Terdapat hadits
mengenai larangan merayakan hari raya non-muslim yaitu Nairuz dan Mihrajan yang
merupakan hari raya orang kafir saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang
di Madinah. Saat itu mereka mempunyai kebiasaan merayakan hari Nairuz dan mihrajan.
Nairuz adalah hari di awal tahun baru masehi (syamsiyyah) versi Majusi,
sedangkan Mihrajan hari raya 6 bulan setelahnya. Mendapati fenomena ini saat di
Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan bahwa umat Islam sudah
mempunyai dua hari raya yaitu ‘iedul Fithri dan ‘Iedul Adha, tidak perlu
ikut-ikutan merayakan hari raya tersebut.
Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu berkata,
لِأَهْلِ
الْجَاهِلِيَّةِ
يَوْمَانِ
فِي
كُلِّ
سَنَةٍ
يَلْعَبُونَ
فِيهِمَا
فَلَمَّا
قَدِمَ
النَّبِيُّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ
قَالَ
كَانَ
لَكُمْ
يَوْمَانِ
تَلْعَبُونَ
فِيهِمَا
وَقَدْ
أَبْدَلَكُمْ
اللَّهُ
بِهِمَا
خَيْرًا
مِنْهُمَا
يَوْمَ
الْفِطْرِ
وَيَوْمَ
الْأَضْحَى
“Dahulu orang-orang
Jahiliyyah memiliki dua hari di setiap tahun yang malan mereka biasa
bersenang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang
ke kota Madinah, beliau bersabda,
“Dahulu kalian memiliki
dua hari di mana kalian bersenang-senang ketika itu. Sekarang Allah telah
menggantikan untuk kalian dengan dua hari besar yang lebih baik yaitu Idul
Fithri dan Idul Adha.”[1]
Sahabat ‘Abdullaah bin
‘Amr radhiallaahu ‘anhuma berkata,
ﻣَﻦْ
ﺑَﻨَﻰ
ﻓِﻲ
ﺑِﻼﺩِ
ﺍﻷَﻋَﺎﺟِﻢِ،
ﻭَﺻَﻨَﻊَ
ﻧَﻴْﺮُﻭﺯَﻫُﻢْ
ﻭَﻣِﻬْﺮَﺟَﺎﻧَﻬُﻢْ
ﻭَﺗَﺸَﺒَّﻪَ
ﺑِﻬِﻢْ،
ﺣَﺘَّﻰ
ﻳَﻤُﻮﺕَ،
ﻭَﻫُﻮَ
ﻛَﺬَﻟِﻚَ
ﺣُﺸِﺮَ
ﻣَﻌَﻬُﻢْ
ﻳَﻮْﻡَ
ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
“Barangsiapa yang membangun negeri-negeri
kaum ‘ajam (negeri kafir), meramaikan hari raya Nairuz dan Mihrajan (perayaan
tahun baru mereka), serta meniru-niru mereka hingga ia mati dalam keadaan
seperti itu, ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.”[2]
Hari Nairuz adalah hari
raya tahun baru orang Majusi menurut perhitungan kalender masehi (pergiliran matahari).
Masyarakat kota madinah saat itu ikut-ikutan merayakan hari raya Majusi
tersebut. Beberapa kamus Arab menjelaskan demikian definisi Nairuz, semisal
kamus AL-Lughah Al-Arabiyyah AL-Mu’aashir dijelaskan,
ﺃﻭّﻝ
ﻳﻮﻡ
ﻓﻲ
ﺍﻟﺴَّﻨﺔ
ﺍﻟﺸَّﻤﺴﻴَّﺔ
ﻋﻨﺪ
ﺍﻟﻔُﺮﺱ
“Nairuz adalah hari pertama pada tahun
syamsiyyah versi Persia (bangsa Majusi saat itu).”
