan dunia ini melainkan dengannya[5].
Ketentuan ini telah
dijelaskan dalam sunnah serta ucapan para salaf. Disebutkan dalam hadits dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau
bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya
imam/pemimpin itu adalah perisai yang (kaum muslimin) berperang dibelakangnya
dan menjadikan sebagai tameng” [Hadits Riwayat Bukhari 2957 dan Muslim 1841]
Imam Abu Ja’far
Ath-Thohawi berkata dalam Aqidah Thohawiyahnya : “Haji dan jihad senantiasa
dilaksanakan bersama ulim amri/pemimpin kaum muslimin yang baik maupun yang
dzolim sampai hari kiamat…”.
Imam Al-Barbahari
rahimahullah berkata : “Barangsiapa yang mengatakan ; dibolehkan sholat
dibelakang setiap imam yang baik maupun fasik dan dibolehkan jihad bersama para
kholifah, serta dia tidak memberontak terhadap penguasa dengan mengangkat
senjata dan dia mendo’akan kebaikan untuknya, maka sungguh di telah keluar dari
ucapan kelompok Khowarij dari awal sampai akhir” [6]
[7]. Jihad di jalan
Allah disesuaikan dengan keadaan kaum muslimin, sudah kuatkah atau masih lemah
? karena keadaan bisa berubah setiap waktu dan tempat. Jihad di jalan Allah
disyariatkan dalam Islam dengan melalui beberapa tahapan ; Pada waktu di Mekkah
belum disyariatlan jihad dengan mengangkat senjata, karena kaum muslimin pada
saat itu masih minoritas dan lemah, akan tetapi disyariatkan jihad dengan hati
dan lisan.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maka
janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka
dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar” [Al-Furqon : 52] ayat ini makkiyah
(turun sebelum hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, -pent)
Firman Allah :
“Wajahidhum”. Ibnu Abbas mengatakan : “Dengan Al-Qur’an” seperti yang
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Setelah beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah dan mulai mendirikan negara Islam diizinkan
beliau untuk berperang secara mutlak melalui firmanNya.
“Artinya : telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka” [Al-Haj : 39]
Kemudian diwajibkan
jihad kepada kaum muslimin serta diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang
memerangi mereka dan menahan diri dari orang-orang yang tidak mengganggu
mereka.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampui batas” [Al-Baqarah : 190]
Setelah itu Allah
menurunkan ayat yang memerintahkan untuk berjihad secara mutlak serta tidak
menahan diri dari siapapun sampai mereka masuk kedalam agama Allah atau
membayar jizyah, seperti yang termaktub dalam firmanNya.
“Artinya : Dan
perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata
untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa yang mereka kerjakan” [Al-Anfal : 39]
Para pakar ulama
menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut tidak ada yang
mansukh/dihapus (hukumnya,-pent) akan tetapi ayat-ayat tersebut berlaku sesuai
dengan kondisi yang ada, maka hendaknya kaum muslimin disetiap waktu dan tempat
untuk mengambil ayat-ayat tersebut sesuai dengan kemampuan mereka. Apabila
mereka dalam keadaan lemah maka jihadnya sesuai dengan kemampuan mereka. Jika
mereka lemah maka cukup dengan berdakwah secara lisan. Dan jika mereka telah
memiliki sebagian kekuatan maka mereka (dibolehkan) memerangi orang-orang yang
memerangi mereka atau yang dekat dengan mereka serta menahan diri dari yang
tidak menganggu mereka. Dan apabila mereka telah amat kuat dan memiliki
kekuasaan maka (dibolehkan) untuk memerangi semuanya sehingga manusia semuanya
masuk Islam atau membayar jizyah. [7]
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata : “Barangsiapa diantara kaum muslimin dalam
keadaan lemah di suatu tempat atau waktu, maka hendaknya dia mengamalkan ayat
kesabaran dan memaafkan orang-orang yang menyakiti Allah dan RasulNya dari
kalangan ahli kitab maupun orang-orang musyrikin”.[8]
Syaikh Abdurrohman
As-Sa’di rahimahullah berkata : “Hendaknya mereka mengetahui bahwa Allah tidak
membebani manusia melainkan sesuai kemampuan mereka dan Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah suri tuladan mereka. Dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam melalui dua keadaan dalam berdakwah dan berjihad. Beliau diperintah
sesuai dengan keadaannya. Disaat kaum muslimin dalam keadaan lemah dan dikuasai
musuh beliau diperintah untuk membela diri saja dan mencukupkan diri dengan
berdakwah serta menahan diri dari jihad mengangkat senjata, karena hal tersebut
lebih banyak madhorotnya. Dan disaat yang lain mereka diperintahkan untuk
menolak kejahatan para musuh dengan segala kekuatan yang ada dan berdamai
selama terdapat maslahat dalam perdamaian tersebut, serta memerangi orang
orang-orang yang melampui batas jika maslahatnya lebih besar. Wajib bagi kaum
muslimin untuk meneladani Nabi mereka dalam hal ini. Dan meneladani beliau
adalah kemaslahatan dan kesuksesan” [9]
[8]. Jihad haruslah
dapat mewujudkan kemaslahatan dan tidak mengakibatkan kemadhorotan yang lebih
besar. Yang demikian itu karena Jihad dengan segala bentuknya disyariatkan
untuk mewujudkan maslahat dan menolak madhorot dari Islam dan kaum muslimin
baik perorangan maupun kelompok. Senantiasa jihad disyariatkan apabila
diketahui dengan seyakin-yakinnya atau diperkirakan dengan seksama dapat
mewujudkan tujuan tersebut. Tapi sebaliknya, jika diketahui dengan yakin atau
diperkirakan dengan seksama hal tersebut lebih banyak mendatangkan madhorot,
maka jihad pada saat itu tidak disyariatkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata : “Seutama-utamanya jihad dan amal shalih adalah yang
lebih mentaati Allah dan lebih bermanfaat bagi hamba Allah. Apabila jihad dapat
memadhorotkannya serta menghalangi dari yang lebih bermanfaat maka tidak bisa
dikatagorikan sebagai amal shalih” [10]
[9]. Kesimpulan :
Pondasi dari kaidah-kaidah diatas adalah menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah
sebagai tolak ukur dalam segala keadaan dan hal tersebut mencakup empat perkara
: Aqidah yang benar, Niat yang ikhlas, Kejujuran dalam bertawakkal, dan
Mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang mujahid yang tidak
berpegang dengan aqidah yang benar maka ucapan dan perbuatannya tidak terlepas
dari kerusakan dan penyimpangan, karena benarnya aqidah seseorang adalah
pondasi bagi keselamatan ucapan dan perbuatan. Dan seorang mujahid yang tidak
berpegang dengan niat ikhlas dalam ucapan dan perbuatannya maka jihadnya bukan
karena wajah Allah atau untuk menegakkan kalimatNya bahkan hanya untuk
memuaskan hawa nafsunya. Dan mujahid yang tidak jujur dalam bertawakkal kepada
Allah maka dia tidak akan bisa istiqomah dalam berjihad di jalan Allah dan
dalam memikul beban jihad, bahkan tekadnya bisa cepat lemah dan mudah pesimis
dari pertolongan Allah. Dan seorang mujahid yang tidak mengikuti jejak Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka jihadnya tidak akan benar dan tidak jauh dari
bid’ah dan penyimpangan. Bahkan jihadnya lebih condoh kepada pengrusakan
terhadap dirinya dan selainnya dari pada perbaikan dan seruan kepada jalan
Allah yang lurus.
[Diringkas dari kitab
“Al-Quthuuful Jiyaad min Hikami wal Ahkaamil Jihaad” hal. 23-35 oleh Syaikh DR
Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad, Alih bahasa Abdurrahman bin Thayib]
[Disalin dari Majalah
Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 18 Th IV Muharram 1427H/Peb-Maret 2006M.
Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Jl. Sultan Iskandar Muda 45 Surabaya]
_________
Foote Note
[1]. Pembahasan ini
kami ringkaskan dari kitab “Al-Quthuuful Jiyaad min Hikami wal Ahkaamil Jihaad”
hal. 23-35 oleh Syaikh DR Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad, Alih bahasa
Abdurrahman bin Thayib.
[2]. Lihat Majmu fatawa
oleh Syaikhul Islam rahimahullah 28/135-136
[3]. Majmu Fatawa oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah 28/35
[4]. Majmu Fatawa oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah 28/161 dan Ibnul Qayyim dalam Zaadul
Ma’aad 3/100, 105
[5]. Majmu Fatawa 28/390
[6]. Syarhus Sunnah
hal. 57
[7]. Majmu Fatawa oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah 18/131,133,136-137
[8]. Ash-Shoorimul
Maslul 2/413
[9]. Wujuubur Ta’awun
Bainal Muslimin 5/190
[10]. Majmu Fatawa
22/300
Tidak ada komentar:
Posting Komentar