Adz-Dzahabi juga
menjelaskan bahwa Nairuz ini juga ikut-ikutan dilakukan oleh penduduk Mesir
saat itu, beliau berkata,
ﻓﺄﻣﺎ
ﺍﻟﻨﻴﺮﻭﺯ،
ﻓﺈﻥ
ﺃﻫﻞ
ﻣﺼﺮ
ﻳﺒﺎﻟﻐﻮﻥ
ﻓﻲ
ﻋﻤﻠﻪ
،
ﻭ
ﻳﺤﺘﻔﻠﻮﻥ
ﺑﻪ
،
ﻭﻫﻮ
ﺃﻭﻝ
ﻳﻮﻡ
ﻣﻦ
ﺳﻨﺔ
ﺍﻟﻘﺒﻂ
،
ﻭﻳﺘﺨﺬﻭﻥ
ﺫﻟﻚ
ﻋﻴﺪﺍً،
ﻳﺘﺸﺒﻪ
ﺑﻬﻢ
ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ
“Adapun hari Nairuz, penduduk Mesir
berlebih-lebihan melakukan dan merayakannya. Nairuz adalah hari pertama pada
tahun Qibhti yang mereka menjadikannya sebagai hari raya (diperingati setiap
tahun), kemudian kaum muslimin mengikuti mereka (tasyabbuh).”[3]
Demikian juga dengan
tahun baru masehi saat ini, bukan perayaan kaum Muslimin dan jelas itu adalah
perayaan non-muslim serta memiliki sejarah yang terkait dengan agama kuno
Romawi.
Sebagaimana dalam buku
“The World Book Encyclopedia” vol.14 hal.237 dijelaskan: “Semenjak abad ke 46
SM raja Romawi julius caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun.
Orang Romawi mem persembahkan hari 1 Januari kepada janus, dewa segala gerbang
pintu-pintu dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama janus
sendiri,yaitu dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menghadap ke (masa)
depan dan satu wajah lagi menghadap ke (masa) lalu”.
Kita sebagai kaum
muslimin tentu dilarang untuk ikut-ikutan merayakan hari raya mereka.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ
فَهُوَ
مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum,
maka dia termasuk golongan mereka”[4]
Kita juga diperintahkan
agar tidak tasyabbuh dengan orang Romawi dan Persia.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تَقُومُ
السَّاعَةُ
حَتَّى
تَأْخُذَ
أُمَّتِى
بِأَخْذِ
الْقُرُونِ
قَبْلَهَا
،
شِبْرًا
بِشِبْرٍ
وَذِرَاعًا
بِذِرَاعٍ
. فَقِيلَ
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ
كَفَارِسَ
وَالرُّومِ
. فَقَالَ
وَمَنِ
النَّاسُ
إِلاَّ
أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku
mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau
menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[5]
Allah melarang kita
menghadiri dan ikut-ikutan perayaan hari raya orang musyrik.
Allah berfirman
وَالَّذِينَ
لَا
يَشْهَدُونَ
الزُّورَ
وَإِذَا
مَرُّوا
بِاللَّغْوِ
مَرُّوا
كِرَامًا
”Dan orang-orang yang tidak menyaksikan
kepalsuan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga
kehormatan dirinya.” (QS al-Furqan : 72)
Maksud Az-Zuur dalam
ayat ini adalah perayaan kaum musyrikin. Ibnu Katsir berkata,
{ لا
يَشْهَدُونَ
الزُّورَ
} وقال
أبو
العالية،
وطاوس،
ومحمد
بن
سيرين،
والضحاك،
والربيع
بن
أنس،
وغيرهم:
هي
أعياد
المشركين
“Abul ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin
Sirin, adh-Dhahhak, Rabi’ bin Anas dan lain-lainnya, mengatakan bahwa maksudnya
adalah tidak menghadiri perayaan kaum musyrikin.”[6]
Semoga tidak ada kaum
muslimin yang ikut-ikutan merayakan tahun baru non-muslim
@ Perum PTSC,
Cileungsi, Bogor
Penyusun: Raehanul
Bahraen
Artikel
www.muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] HR. Abu Daud no.
1134; An-Nasa’i no. 1556. Shahih
[2] Sunan Al-Kubraa
9/234
[3] Tasyabbuhul Khasis
biahlil Khamis hal 46
[4] HR. Abu Daud no.
4031, dishahihkan oleh Al Albani
[5] HR. Bukhari no.
7319
[6] Tafsîir Ibnu Katsir
VI/130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar