Sejarah Uang Dollar

Sobat pasti akrab dengan mata uang US Dollar, kalaupun belum pernah memiliki setidaknya sering mendengar dan melihatnya

Bagaimana sejarah mata uang US Dollar sehingga bisa sangat berpengaruh terhadap nilai tukar mata uang di dunia? temukan jawabannya....

Dari sejarah ini sobat bakal tahu bagaimana sistem keuangan global mengarahkan US Dollar yang awalnya sebagai Gold Certificate/Sertifikat Emas menjadi Bond Certificate/Sertifikat Surat Hutang

Sekedar mengingatkan kembali Currency atau Mata Uang bukanlah Money atau Uang atau Emas
Currency atau Mata Uang adalah sertifikat atas kepemilikan Money atau Uang atau Gold di Bank

Flash back ke tahun 1792, Sekeretaris Perbendaharaan US yang pertama dibawah kepemimpinan presiden George Washington menetapkan ukuran standar sistem keuangan terhadap emas, yaitu :

1 Koin Emas (1 Ounce) equal to $ 20

Sehingga jika Bank akan menerbitkan mata uang senilai $ 20, maka bank harus memiliki 1 Koin Emas = 1 Ounce = 28,34 Gram. Otomatis bank tidak bisa begitu saja mencetak uang tanpa uang itu sendiri

Ini contoh mata uang 20 US Dollar equal to 1 Coin Gold
Perhatikan contoh mata uang 20 US Dollar keluaran Bank US tahun 1905 berikut


Jelas menunjukkan $ 20 tersebut mewakili 1 Coin Emas sehingga bertuliskan:

"This certfies that there have been deposited in the treasury of the United States of America, twenty dollars in gold coin payable to the bearer on demand"

"Dengan ini menyatakan bahwa telah disimpan di perbendaharaan negara Amerika Serikat, dua puluh dollar dalam bentuk koin emas yang bisa diambil oleh pembawa (sertifikat ini) jika diperlukan"

Jelas jika bank US menerbitkan mata uang 20 US Dollar, maka pasti di bank tersimpan 1 Coin emas.
Jika sobat membawa mata uang $20 tersebut, maka sobat bisa menukarkan dengan 1 coin emas di Bank US kapanpun, yaa waktu itu...

Semua bank waktu itu diperbolehkan mencetak uang kertas sendiri dengan patokan $20 = 1 Gold Coin, sehingga dikenal dua jenis mata uang, yaitu Mata uang negara dan Mata uang Bank

Mata Uang negara, yang dicetak oleh Bank Negara, bertuliskan negara tersebut dan ditandatangani Pejabat negara/Menteri keuangan negara
Mata Uang Bank, yang dicetak oleh Bank Swasta, bertuliskan bank tersebut dan ditandatangani pejabat Bank

THE FEDERAL RESERVE BANK


Pernah dengar Federal Reserve Bank? Jika sobat bergerak dibidang perbankan akan sangat familiar dengan Bank yang satu ini

Pada tahun 1913 Woodrow Wilson terpilih menjadi presiden US yang ke-28 dengan dukungan politik dan keuangan dari Himpunan atau Kartel Bankir internasional. Selalu ada misi dibalik setiap pembiayaan politik, yang ternyata setelah menjadi presiden Woodrow Wilson disyaratkan untuk menandatangani RUU pendirian Federal Reserve Bank sebagai bank sentral.

Setelah berdirinya Federal Reserve Bank atau yang biasa disebut FED, sistem keuangan yang awalnya menggunakan standard Emas, diarahkan dan dipaksakan untuk mengganti dengan sistem keuangan riba atau uang hutang perbankan.
Konyol kan... namun sampai saat ini, sistem keuangan ini lah yang menguasai amerika & dunia termasuk kita semua, masih belum sadar?

Tujuan didirikan FED ini adalah menjadi bank sentral yang memiliki hak istimewa untuk mencetak mata uang kertas dan bank-bank US lainnya hanya memiliki hak distribusi mata uang kertas yang dicetak FED

Apa maksudnya? Apakah keuntungannya?

Ternyata bukan hanya monopoli pencetakan mata uang kertas saja, FED benar-benar ingin memonopoli sistem kuangan yang ada waktu itu dari US Dollar sebagai sertifikat atas Koin Emas ke US Dollar menjadi alat tukar yang syah atau disebut Uang....

Whaaat????
Bukankah kepercayaan masyarakat waktu itu US Dollar hanyalah selembar sertifikat??
Berhasilkah FED menggiring ke sistem keuangan baru US Dollar equal to Money??

Dengan dukungan UU Bank Sentral, FED secara bertahap mulai memanipulasi masyarakat US untuk menghilangkan sistem keuangan standard Emas ke sistem keuangan FED yang baru US Dollar,
FED bisa mencetak mata uang kertas sebanyak mungkin tanpa memiliki emas

Pertanyaannya dimana posisi pemerintah?
Bukannya pemerintah yang harus mengatur kebijakan keuangan tersebut?
Tampaknya tidak begitu dengan semua rule pada UU Bank Sentral yang ditandatangani pemerintah US itu sendiri lewat Woodrow Wilson.
FED bukan hanya punya hak istimewa untuk mencetak mata uang kertas melainkan jika pemerintah US itu sendiri membutuhkan dana harus berhutang kepada FED
Woow.... sungguh konspirasi yang sangat menguntungkan bagi FED

Untuk membawa ke sistem keuangan yang direncanakan FED, kemudian secara bertahap FED mulai mengganti tulisan pada mata uang kertas yang mereka rilis.
Perhatikan mata uang USD setelah 1 tahun FED mulai memonopoli sistem keuangan US

"Federal Reserve Note. The United State of America. Will Pay to the Bearer on Demand Twenty Dollars"

"Nota Federal Reserve Amerika Serikat. Akan Membayar Dua Puluh Dollar kepada Pembawa (Uang Kertas Ini) Jika diminta"

Seperti yang sudah dijelaskan tujuan The FED mendirikan bank sentral adalah merubah system keuangan yang ada.FED mulai mencetak banyak Dollar tanpa diimbangi persediaan Emas, karena di UU Federal Reserve, FED mencetak Dollar bukan berdasarkan Emas, tetapi Surat Hutang pemerintah yang disebut “BOND Certficate”
Amazing bukan?

FED tinggal mencetak dollar selama ada Bond Certificate yang diberikan oleh pemerintah. Bond Certificate atau Surat Hutang Negara (SUN) sendiri hanyalah sebuah pernyataan utang yang dikeluarkan pemerintah ke FED jika pemerintah butuh dana.
Semenjak itu system keuangan di US sudah berubah dari Mata Uang Dollar sebagai Gold Certicate menjadi Bond Certificate,Dari sinilah kenapa pencetakan dollar tidak harus diimbangi dengan deposit emas, cukup dengan Surat hutang dari Negara,

Sobat pasti bertanya, So.. apa masalahnya???Ketika pemerintah US membuat SUN, maka dalam periode tertentu harus mengembalikannya sekaligus bunga bank yang dikenakan oleh FED….Siapa yang membayar?? Ya jelas sekali pemerintah akan membebankan sebagian besar kepada masyarakat melalui kewajiban membayar Pajak
Bukti mata uang Dollar ini adalah Bond Certificate?

Perhatikan mata uang dollar $50 terbitan tahun 1929 berikut,



Disana tertulis:
"NATIONAL CURRENCY, Scured by Bonds Deposited with the Treasure of The United State of America, Will Pay to the Bearer on Demand Fifty Dollar"
"MATA UANG NEGARA, Dijamin Oleh Surat Hutang Negara yang tersimpan dengan Bendahara Amerika Serikat, akan membayar kepada pembawa (uang kertas ini) Lima Puluh Dollar jika diminta"

Aksi the FED tidak sampai disana, ini baru langkah awal FED memonopoli sistem keuangan.

Tahun 1914-1919 FED mulai mencetak uang 2x lipat lebih banyak dan memberikan pinjaman lunak kepada semua Bank di jaringannya dan masyarakat.
Setelah uang beredar sangat banyak di Bank dan masyarakat, tahun 1920 FED mulai menarik sebagian besar uang yang beredar, dengan proses penagihan hutang, sehingga bank-bank yang memiliki pinjaman sangat besar mulai mengalami kebangkrutan, karena pasokan uang kertas menurun

Setelah terjadi kepanikan di perbankan US setelah setahun lamanya, FED mulai meningkatkan lagi perederan dollar dipasaran, dengan sekali lagi memberikan pinjaman kepada bank dan masyarakat.

Sobat bisa lihat, FED menarik dollar yang beredar, sehingga kekurangan dollar dan setelah bank dan masyarakat hutang dan bunganya berlipat, FED menawarkan lagi pinjaman dengan mencetak dollar lebih banyak...
Konyol... masyarakat memperoleh pinjaman dari FED untuk membayar hutang pasca kepanikan 1 tahun sebelumnya kepada FED kembali, begitupun Bank-bank yang berhutang banyak pada FED

Hutang berbunga dibayar hutang berbunga, begitulah kira-kira....

Tidak puas dengan itu FED masuk ke sektor Saham, dengan memberikan promo kepada masyarakat untuk pembelian saham hanya 10% dari harga saham dan sisanya dicover oleh broker -- disebut Margin Loan dengan syarat Margin Call bisa ditarik kapan saja oleh FED

Jika sobat bisnis saham/trading/forex mungkin akan mengenal Margin Call, yaitu Liquidasi secara paksa yang dilakukan Broker pada account investor di level yang dipersyaratkan

Ketika market banyak yang mengarah ke floating loss, maka banyak terjadi Margin Call dan FED menarik dana pinjamannya yang berdampak kepada runtuh-nya pasar saham pada bulan Oktober 1929.
Otomatis dampaknya terjadi kebangkrutan bank secara massal terutama bank-bank diluar jaringan FED, sehingga FED dengan leluasa bisa membeli bank-bank dan perusahaan-perusahaan yang bankrut dengan harga yang sangat murah

Seiring dengan kepanikan yang tampaknya sudah diatur oleh FED, FED mengurangi pasokan jumlah dollar yang beredar, sehingga terjadi Great Depression terbesar sepanjang sejarah Amerika

Masa-masa inilah dimanfaatkan the FED melalui presiden F.D. Rosevelt tanggal 5 April 1933 dengan alasan recovery ekonomi, dikeluarkan Executive Order yang melarang penduduk Amerika untuk tidak menimbun emas dalam bentuk batangan, koin ataupun sertifikat

Sebelum tanggal 1 Mei 1933 penduduk US harus menyerahkan semua emas yang dimilki kepada the FED untuk ditukar dengan mata uang Dollar FED dengan nilai 1 Ounce Emas = $20

Jika kemudian ditemukan penduduk yang masih menyimpan emas, maka akan dituntut sebagai tindakan kriminal dengan denda $10.000 atau penjara 10 Tahun

Benar benar perampokan massal kepada penduduk US, dipaksa menukarkan emas-emas mereka dengan kertas yang dicetak FED, dan sejak saat itu penduduk US tidak memiliki simpanan emas lagi, hanya lembaran dollar FED saja yang tidak boleh ditukar lagi dengan emas

Beberapa bulan kemudian keluarlah UU Gold Reserve Act yang isinya mengharuskan semua Emas ataupun sertifikat emas yang dimiliki FED disimpan di Perbendaharaan Negara US dengan menetapkan standard harga emas dari $20 perOunce menjadi $35 perOunce, sehingga semua dollar yang sudah dicetak FED sudah dibackup emas lagi dengan nilai $35 perOunce

Sampai dengan tahun 1974 presiden Gerald Ford mengeluarkan Executive Order yang menghapus larangan kepemilikan emas, dan emas bisa dimilki dan bisa dijadikan komoditi yang boleh diperdagangkan namun setelah dominasi dollar FED menguasai sistem ekonomi US

Sampai disini sobat pasti sudah bisa melihat keberhasilan FED untuk merubah sistem keuangan Dollar is a Gold Cerificate ke Dollar is a Bond Certificate di US
Dengan sistem baru ini FED bisa memonopoli semua aliran Dollar sehingga dengan bebas bisa mengontrol perekonomian US, dan FED lah yang mendapat keuntungan yang besar dengan sistem ini

DOMINASI FED TERHADAP SISTEM KEUANGAN GLOBAL

Sejararah diatas hanya menceritakan awal mula perubahan substansi mata uang Dollar dan dominasi terhadap sistem keuangan dan perekonomian internal pemerintah US

Bagaimana FED melalui pemerintah US nya bisa mendominasi keuangan global sampai saat ini?

Saat terbentuknya FED dunia eropa sedang terlibat dalam perang dunia ke 1 (1914-1918), 4 tahun pertama US tidak terlibat peperangan
Negara-negara eropa yang sedang mengalimi peperangan, dimana semua perekonomian dan sumberdaya dikerahkan untuk memenuhi kebutuhan perang, sehingga kebutuhan barang-barang konsumsi harus di-import dari US dengan bayaran emas,
Ingat sobat waktu itu alat tukar yang berlaku dan diakui dunia adalah Emas, sehingga US mulai mengumpulkan emas dari negara-negara eropa,

Hingga sampai perang dunia ke 2 (1939-1945), US sama sekali tidak terlibat dalam peperangan ini sampai dengan tahun 1941 dan sekali lagi US bisa mengumpulkan Emas dengan menjual kebutuhan konsumsi untuk negara-negara yang sedang berperang

Perhatikan sobat.. sepak terjang FED ternyata bukan hanya di negara US saja, tetapi rencana matang untuk menguasai sistem keuangan di dunia mulai terlihat hasilnya
Diakhir PD ke-2 US memiliki 2/3 emas dunia dan sisanya tersebar di negara lain kecuali eropa, semua emas dari penduduk US dengan executif ordernya dan dari dunia eropa dengan memanfaatkan peperangan, emas-emas tersebut berada di genggaman the FED

Sobat pasti penasaran apa yang dilakukan FED setelah semua emas terkumpul?

Pasca perang dunia ke 2, eropa benar-benar sudah kehabisan emas, sistem perekonomian eropa sudah sulit dipertahankan, karena tidak memiliki backup emas lagi untuk mencetak mata uang

Dengan kondisi tersebut untuk mempertahankan perekonomian 44 negara yang terlibat perang berkumpul di Amerika untuk membahas sistem keuangan global yang disebut "United Nations Monetary and Financial Conference" atau terkenal dengan "Bretton Wood Conference" karena konferensi ini diadakan di Bretton Wood Hotel - Amerika

Moment yang sangat tepat bagi FED untuk mulai menguasai sistem keuangan global, lihat saja hasilnya

Pertama, karena US memiliki cadangan emas paling besar, maka setiap mata uang negara lain akan dibackup dengan US Dollar dengan backup emas $35 per ounce (lihat kaitannya dengan Gold Reserve Act)

Kedua, Supaya sistem keuangan eropa tidak hancur, maka FED lewat pemerintah US akan meminjamkan US Dollar ke Eropa

Ketiga, Dibentuk IMF (International Monetary Fund) dan IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) yang kemudian menjadi World Bank untuk mengatur distribusi US Dollar tersebut

Inilah yang disebut "Bretton Wood System", sistem keuangan negara lain diatur dengan Dollar, negara lain mencetak uang harus dibackup emas atau dollar. Semenjak Bretton Wood rilis Fed sengaja membuat nilai tukar mata uang relatif sama selama bertahun tahun sehingga masyarakat menaruh kepercayaan penuh, karena terbukti mampu mengembalikan kestabilan keuangan dan ekonomi dunia waktu itu

Tetapi Fed terlena dengan terus mencetak Dollar tanpa dibackup emas, mata uang Dollar tersebar begitu cepat ke seluruh penjuru dunia, sampai akhirnya pada tahun 60-an presiden francis, Charles de Gaulle menyadari bahwa tidak mungkin US memiliki emas sebanyak itu untuk mem-backup dollar-dollar yang sudah dicetak, lalu francis mulai menukarkan uang dollar nya dengan emas dan dikuti dengan negara-negara lain, selama sepuluh tahun US kehilangan 50% emas yang dimiliki, dan dibanjiri dollar yang 12kali lipat daripada emas yang membackup nya

Sobat bisa bayangkan jika semua negara menukarkan Dollar nya, maka emas yang dimiliki US tidak akan cukup untuk mengganti-nya, kemudian kepercayaan masyarakat akan hilang terhadap dollar, sehingga terjadi lagi keruntuhan sistem keuangan dan perokonomian dunia

Untuk menghentikan penukaran dollar terhadap emas, maka tahun 15 Agustus 1971 Presiden Richard Nixon, menghetikan program Bretton Wood Sistem secara sepihak dengan menyatakan bahwa US dollar tidak bisa ditukar lagi dengan emas, pernyataan ini terkenal dengan "Nixon Shock"

Tetapi sebetulnya Nixon Shock ini sifatnya sementara sampai kondisi stabil, yang secara kebetulan Masyarakat dan Pemerintah dunia tidak melakukan protes terhadap pernyataan tersebut...
Nah Loh ada apa?

Masyarakat yang mengetahui informasi dunia luar hanyalah sebagian kecil saja terkait sarana media informasi sangat terbatas, didukung pemerintah yang mengerti akan hal ini pun membiarkan saja terjadi, karena menguntungkan bagi mereka untuk mencetak mata uang tanpa dibackup dengan emas dan dipaksakan untuk bisa dijadikan alat tukar yang syah di negaranya, mata uang ini disebut FIAT MONEY

Nah sobat bagaimana dengan uang yang dipegang kita sekarang?? itulah Fiat Money, mata uang dicetak tanpa di back up emas lagi, dan seolah-olah mata uang tersebut sama berharga-nya seperti emas...

Nah coba liat Dollar sekarang, apa yang ditulis FED disana?

"Federal Reserve Note, The United States of America, This Note is Legal Tender for All Debts, Public and Private"

"Nota Federal Reserve, Amerika Serikat, Nota ini Adalah Alat Pembayaran yang Syah Untuk Semua Hutang, Negara dan Swasta"

Kemiripian Agama Syiah dan Sufi (Tasawuf)

BEBERAPA KESAMAAN ANTARA AGAMA SYI'AH DENGAN THARIKAT SUFIYYAH



Siapapun yang mengetahui hakikat tasawwuf (Sufi) dan tasyayyu' (Syi'ah), ia akan mendapatkan keduanya seperti pinang dibelah dua. Keduanya berasal dari sumber yang sama, dan memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu, kedua firqah ini memiliki kesamaan dalam pemikiran dan aqidah. Di antara persamaan dua golongan tersebut ialah sebagai berikut.

Pertama. Kaum Syi'ah mengaku memiliki ilmu khusus yang tidak dipunyai kaum muslimin selain mereka. Mereka menisbatkan kedustaan ini kepada Ahlul bait dengan seenak perutnya. Mereka juga mengklaim memiliki mushaf (Al-Qur`ân) tersendiri, yang mereka sebut Mushaf Fathimah. Menurut keyakinan mereka, mushaf ini memiliki kelebihan tiga kali lipat lebih bagus dibandingkan dengan Al-Qur`ân yang ada di tangan kaum muslimin.[1] Mereka menganggap Muhammad diutus dengan tanzil, sedangkan Ali diutus dengan takwil.[2]

Demikian pula orang-orang Sufi, mereka menganggap memiliki ilmu hakikat. Sedangkan orang dari luar kalangan mereka, hanya baru sampai pada tingkat ilmu syariat. Mereka beranggapan, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’alamenganugerahkan ilmu laduni kepada mereka, saat orang-orang selain mereka mesti menimba ilmu dengan susah payah dari orang-orang para ulama. Bahkan salah seorang tokoh Sufi , yaitu al-Busthami sampai berkoar: "Kami telah menyelam di dalam lautan ilmu, dan para nabi berdiri di tepinya".[3] Demikian, persamaan antara Sufi dan Syi'ah dalam masalah ilmu kebatinan.

Kedua. Orang-orang Syi'ah mengkultuskan imam-imam mereka dan menempatkan imam-imam itu dengan kedudukan yang lebih tinggi dari para malaikat dan para rasul. Mereka mengatakan, kami adalah katub pengaman bagi penduduk bumi sebagaimana bintang-bintang menjadi pengaman bagi penduduk langit. Apabila para imam diangkat dari muka bumi -walaupun sekejap- maka bumi dan para penduduknya ini akan hancur.[4]

Khumaini, salah seorang tokoh Syi'ah berkata: "Di antara keyakinan madzhab kami, bahwasanya imam-imam kami memiliki kedudukan yang tidak bisa diraih, sekalipun oleh para malaikat dan para rasul".[5]

Bahkan orang-orang Syi'ah memberikan sifat ketuhanan kepada para imam itu, dan menganggap mereka mengetahui segala sesuatu, meski sekecil apapun di alam ini.

Sifat seperti ini pula yang disematkan orang-orang Sufi kepada orang-orang yang mereka anggap sebagai wali. Katanya, "para wali" itu ikut berperan dalam pengaturan alam semesta ini, dan mengetahui ilmu ghaib. Oleh karenanya, orang-orang Sufi membentuk suatu badan khusus yang terdiri dari para wali mereka. Tugas badan khusus ini adalah mengatur alam dan seisinya.

Hal ini dinyatakan oleh seorang tokoh Sufi, Ahmad bin Mubarak as-Saljamani al-Maghribi, dalam mensifati badan ini, ia berkata: "Aku mendengar Syaikh 'Abdul 'Aziz ad-Dabbâgh [6] mengatakan,'Badan khusus ini terdapat di Gua Hira yang dahulu dijadikan sebagai tempat berkhalwat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum beliau diutus".[7]

Dia juga beranggapan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi badan khusus tersebut. Jika datang, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di tempat orang yang membutuhkan pertolongan.[8] Kemudian, waktu pengaktifan badan tersebut, ialah saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan, karena –katanya- merupakan waktu yang mustajâbah[9] . Dengan pernyataan ini,maka tidak tersisa lagi hak pengaturan alam semesta bagi Allah Ta'ala. Padahal, hanya milik Allah Azza wa Jalla hak untuk mencipta dan mengatur segala urusan. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Ketiga. Anggapan bahwa agama ini memuat perkara zhahir dan batin telah menjadi kesepakatan antara Syi'ah dan Sufiyyah. Menurut mereka, hal yang batin adalah suatu hakikat yang tidak diketahuinya kecuali oleh para imam dan para wali. Sedangkan yang zhahir ialah apa yang terdapat dalam masalah nash-nash yang dipahami oleh orang kebanyakan.

Dr Abu al-'Ala' al-'Afifi menjelaskan dekade munculnya anggapan batil ini merasuki aqidah Islamiyyah dengan berkata: "Munculnya pembagian agama kepada syariat dan hakikat, ialah ketika ada pembagian agama menjadi zhahir dan batin. Pembagian seperti ini tidak dikenal oleh kaum muslimin generasi pertama. Pemikiran seperti ini muncul ketika Syi'ah mengatakan bahwa segala sesuatu ada yang zhahir dan batin, Al-Qur`ân ada yang zhahir dan yang batin. Bahkan menurut anggapan mereka, setiap ayat dan kalimat memuat pengertian zhahir dan yang batin. Dan hal-hal yang batin ini tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali orang-orang khusus dari para hamba Allah, yang khusus dipilih untuk memperoleh keutamaan ini. Sehingga semua rahasia-rahasia Al-Qur`ân akan terbuka untuk mereka. Oleh karena itu, mereka memiliki metode khusus dalam menafsirkan Al-Qur`ân yang akhirnya melahirkan berbagai takwil kebatinan terhadap nash-nash Al-Qur`ân dan bisikan-bisikan khayalan mereka, yang dikenal dengan istilah ilmu bathin. Menurut mereka, hasil penafsiran diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada 'Ali bin Abi Thâlib. Lantas diwariskan dari beliau kepada orang-orang yang memiliki ilmu batin yang menamakan diri dengan sebutan al-Waratsah (para ahli waris).

Demikian pula orang-orang Sufi, mereka menempuh jalan takwil ini dalam memahami Al-Qur`ân dan banyak mengambil istilah yang dipakai oleh orang-orang Syi'ah. Dengan demikian, kita mengetahui hubungan yang begitu erat antara orang Syi`ah dengan orang Sufiyyah".[10]

Keempat. Pengagungan terhadap kuburan serta kunjungan-kunjungan ke makam-makam merupakan salah satu dasar akidah Syi'ah. Mereka itulah golongan pertama yang membangun makam-makam dan menjadikannya sebagai syiar.[11] Kemudian muncul orang-orang Sufi yang syiar terbesarnya ialah pengagungan terhadap kuburan, membangun dan menghiasinya, melakukan thawaf (mengelilinginya) untuk meminta berkah dan meminta pertolongan kepada penghuninya. Bahkan kuburan Ma'rûf al-Kurkhi -salah seorang tokoh Sufi dari kalangan mereka- dijadikan sebagai salah satu obat yang mujarab.[12]

Kelima. Pakaian Sufiyyah. Orang-orang Sufi beranggapan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan satu pakaian kepada 'Ali kemudian 'Ali memakaikan pakaian ini kepada al-Hasan al-Bashri. Dan katanya, dari beliau inilah orang-orang Sufi mengambilnya.[13]

Dr. Kâmil asy-Syaiby telah menulis sebuah kitab yang menjelaskan kuatnya hubungan antara Syi'ah dan Sufiyyah berdasarkan perjalanan sejarah. Kesesuaian antara Syi'ah dan Sufiyyah tidak terbatas pada masalah perkataan dan keyakinan saja, akan tetapi meluas kepada perbuatan sebagaimana ketika mereka bekerjasama dengan musuh untuk menghancurkan Daulah Islamiyyah yang syar'i dan membuka jalan agar musuh bisa masuk ke negeri kaum muslimin, khususnya pada masa kekhilafahan 'Abbasiyyah, mereka berhasil merebut sebagian wilayah kaum muslimin, menyebarkan ajaran zindiq dan ilhad. Hingga akhirnya Shalahuddin al Ayyubi berhasil menumpas salah satu dari mereka, yaitu kelompok al-Abidiyyah al-Majusiyyah, dan mengembalikan Daulah Islam kepada kaum muslimin. Juga, ketika kaum muslimin berusaha untuk membersihkan Daulah Islam dari para salibis, ternyata orang-orang Syi'ah Rafidhah, seperti an-Anashir ath-Thusi dan Ibnul-Alqami justru membantu tentara Mongol untuk masuk ke ibukota Daulah Islamiyyah, Baghdad, dan melakukan perusakan serta pembantaian terhadap kaum muslimin.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Musuh-musuh Islam berhasil masuk Baghdad lantaran bantuan dari kaum munafiqin, seperti orang-orang Isma'iliyyah dan Nashiriyyah. Mereka berhasil menguasai negeri Islam, menjadikan para wanita sebagai tawanan, merampas harta, menumpahkan darah. Apa yang dialami oleh kaum muslimin ini, ialah karena bantuan yang diberikan mereka kepada musuh-musuh Islam sehingga terjadi kerusakan, yang Allah Maha Mengetahui besarnya kerusakan tersebut."[14]

Demikian pula yang dilakukan orang-orang Sufiyyah, mereka banyak membantu musuh-musuh Islam untuk merebut negeri Islam dari tangan kaum muslimin. Sebagai contoh, yaitu ketika mereka membantu tentara Perancis saat merebut kota Qairawan. Demikin pula campur tangan mereka, sehingga tentara Perancis bisa menginjakkan kakinya di al-Jazair. Bahkan salah seorang tokoh mereka, Ahmad at-Tijani berkata: "Sesungguhnya wajib bagi kami untuk membantu tentara Perancis, baik secara materi maupun politik". Dan banyak peristiwa-peristiwa lainnya yang sangat merugikan kaum muslimin, dan ternyata banyak mendapatkan dukungan, baik dari orang Syi'ah maupun orang-orang Sufiyyah.

Demikian, sebagian titik persamaan antara Syi'ah dan Tharikat Sufiyyah. Sehingga jelaslah bagi kita, bahwasanya mereka berasal dari sumber yang satu. Untuk itu, wajib baik kita untuk mewaspadainya.

Wallahu a'lam.

(Diringkas dari: al-Jamâ'at al-Islâmiyyah fî Dhau`il Kitâbi was-Sunnah bi-Fahmi Salafil-Ummah, karya Syaikh Salîm bin 'Id al-Hilâli, Dârul Atsariyyah, Tahun 1425H-2004M, halaman 115-127)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

kesesatan Agama Syiah











Segala puji bagi Allah Robb semesta alam, sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, istri-istrinya dan orang-orang yang senantiasa setia mengikuti jalannya hingga hari akhir nanti.
Enam tahun yang silam di salah satu pesantren terbesar di Indonesia, penulis menjadi salah satu peserta dauroh yang diadakan oleh Jami’ah Islamiyah Madinah. Kebetulan ada suatu kisah yang tidak terlupakan hingga detik ini. Seperti biasanya, sebelum pelajaran dimulai, para dosen (baca: masyayikh) mengabsen peserta dauroh satu persatu. Hingga sampai ke suatu nama, dosen tersebut mengernyitkan dahinya dan terheran-heran, nama itu adalah Ayatullah Khomeini, (kebetulan dia salah seorang teman akrab penulis di pesantren). Dosen itu bertanya, “Kamu sunni (termasuk golongan ahlus sunnah)?”, dengan tenangnya peserta itu menjawab, “Iya”, “Mengapa kamu pakai nama dedengkot Syiah?”, “Karena bapak ana ngasih nama seperti itu”, sahutnya. Setelah dialog singkat itu sang dosen minta agar teman kami tersebut mengganti namanya.
Penulis -dengan lugunya- berkata dalam hati, “Memangnya kenapa sich nggak boleh pakai nama tokoh Syi’ah tersebut? Masa gitu saja dipermasalahkan! Toh dia juga salah satu pejuang besar dunia?!”
Hari berganti hari, bulan berganti bulan; setahun kemudian penulis diberi kesempatan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menuntut ilmu di kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tepatnya di Jami’ah Islamiyah. Di situlah wawasannya mulai terbuka sedikit demi sedikit, pengetahuannya tentang kelompok-kelompok yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam sedikit demi sedikit mulai bertambah. Hingga terbelalaklah matanya tatkala mengetahui hakikat kelompok Syi’ah. Dan hilanglah sudah keheran-heranan dia enam tahun yang silam, mengapa sang dosen pengajar dauroh itu begitu ‘ngotot’-nya minta agar peserta Ayatullah Khomeini mengganti namanya.
Maka, dalam rangka menyampaikan ilmu walaupun hanya sedikit, juga berhubung semakin menjamur dan larisnya ajaran itu di tanah air kita, penulis merasa berkewajiban untuk menyampaikan sedikit dari apa yang diketahuinya tentang agama yang satu ini. Tulisan ini ditranskrip, diterjemahkan dan diringkas dari sebuah ceramah ilmiah dalam suatu kaset yang berjudul “Waqafat Ma’a Du’at at-Taqrib” (Beberapa renungan beserta para da’i penyeru persatuan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah) yang disampaikan oleh Syaikh Abdullah as-Salafy. Kaset ini bukan hanya membawakan fakta dari perkataan-perkataan ulama klasik Syi’ah saja, tapi juga membawakan fakta dari perkataan-perkataan ulama kontemporer mereka yang suaranya sempat terekam dalam kaset, dan jatuh ke tangan Ahlusunnah(*). Kami ucapkan kepada para pembaca yang budiman, Selamat menikmati!
(*) Perkataan-perkataan ulama klasik mereka kami sebutkan dengan referensinya beserta nomor jilid dan halamannya. Bagi yang menginginkan bukti otentik fakta-fakta tersebut bisa merujuk ke kitab Ulama asy-Syi’ah Yaqulun, Watsaiq Mushawwarah Min Kutub asy-Syi’ah, yang diterbitkan oleh Markaz Ihya Turots Alul Bait. Adapun perkataan-perkataan ulama kontemporer mereka jika terdapat dalam suatu kaset, maka kami sebutkan dengan kata-kata, “Dengarlah perkataan fulan…” Suara asli mereka bisa didengarkan dalam kaset Waqafat Ma’a Du’at at-Taqrib.
FAKTA PERTAMA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Ahlul Bait (keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Ahlul bait adalah: keluarga Ali, ‘Aqil, Ja’far dan Abbas. Tidak diragukan lagi (menurut Ahlus Sunnah) bahwa istri-istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفاً. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 32-33)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait (keluarga) nya.
Ahlusunnah mencintai dan mengasihi ahlul bait, mencintai dan mengasihi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi mereka (Ahlusunnah) juga meyakini bahwa tidak ada yang ma’shum melainkan hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara keyakinan mereka juga: wahyu telah terputus dengan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada yang mengetahui hal yang gaib kecuali hanya Allah subhanahu wa ta’ala, dan tidak seorang pun dari para manusia yang telah mati bangkit kembali sebelum hari kiamat. Jadi, kita Ahlusunnah menjunjung tinggi keutamaan ahlul bait dan selalu mendoakan mereka agar senantiasa mendapatkan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, tidak lupa kita juga berlepas diri dari musuh-musuh mereka.
Di pihak lain, orang-orang Rafidhah (Rafidhah adalah salah satu julukan kelompok Syi’ah. Julukan ini disebutkan oleh ulama kontemporer mereka Al Majlisy dalam kitabnya Bihar al-Anwar hal 68, 96 dan 97. Kata-kata Rafidhah berasal dari fi’il rafadha yang berarti menolak. Adapun asal muasal mengapa mereka digelari Rafidhah, ada berbagai versi. Antara lain:
  1. Karena mereka menolak kekhilafahan Abu Bakar dan Umar.
  2. Versi lain mengatakan karena mereka menolak agama Islam. (lihat Maqalat al-Islamiyin, karya Abu al-Hasan al-Asy’ary jilid I, hal 89).
Selain berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan imam-imam mereka dengan mengatakan bahwasanya mereka itu ma’shum dan lebih utama dari para nabi dan para rasul, mereka juga melekatkan sifat-sifat tuhan di dalam diri para imam, hingga mengeluarkan mereka dari batas-batas kemakhlukan! Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang paling besar, paling jelek, paling rusak dan paling kufur.
Di antara sikap ekstrem mereka, klaim mereka bahwa para imam mengetahui hal-hal yang gaib, dan mereka mengetahui segala yang ada di langit dan di bumi, tidak terkecuali. Mereka mengetahui apa-apa yang ada dalam hati, apa-apa yang ada dalam tulang belakang kaum pria dan apa-apa yang ada dalam rahim kaum wanita. Mereka juga mengetahui apa yang telah lalu dan yang akan datang hingga hari kiamat.
Al Kulainy dalam kitabnya al-Kaafi -yang mana ini merupakan kitab yang paling shahih menurut Rafidhah-, dia telah mengkhususkan di dalamnya bab-bab yang menguatkan sikap ekstrem tersebut. Contohnya: di jilid I, hal 261, dia berkata, “Bab bahwasanya para imam mengetahui apa yang telah lalu dan apa yang akan datang, serta bahwasanya tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi dari pengetahuan mereka.” Dia juga telah meriwayatkan dalam halaman yang sama dari sebagian sahabat-sahabatnya bahwa mereka mendengar Abu Abdillah ‘alaihis salam (yang dia maksud adalah Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui apa-apa yang ada di langit dan di bumi, aku mengetahui apa-apa yang ada di dalam surya dan aku mengetahui apa yang telah lalu serta yang akan datang.”
Dia juga berkata dalam jilid I, hal 258, “Bab bahwasanya para imam mengetahui kapan mereka akan mati dan mereka tidak akan mati kecuali dengan kemauan mereka sendiri.”
Di antara bukti-bukti sikap ekstrem orang-orang Syi’ah, klaim mereka para imam memiliki kekuasaan untuk mengatur alam semesta ini semau mereka; mereka bisa menghidupkan orang yang telah mati, juga menyembuhkan orang yang buta, orang yang terkena kusta, kemudian dunia akhirat milik para imam, mereka berikan kepada siapa saja sesuai dengan kehendak mereka.
Al-Kulainy di jilid I, hal 470 meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Bashir bahwa ia bertanya kepada Abu Ja’far ‘alaihis salam, “Apakah kalian pewaris nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab, “Benar!” Lantas aku bertanya lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pewaris para nabi mengetahui apa yang mereka ketahui?” “Benar!”, jawabnya. Aku kembali bertanya, “Mampukah kalian menghidupkan orang yang sudah mati dan menyembuhkan orang yang buta dan orang yang terkena penyakit kusta?” “Ya, dengan izin Allah”, sahutnya.”
Husain bin Abdul Wahab dalam kitabnya ‘Uyun al-Mu’jizat hal 28 bercerita bahwasanya, Ali pernah berkata kepada sesosok mayat yang tidak diketahui pembunuhnya, “Berdirilah -dengan izin Allah- wahai Mudrik bin Handzalah bin Ghassan bin Buhairah bin ‘Amr bin al-Fadhl bin Hubab! Sesungguhnya Allah dengan izin-Nya telah menghidupkanmu dengan kedua tanganku!” Maka berkatalah Abu Ja’far Maytsam, Sesosok tubuh itu bangkit dalam keadaan memiliki sifat-sifat yang lebih sempurna dari matahari dan bulan, sembari berkata, “Aku dengar panggilanmu wahai yang menghidupkan tulang, wahai hujjah Allah di kalangan umat manusia, wahai satu-satunya yang memberikan kebaikan dan kenikmatan. Aku dengar panggilanmu wahai Ali, wahai Yang Maha Mengetahui.” Maka berkatalah amirul-mu’minin, “Siapakah yang telah membunuhmu?” Lantas orang tersebut memberitahukan pembunuhnya.
Berkata al-Kasany dalam kitabnya ‘Ilm al-Yaqin fi Ma’rifati Ushul ad-Din jilid II, hal 597, “Semua makhluk diciptakan untuk mereka (para imam), dari mereka, karena mereka, dengan mereka dan akan kembali kepada mereka. Karena -tanpa diragukan lagi- Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia dan akhirat hanya untuk mereka. Dunia dan akhirat untuk mereka dan milik mereka. Para manusia adalah budak-budak mereka!”
Dengarlah salah seorang syaikh mereka Baqir al-faly yang mengatakan bahwasanya Nabiyullah Isa ‘alaihis salam mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali rodhiallahu ‘anhu, “Wahai para manusia, beberapa hari yang lalu telah dirayakan hari kelahiran Isa al-Masih, yang telah mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali bin Abi Thalib!”
Berkata Imam mereka Ayatullah al-Khomeini di dalam kitabnya Al-Hukumah al- Islamiyah hal 52, “Sesungguhnya para Imam memiliki kedudukan terpuji, derajat yang tinggi dan kekuasaan terhadap alam semesta, di mana seluruh bagian alam ini tunduk terhadap kekuasaan dan pengawasan mereka.”
Sulaim bin Qois dalam kitabnya hal 245 dengan ‘gagahnya’ berdusta dengan perkataannya, Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ali, “Wahai Ali, sesungguhnya engkau adalah ilmu pengetahuan Allah yang paling agung sesudahku, engkau adalah tempat bersandar yang paling besar di hari kiamat. Barang siapa bernaung di bawah bayanganmu niscaya akan meraih kemenangan. Karena hisab (penghitungan amal) para makhluk berada di tanganmu, tempat kembali mereka adalah kepadamu. Mizan (timbangan amalan), shirath (jalan yang mengantarkan para hamba ke surga), dan al-mauqif (tempat berkumpulnya semua makhluk di hari akhir) semua itu adalah milikmu. Maka barang siapa yang bersandar kepadamu, niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelisihimu niscaya akan celaka dan binasa! Ya Allah, saksikanlah 3x!”
Na’udzubillah…
Dengarlah Basim al-Karbalaiy menghasung dan mendorong orang-orang Rafidhah untuk pergi ke kuburan Ali radhiallahu ‘anhu dan meminta kesembuhan darinya, berihram dan thawaf di sekitar kuburannya, “Wahai yang berada di bawah kubah putih di kota Najaf! Wahai Ali! Barang siapa yang berziarah ke kuburanmu dan meminta kesembuhan darimu niscaya dia akan sembuh!”
Di dalam kitab Wasail ad-Darojat karangan ash-Shaffar (hal 84), Abu Abdillah berkata: Konon Amirul Mu’minin pernah berkata, “Aku adalah ilmu Allah, aku adalah hati Allah yang sadar, aku adalah mulut Allah yang berbicara, aku adalah mata Allah yang melihat, aku adalah pinggang Allah, aku adalah tangan Allah.”
Na’uzubillah dari ghuluw ini!
Dengarlah Muhsin al-Khuwailidy dalam khotbah kufurnya di mana dia melekatkan kepada Ali sifat-sifat rububiyah Allah, “Dan di antara khutbah-khutbahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam: Aku mempunyai semua kunci hal-hal yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya sesudah Rasulullah kecuali aku. Aku-lah penguasa hisab, aku pemilik sirath dan mauqif, aku pembagi (distributor) surga dan neraka dengan perintah Robb-ku. Akulah yang menumbuhkan dedaunan dan mematangkan buah-buahan. Akulah yang memancarkan mata air dan mengalirkan sungai-sungai. Akulah yang menyimpan ilmu, akulah yang meniupkan tiupan pertama yang mengguncangkan alam, akulah sang petir, akulah shaihah. Aku adalah Al Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya. Akulah asma al-husna yang para hamba diperintahkan untuk berdoa dengannya. Akulah yang memiliki sangkakala dan yang membangkitkan manusia dari dalam kubur. Akulah penguasa hari kebangkitan. Akulah yang menyelamatkan Nuh, yang menyembuhkan Ayub. Akulah yang menegakkan langit dengan perintah Tuhanku. Akulah si pemegang keputusan yang tidak dapat diubah, hisab para makhluk berada di tanganku. Para makhluk menyerahkan urusannya kepadaku. Akulah yang mengokohkan gunung-gunung yang menjulang tinggi, yang memancarkan mata air, dan yang menciptakan alam semesta. Akulah yang membangkitkan para mayat, yang menurunkan kuburan. Akulah yang memberi cahaya matahari, bulan dan bintang. Akulah yang membangkitkan hari kiamat, yang mengetahui hal yang telah lalu dan yang akan datang. Akulah yang membinasakan para raja lalim terdahulu dan yang melenyapkan negeri-negeri. Akulah yang menciptakan gempa, yang membuat gerhana matahari dan bulan. Aku pula yang menghancurkan fir’aun-fir’aun dengan pedangku ini. Akulah yang ditugasi Allah untuk melindungi orang-orang lemah dan Allah perintahkan mereka taat kepadaku.”
Dalam kitab Kasyf al-Yaqin Fi Fadhail Amir al-Mu’minin karya Hasan bin Yusuf bin al- Muthahhir al-Hilly (hal 8) disebutkan, Akhthab Khawarizm meriwayatkan dari Abdulloh bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tatkala Allah ciptakan Adam dan Dia tiupkan ruh-Nya ke dalamnya, Adam bersin lantas mengucapkan, “Alhamdulillah!” Maka Allah mewahyukan padanya, “Engkau telah memuji-Ku wahai hamba-Ku, demi kekuatan dan keagungan-Ku kalau bukan karena dua hamba yang akan Kutempatkan mereka di dunia, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu wahai Adam!” Serta merta Adam bertanya, “Mereka berdua dari keturunanku?”, “Betul wahai Adam. Angkatlah kepalamu dan lihatlah!” Maka Adam mengangkat kepalanya, dan ternyata telah tertulis di atas ‘Arsy, “Tidak ada yang berhak disembah selain Allah, Muhammad nabi kasih sayang dan Ali penegak hujjah. Barang siapa yang mengetahui hak Ali maka dia akan suci dan bahagia, dan barang siapa yang taat kepadanya meskipun dia berbuat maksiat kepada-Ku akan Kumasukkan ke dalam surga. Aku bersumpah demi kepekerkasaan-Ku; barang siapa yang tidak taat kepada Ali meskipun dia taat kepada-Ku, niscaya akan Kumasukkan ke dalam neraka!”
Lihatlah wahai para hamba Allah, bagaimana dia mengedepankan ketaatan kepada Ali di atas ketaatan kepada Allah!!!
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 33): Pengarang buku Masyariq al-Anwar telah meriwayatkan dengan sanadnya kepada al-Mufadhal bin ‘Amr: Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah ‘alaihis salaam tentang perihal sang imam; bagaimana ia bisa tahu apa yang ada di penjuru bumi, padahal ia berada di rumah yang tertutup? Lantas ia menjawab, “Wahai Mufadhal, sesungguhnya Allah telah menciptakan di dalam diri mereka 5 ruh:
  1. Ruh kehidupan, yang dengannya dia bisa memukul dan naik.
  2. Ruh kekuatan, yang dengannya dia bisa bangkit.
  3. Ruh syahwat, yang dengannya dia bisa makan dan minum.
  4. Ruh keimanan, yang dengannya dia memerintahkan dan berbuat adil.
  5. Ruh kudus, yang dengannya dia mengemban kenabian. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, berpindahlah ruh kudus ke tubuh sang imam, maka dia tidak akan pernah lalai dan lengah. Dengan ruh itulah dia bisa melihat apapun yang ada di penjuru dunia. Tidak ada sesuatu pun di bumi dan di langit yang tersembunyi dari sang imam. Dia bisa mengetahui semua yang ada di langit semesta, sekecil dan selirih apapun dia. Barang siapa yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka dia bukanlah seorang imam!”
Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 30), Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku bersama Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api dan akulah yang menjadikan api itu dingin serta menyelamatkan. Aku juga bersama Nuh di kapalnya lantas akulah yang menyelamatkan dia dari ketenggelaman. Aku juga bersama Musa, lantas aku ajarkan Taurat kepadanya. Aku jugalah yang menjadikan Isa berbicara saat dia masih dalam buaian, kemudian kuajarkan Injil padanya. Akulah yang bersama Yusuf di dalam sumur, lantas kuselamatkan dia dari tipu daya saudara-saudaranya. Dan aku bersama Sulaiman di atas permadani, kemudian aku hembuskan angin baginya.”
Lantas apa yang tersisa untuk Allah?! Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Ziarah Makam Husain Lebih Utama Dari Haji Ke Baitullah
Dalam kitab Wasail asy-Syiah karangan al-Hurr al-‘Amily (jilid I, hal 371) dan di dalam kitab al-Mazar karangan al-Mufid (hal 58) disebutkan: Dari Yunus bin Dzobyan, berkata Abu Abdillah, “Barang siapa yang ziarah ke makam Husain pada malam pertengahan bulan Sya’ban, malam Idul Fitri dan malam hari Arafah dalam satu tahun, niscaya Allah akan tuliskan baginya pahala 1000 ibadah haji yang mabrur, 1000 ibadah umrah yang diterima dan akan dikabulkan baginya 1000 doa yang berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan dia di dunia dan akhirat.”
Bahkan menurut orang-orang Rafidhah, para penziarah makam Husain itu lebih utama daripada orang-orang yang berada di padang Arafah. Dalam kitab Wasail asy-Syiah karangan al-Hurr al-‘Amily (jilid X,hal 361) dan kitab Tahdzib al-Ahkam karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid VI, hal 42) disebutkan: Dari Ali bin Asbath, dari sebagian sahabat-sahabat kami, dari Abu Abdillah ‘alaihi salam bahwa dia ditanya, “Benarkah Allah mendahulukan ‘menengok’ para peziarah makam Ali bin Husain ‘alaihi salam sebelum ‘menengok’ orang-orang yang berada di padang Arafah?”, “Betul” jawabnya. Lantas dia kembali ditanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Karena di antara orang-orang yang berada di padang Arafah terdapat anak-anak hasil perzinaan, adapun para penziarah makam Husain seluruhnya suci tidak ada satupun anak hasil perzinaan.” (Bagaimana mungkin mereka menganggap semua orang Syi’ah suci dan bukan hasil perzinaan, padahal zina (baca: nikah mut’ah) sendiri mereka anggap merupakan salah satu ritual ibadah yang paling utama?!! (-pen).
Na’udzubillah!
Dalam kitab Tahdzib al-Ahkam karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid V, hal 372) disebutkan: Dari Zaid asy-Syahham, dari Abu Abdillah ‘alaihi salam berkata, “Barang siapa yang ziarah makam Abu Abdillah (Husain) ‘alaihis salam pada hari ‘Asyura sedang dia mengetahui hak-haknya, seakan-akan dia telah menziarahi Allah di ‘Arsy-Nya.”
Na’udzubillah dari ghuluw dan kesesatan ini!
–bersambung insya Allah–
***
Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman al-Atsary Abdullah Zaen, Lc. (Mahasiswa S2, Universitas Islam Madinah)

Bid'ah - Innovation in Islam

Wa sharrul Umoori Muhdathaatuhaa, Wa kulla Bid'atin dhaialah, wa kulla dhalatin fin-naar" Al-Hadith (Sahih Muslim). Translation of the above Hadith: Every innovation is a misguidance and every misguidance goes to Hell fire.
IMAM SHAFI'S EXPLANATION OF THE ABOVE HADITH:
Kullu bida'tin daiala: "Every innovation is a misguidance"? Doesn't the term "every" include all innovations?" Such an objection stems from the misinterpretation of the term kull ("every") in the Hadith to be all encompassing without exception, whereas in Arabic it may mean "Nearly all" or "the vast majority." This is how al-Shafi'i understood it or else he would have never allowed for any innovation whatsoever to be considered good, and he is considered a hujja or "Proof," that is, reference without peer for questions regarding the Arabic language. The stylistic figure of meaning the part by the whole, or nechdoche in English is in Arabic: 'abbara 'an al-kathratf bi at-kulliyya. This is illustrated by the use of kull in the following verse 46:25 of the Quran in a selective or partial sense not a universal sense:
"Destroying all things by commandment of its Lord. And morning found them so that naught could be seen save their dwellings". Thus, the dwellings were not destroyed although "all" things had been destroyed. "All" here means specifically the lives of the unbelievers of 'Ad and their properties except their houses.
ARE THERE GOOD OR BAD INNOVATIONS IN ISLAM?
Prophetic saying as stated in Sahih Muslim is known even to common Muslims, let alone scholars: "He who inaugurates a good practice (sanna fil-islam sunnatun hasana) in Islam earns the reward of it, and of all who perform it after him, without diminishing their own rewards in the least. " Tirmizi, Page 92.
Imam Nawawi said in Sahih Muslim (6-21):
"The Prophet's saying 'every innovation is a general-particular and it is a reference to most innovations. The linguists say, 'Innovation is any act done without a previous pattern, and it is of five different kinds."' Imam Nawawi also said in Tahzeeb al Asma'wal Sifaat, "Innovation in religious law is to originate anything which did not exist during the time of the Prophet, and it is divided into good and bad." He also said, "al-muhdathat (pi. for muhdatha) is to originate something that has no roots in religious law. In the tradition of religious law, it is called innovation, and if it has an origin within the religious law, then it is not innovation. Innovation in religious law is disagreeable, unlike in the language where everything that has been originated without a previous pattern is called innovation regardless of whether it is good or bad."
Sheikh al-Islam lbn Hajar Al Asqalani, the commentator on al-Bukhari, said, "Anything that did not exist during the Prophet's time is called innovation, but some are good while others are not."
Abu Na'eem, narrated from Ibrahim al-Junaid, said, "I heard Ash-Shafi'i saying, 'Innovation is of two types: praiseworthy innovation and blameworthy innovation, and anything that disagrees with the Sunnah is blameworthy."
Imam al Bayhaqi narrated in Manaqib Ash-Shafi'i that he said, "Innovations are of two types: that which contradicts the Quran, the Sunnah, or unanimous agreement of the Muslims is an innovation of deception, while a good innovation does not contradict any of these things."
IN CONCLUSION:
Clearly, we can see from the opinions of the righteous scholars, that to define innovations in worship as wholly negative without exception is ignorant. For these pious knowers, among them, Imam Shafi'i and Imam Nawawi, declared that innovations could be divided into good and bad, based on their compliance with, or deviance from religious law. Can the latter day scholars of Islam (who came after I 1 00 years) claim that they understand the Quran and Hadith better than the Sahaba and the Salaf-Us-Saliheen? If 'every' innovation is a misguidance then the following too are all innovations which originated two centuries or more after Sahaba RA: Reading eight raka in Tarawih; Translations of Quran; Writing Tafseers; collection and classification of Ahaadiths; Principles of Jurisprudence; The four schools of Fiqh, Stoned and carpeted Mosques, use of loud speakers in mosques etc.
Therefore, anything that does not have roots originating to the Quran and Sunnah is considered a bad innovation. But the following practices, such as recitation of the Quran in gatherings; Recital of Darud-Sharif (Salaat-o-Salaam) in gatherings and Mawlid (commemorating the birth and Seerah of the Holy Prophet Muhammed (Peace be Upon Him) has clear and authenticated roots to the Quran and Sunnah. Where in Quran and Hadith all these gatherings are declared as haram or prohibited? Proof of such acts is indicated as follows: On Mawlid: "Abi Qatadat said that the Prophet was asked about fasting on Monday and he said 'That was the day I was born."' This Hadith is a clear evidence of the importance of the commemoration of the Prophet's e birthday through worship. Al-Hafiz ibn Rajab al-Hanbali, in his book Lataif al-maarif (p. 98), in explaining this Hadith of Muslim said, "It is good to fast on the days that Allah honored and favored his servants."
It is incumbent not only on Muslims but on all human beings to rejoice in his advent, the day of his birth. As al-Hafiz ibn Rajab al-Hanbali said, "The best favor that Allah has granted this nation is the birth of Prophet Muhammad (PBUH) when he was sent to humanity. " We did not send you except as a mercy to the whole Universe' (AlAnbiya'107. So we review and recall Allah's favor of sending the Prophet by fasting on that day". 'Of the favor and mercy of Allah let them rejoice" (Yunus, 58).
Below is a divine order for all the believers to send Salutations on Prophet Muhammad (Peace be upon HIM). Allah has said in the Quran- Allah and His angels sends blessings on the Prophet (Peace be upon HIM)"-. O'you believes! You too send Salutation on beloved Prophet (Peace be upon HIM)" (33:56)
What does the Quran say about Dhiker in gatherings'?
"Those men and women who engage much in Allah's praise. For them has Allah prepared forgiveness and a great reward." (33:35)
"Those who remember their Lord standing, and sitting, and lying on their sides" (3:191)
" Men whom neither traffic nor merchandise can divert from Remembrance of Allah nor from regular Salaat, nor from regular practice of Zakaat. (24:37)
"Those who believe, and whose hearts find comfort in the remembrance of Allah! Aye! It is in the remembrance of Allah that hearts can find comfort;" (13: 28)
What do the Hadith say about Dhiker in gatherings?
Hadith Qudsi: "Those that remember Me in their heart, I remember them in My heart; and those that remember Me in a gathering, I remember them (i.e. make mention of them) in a gathering better than theirs. (This can include recitation of Quran, Durood (Salat-o-Salaam) and other Dhiker Allah)
In Bukhari and Muslim: The Prophet (Peace be upon him) said that Allah has angels roaming the roads to find the people of dhikr, i.e. those who say La ltaha ltiabah and similar expressions, and when they find a group of people (Qaom) reciting dhikr, they call each other and encompass them in layers until the first heaven -- the location of which is in Allah's knowledge. (This is to say, an unlimited number of angels are going to be over that group
Ibn 'Umar reported that the Prophet (Peace be upon him) said: "When you pass by the gardens of Paradise, avail yourselves of them." The Companions asked: "What are the gardens of Paradise, 0 Messenger of Allah?" He replied: "The circles of dhikr. There are roaming angels of Allah who go about looking for the circles of dhikr, and when they rind them they surround them closely." Tirmidhi narrated it (Hasan Gharib) and Ahmad.
Abu Sa'id Al-Khudri and Abu Huraira reported that the Prophet (Peace be upon him) said, "When any group of men remember Allah, angels surround them and mercy covers them, tranquility descends upon them, and Allah mentions them to those who are with Him." Narrated by Muslim, Tirmidhi, Ahmad, lbn Majah, and Bayhaqi.
Those who call upon Bida'h (innovations):
For those who insist on scrutinizing Bida'h should rather pay more attention to Haram and major sins. The following are typical examples that majority of the Ummah is engaged in everyday and so routinely which are often overlooked and justified through obtaining Fatwa's for the purpose of legitimizing their actions:
Buying houses on mortgages (interest);
Holding Credit on credit cards;
Eating non halal meat and foods (MacDonald, KFC, etc.)
Disobedience to parents and ill treatment of either wife or husband;
Sending of children to Islamic school but not practicing Islam themselves
Calling other Muslim brothers Miskeen (poor) based upon nationality
Undue extravagance: Luxuries (Castles, Rolls Royces, Cadillacs etc);
Engaging in fraud and corruption
Celebrating own anniversaries and birthdays yet raise objection on Mawlid. Etc.
Islam cannot be customized to suit individual needs and lifestyles. This is a great hypocrisy. One can ask themselves how pious and strict follower of the Quran and Sunnah, am I in reality? Stay away from haram, shirk and Kufr and try to follow other Hadiths as well in order to fulfill the claim of being strict followers of Quran and Sunnah.

Islamic Academy
1251 Shiloh Rd.Plano TX 75074 - Phone 972-423-5786

source: here

Antara Taqlid Dan Ittiba’

Oleh
Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah



Ittiba’ (mengikuti) kebenaran adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Alloh wajibkan setiap manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Alloh kepada Rasul-Nya. Alloh jadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi manusia di dalam kehidupannya.

Tidak ada yang membangkang kepada perintah Alloh tersebut kecuali orang-orang yang taqlid kepada nenek moyangnya atau kebiasaan yang berlaku di sekelilingnya atau hawa nafsunya yang mengajak untuk membangkang dari perintah AlIoh. Mereka tolak datangnya kebenaran karena taqlid.

Tidak ada satu pun kesesatan kecuali disebabkan taqlid kepada kebatilan yang diperindah oleh iblis sehingga tampak sebagai kebenaran. Inilah sebab kesesatan setiap kaum para rasul yang menolak dakwah para rasul. IniIah sebab kesesatan orang-orang Nashara yang taqlid kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Inilah sebab kesesatan setiap kelompok ahli bid’ah yang taqlid kepada pemikiran-pemikiran sesat dan gembong-gembong mereka.

Para pengikut kesesatan ini menggunakan segala cara untuk mempertahankan kesesatan mereka sekaligus mengajak orang-orang selain mereka kepada jalan mereka. Mereka sebarkan syubhat bahwa orang yang ittiba’ kepada manhaj para ulama adalah taqlid kepada ulama. Mereka campur adukkan antara taqlid dan ittiba’.

Jika mereka diseru untuk meninggalkan taqlid kepada pemikiran para pemimpin kesesatan mereka, mereka balik membantah, “Wahai para Salafiyyun kalian jugataqlid kepada para ulama kalian!”

Inilah jalan setiap pemilik kesesatan dari masa ke masa, mereka gabungkan antara kebatilan dengan kebenaran, mereka kaburkan garis pemisah antara keduanya.

Dengan memhon Taufiq dari Alloh pada pembahasan kali ini kami ketengahkan kepada pembaca beberapa perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ agar kita bisa memahaminya dengan benar, dan sekaligus -bi’idznillah-bisa menepis syubhat para pemilik kebatilan dalam masalah ini.

DEFINISI TAQLID
Taqlid secara bahasa adalah meletakkan “al-qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-. akan perkara tersebut diletakkan di lehernya seperti kalung. [Lisanul Arab 3/367 dan Mudzakkirah Ushul Fiqh hal.3 14]

Adapun taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993 dan l’lamul Muwaqqi’in 2/178]

Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. [Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 3 14]

CELAAN TERHADAP TAQLID
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mencela taqlid dalam Kitab-Nya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah” [AtTaubah :31]

Ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca ayat Ini maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai rabb rabb.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?” Adi Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ltulah peribadatan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami’ nya 3095 dan Baihaqidalam Sunan Kubra 10/116 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal.20]

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinyajuga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” [Az-Zukhruf : 23-24]

Al-Imam lbnu Abdil Barr rahimahullahu berkata, “Karena mereka taqlid kepada bapak-bapak mereka maka mereka tidak mau mengikuti petunjuk para Rasul” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/977]

Alloh menyifati orang-orang yang taqlid dengan firman-Nya.

“Artinya : Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-arang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun” [Al-Anfal : 22]

“Artinya : Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali” [Al-Baqarah : 166]

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Para ulama berargumen dengan ayat-ayat mi untuk membatalkan taqlid” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/978]

WAJIBNYA ITTIBA’
Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan. [I’Iamul Muwaqqi’in 2/171]

Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di antaranya firman Alloh.

“Artinya : Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, makasesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” [Ali lmran : 32]

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Hujurat : 1]

“Artinya : Hal orang-arang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepoda Allah (AlQur ‘an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisa :59].

“Artinya : Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintal Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. “Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Ali lmran :31]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya seandainya Musa hidup maka tidak boleh baginya kecuali mengikutiku” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalamMushannafnya 6/Fl 3, lbnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 9/47, Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi 2/805, Syaikh Al-Albani berkata dalam Irwa’ 6/34, “Hasan”]

Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Jika Musa Kalimullah tidak boleh ittiba’ kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana dengan yang lainnya? Hadits ini merupakan dalil yang qath‘i atas wajibnya mengesakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ittiba’, dan ini merupakan konsekuensi syahadat ‘anna Muhammadan rasulullah”, karena itulah Alloh sebutkan dalam ayat di atas (Ali lmran : 31) bahwa ittiba’ kepada Rasulullah bukan kepada yang lainnya adalah dalil kecintaan Alloh kepadanya” [Muqaddimah Bidayatus Sul fi Tafdhili Rasul hal.5-6]

Demikian juga Alloh memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:

“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [An-Nisa’: 115]

Pengertian lain dari ittiba’ adalah jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya sebagaimana diktakan oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/787.

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan: Ya Alloh jalankan kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba’ kepadaku dan jika kebenaran bersamanya maka aku ittiba’ padanya” [Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam oleh Al-’Izz bin Abdis Salam 2/I 36]

TAQLID BUKANLAH ITTIBA’
Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, “Taqlid menurut para ulama bukan ittiba, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dan makna perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/787]

Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad berkata, “Taqlid maknanya dalam syari‘at adalah merujuk kepada suatu perkataan yang tidak ada argumennya, ini adalah dilarang dalam syari’at, adapun ittiba maka adalah yang kokoh argumennya”.

Beliau juga berkata, “Setiap orang yang engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mewajibkanmu untuk mengikutinya maka engkau telah taqlid kepadanya, dan taqlid dalam agama tidak shahih. Setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk mengikuti perkataannya maka engkau ittiba’ kepadanya. Ittiba’ dalam agama dibolehkan dan taqlid dilarang” [Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kmtabnya Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993]

PARA IMAM MELARANG TAQLID DAN MEWAJIBKAN ITTIBA’
Diantara hal lain yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya dan taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:

Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku” [Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya atas Bahru Raiq 6/293 dan Sya’ rany dalam Al-Mizan 1/55]

Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesual dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ 2/32]

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ 9/107 dengan sanad yang shahih]

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi , lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”. [Diriwayatkan olehAbu Hatim dalamAdab Syafi’i hal.93 dengan sanad yang shahih]

Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah.engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya” [Masa’iI Al-Imam Ahmad oleh Abu Dawud hal.276- 277]

ITTIBA ADALAH JALAN AHLI SUNNAH DAN TAQLID ADALAH JALAN AHLI BID’AH
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy berkata, “Umat ini telah sepakat bahwa tidak wajib taat kepada seorangpun dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam …makà barangsiapa yang ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan yang lainnya seperti orang yang ta’ashub kepada seorang sahabat dan mengesampingkan yang lainnya, seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. ini jalannya ahlul ahwa” [Al-Ittiba’ cet. kedua hal. 80]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang ta’ ashub kepada seseorang, dia kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada salah seorang sahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. ini adalah jalan ahli bid’ ah dan ahwa’ yang mereka keluar dan syari’at dengan kesepakatan umat dan menurut Kitab dan Sunnah ... yang wajib kepada semua makhluk adalah ittiba’ kepada seorang yang ma’shum (yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam) yang tidak mengucap dan hawa nafsunya, yang dia ucapkan adalah wahyu yang diturunkan kepadanya” [Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal.46-47]

BANTAHAN PARA ULAMA KEPADA PEMBELA TAQLID
Al-Imam Al-Muzani berkata, “Dikatakan kepada orang yang berhukum dengan taqlid, Apakah kamu punya hujjah pada apa yang kamu hukumi?’ Jika dia mengatakan,‘Ya’, secara otomatis dia membatalkan taqlidnya, karena hujjah yang mewajibkan dia menghukumi itu bukan taqlidnya”.

Jika dia mengatakan, “Aku menghukumi tanpa memakai hujjah.” Dikatakan kepadanya, “Kalau begitu mengapa engkau tumpahkan darah, engkau halalkan kemaluan, dan engkau musnahkan harta padahal Alloh mengharamkan semua itu kecuali dengan hujjah, Alloh berfirman:

“Artinya : Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini”. [Yunus : 68]

Kalau dia mengatakan, “Aku tahu kalau aku menepati kebenaran walaupun aku tidak mengetahui hujjah, karena aku telah taqlid kepada seorang ulama besar yang dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi dariku” Dikatakan kepadanya, “Jika dibolehkan taqlid kepada gurumu karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu, maka taqlid kepada guru dan gurumu lebih utama karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyl dari gurumu sebagaimana gurumu tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu.” Kalau dia mengatakan, “Ya”, maka dia harus meninggalkan taqlid kepada guru dari.gurunya dan yang di atasnya hingga berhenti kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kalau dia enggan melakukan itu berarti dia telah membatalkan ucapannya dan dikatakan kepadanya, “Bagaimana dibolehkan taqlid kepada orang yang lebih kecil dan lebih sedikit ilmunya dan tidak boleh taqlid kepada orang yang lebih besar dan lebih banyak ilmunya? ini jelas menupakan kontradiksi.”

Kalau dia mengatakan, “Karena guruku -meskipun dia lebih kecil- dia telah menggabungkan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, karena itu dia lebih paham apa yang dia ambil dan lebih tahu apa yang dia tinggalkan” Dikatakan kepadanya, “Demikian juga orang yang belajar dari gurumu maka dia sungguh telah menggabungkan ilmu gurumu dan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, maka engkau harus taqlid kepada orang ini dan meninggalkan taqlid kepada gurumu. Demikian juga engkau lebih berhak untuk taqlid kepada dirimu sendiri daripada taqlid kepada gurumu! Jika dia tetap pada perkataannya ini berarti dia menjadikan orang yang lebih kecil dan orang yang berbicara dari para ulama yunior lebih pantas ditaqlidi daripada para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Demikian juga menurut dia seorang sahabat harus taq lid kepada seorang tabi’in, dalam keadaan seorang tabi’ in di bawäh sahabat menurut analogi perkataannya, maka yang lebih tinggi selamanya lebih rendah, maka cukuplah ini merupakan kejelekan dan kerusakan” [Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdady dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 2/69-70 dan dinukil oleh lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/992-993]

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Dikatakan kepada orang yang taqlid: Mengapa engkau taqlid dan menyelisihi salaf dalam masalah ini, karena salaf tidak melakukan taqlid?” Kalau dia mengatakan, “Aku taqlid karena aku tidak paham tafsir Kitabullah dan aku belum menguasai hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sedangkan yang aku taqlidi telah mengetahui semuanya itu maka berarti aku taqlid kepada orang yang lebih berilmu daripadaku”

Dikatakan kepadanya, “Adapun para ulama, jika mereka sepakat pada sesuatu dan tafsir Kitabullah atau periwayatan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sepakat pada sesuatu maka itu adalah al-haq yang tidak ada satu pun keraguan di dalamnya. Akan tetapi mereka telah berselisih dalam hal yang kamu taqlidi, lalu apa argumenmu di dalam taqild kepada sebagian mereka tidak kepadã yang lainnya, padahal mereka semua berilmu. Bisa jadi orang yang tidak kamu pakai perkataanya lebih berilmu daripada orang yang engkau taqlidi?”

Jika dia mengatakan, “Aku taqlid kepadanya karena aku tahu dia di atas kebenaran.” Dikatakan kepadanya, “Apakah kamu tahu hal itu dengan dalil dari Al-Kitab, Sunnah, dan ijma’?”Jika dia mengatakan, “Ya”, maka dia telah membatalkan taqlidnya dan dituntut untuk mendatangkan dalil dan perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/994]

HUKUM TAQLID
Taqlid terbagi menjadi tiga macam sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim dalam kitabnya i’lamul Muwaqqi’in 2/187: (1) Taqlid yang diharamkan, (2) Taqlid yang diwajibkan, dan (3) Taqlid yang dibolehkan.

Macam yang pertama yaitu taqlid yang diharamkan terbagi menjadi tiga jenis:

[a]. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dari apa yang diturunkan Alloh.
[b]. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
[c]. Taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala‘telah mencela tiga macam taqlid ini di dalam ayat-ayat yang banyak sekali dalam Kitab-Nya sebagaimana telah kita sebutkan pada uraian di atas.
Macam yang kedua yaitu taqlid yang diwajibkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “SesungguhnyaAlloh telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Alloh perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam finman-Nya :

“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Alloh dan hikmah (Sunnah Nabimu)”[Al-Ahzab:34]

lnilah Adz-Dzikr yang Alloh penintahkan agar kita selalu ittiba’ kepadanya, dan Alloh perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya” [l’lamul Muwaqqi’in 2/241]

Macam yang ketiga yaitu taqlid yang dibolehkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “Adapun taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Alloh. Hanya saja sebagian darinya tensembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa....” [I’lamul Muwaqqi’ in 2/169]

Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya” [Majmu’ Fatawa 20/203-204]

MENGIKUTI MANHAJ PARA ULAMA BUKAN BERARTI TAKLID KEPADA MEREKA
Al-Imam lbnul Qayyim berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, karena itu maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.

Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Alloh . Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Alloh dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.

Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagal timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sini nampaklah kebatilan pemahaman orang yang menjadikan taqlid sebagai ittiba’, mengaburkannya dan mencampuradukkan antara keduanya, bahkan taqlid menyelisihi ittiba’. Alloh dan Rasul-Nya telah memilahkan antara keduanya demikian juga para ulama.

Karena sesungguhnya ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan”. [I’lamul Muwaqqi’in 2/170-l71]

[Pembabasan ini banyak mengambil faedah dan risalah Syaikhuna Al-Fadhil Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly yang berjudul Al Iqna’ bi Maja’a ‘an A’immati Da ‘wah minal Aqwal fil Ittiba’]

KESIMPULAN
Taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya atau mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya.

Taqlid terbagi menjadi tiga macam.
[1]. Taqlid yang diharamkan, yaitu taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dan apa yang diturunkan oleh Alloh, taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya, dan taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya. lnilah taqlid yang dicela Alloh dalam Kitab-Nya.

[2].Taqlid yang diwajibkan, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya tentang Adz-Dzikr yaitu apa yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.

[3].Taqlid yang dibolehkan, yaitu taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan oleh Alloh dalam suatu permasalahan. Hanya saja sebagian dari hujjahnya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya dalam permasalahan tersebut.

Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan atau jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya.

Taqlid bukanlah ittiba’, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dari makna penkataannya.

Para imam melarang para pengikutnya dan taqlid dan memerintahkan mereka agar selalu ittiba’.

Ittiba’ adalah jalan Ahlu Sunnah dan taqlid adalah jalan ahli bid’ah.

Mengikuti manhaj para ulama bukanlah taqlid kepada mereka, karena manhaj para ulama ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka, maka orang yang menempuh manhaj mereka juga ittiba’ sebagaimana mereka.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 2 Tahun V/Ramadhan 1426, Oktober 2005. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim PO BOX 21 (61153)]

sumber: http://almanhaj.or.id/content/2194/slash/0/antara-taqlid-dan-ittiba/

BENARKAH HABIB HABAIB ALAWIYIN DLL TURUNAN RASULULLAH ATAU REKAYASA POLITIK

Sebuah perencanaan busuk di lakukan oleh Abdurahman ibn Muljam untuk membunuh Saidina Ali ra pada tanggal 17 Ramadhan 40 H. bersama beberapa kelompok seperti muawwiyah dan UMAYYAH juga para kelompok SYIAH lainnya, karena menjelang wafatnya saidina Ali ra telah ada terbentuk sekte IMAMIAH, SEKTE SITTAH, SEKTE ITSNAI-ASYARAT, SEKTE KAISANIAH, SEKTE ZAIDIAH di mana semua adalah SYIAH dan melepaskan diri dari ASSUNNAH RASULULLAH MUHAMMAD saw. Para kelompok SYIAH ini memang sudah lama memimpikan akan menguasai kembali PERSI dan lepas dari kekuasaan para SAHABAT. Sehingga dendam karena kalah perang dan membenci RASULULLAH menjadi bola politik yang selalu di lempar oleh kekuatan musuh musuh AHLU BAIT ( keluarga Rasulullah ) juga para sahabat, merekalah yang paling licik dan kejam juga pandai menipu sejarah. Dalam Kitab lama DLUHA AL ISLAMI jilid III cetakan 1964 di ungkapkan oleh Dr Ahmad Amin banyak mengupas peristiwa wafatnya saidina ALI dan perpecahan di ummat.

SYIAH yang artinya kelompok politik telah menulis assunnah yang berbeda dengan RASULULLAH dan mengangkat saidina ALI sebagai RASULULLAH dan NABI yang Syah tetapi telah bertentangan dengan AL HADITS sehingga kedudukan SYIAH menjadi ancaman untuk kebenaran RASULULLAH MUHAMMAD saw, sehingga jelang waktu yang tak lama saidina HASAN ra dan saidina HUSEN ra JUGA TERBUNUH karena kebencian kaum SYIAH terhadap keluarga RASULULLAH, Dengan siapakah anak cucu RASULULLAH ini menikah siapakah putra putra turunan mereka ini hilang dari catatan Sejarah karena gedung gedung penyimpan buku buku catatan tua telah di bakar oleh kelompok SYIAH di BASRAH IRAQ ,,,,  Kaum Syiah yang memang telah merencanakan akan membunuh semua keturunan Saidina ALI dengan Istrinya FATIMAH AZZAHRA telah matang di buat sehingga dalam umur yang baru belasan tahun saidina hasan dan saidina husen telah menjadi amirul mu'minin dan tewas dalam penyergapan dan pembantaian. inilah fakta sejarah ytang masih ada di MADINAH ALMAWARDIYAH dan di TARIM HADROMOUT YAMAN.

Ulama Besar dari Mesir AL SYEKH DR ABDUL MUN EIM AL NEMR AL AZHAR KAIRO MESIR juga telah membahas awal asal muasal terbentuknya SYIAH/kelompok politik dan semua nama sekte sekte SYIAH yang memiliki konspirasi untuk menumpas turunan RASULULLAH dan semua para SAHABAT,mereka menghujat dan menghina para SAHABAT sampai saat ini di wilayah ARAB JAZIRAH dan ARAB PERSI,tak lama timbul kembali sejarah palsu yang menerangkan seorang lelaki asal dari BASRAH IRAQ yang mengaku anak cucu NABI MUHAMMAD saw yang tidak jelas adalah konspirasi SYIAH yang memasuki NEGARA YAMAN agar dapat di terima dan menetap sehingga berkeluarga dan memiliki banyak keturunan, kami lampirkan nasab keturunan dari yaman pendatang dari BASRAH IRAQ bernama AHMAD BIN ISA AL BASRAH IRAQ DAN TERUS MEMILIKI KETURUNAN :
(ALI)  ( HUSEIN)    ( MUHAMMAD )      ( UBAIDILLAH menetap di yaman )

dari UBAIDILLAH inilah mereka membentuk keluarga besar di Yaman dan memiliki keturunan (ALI ) & ( ALWI AMMUL FAQQIH )
dari ALWI AMMUL FAQQIH mereka melahirkan 3 orang anak ( ABDULLAH ) (ABDUL MALIK ) ( ABDURAHMAN ) semua nama nama tadi sebut anak cucu ALWI atau kalau sekarang di dengar bernama ALAWIYIN atau keturunan ALWI AHMAD BIN ISA AL BASRAH IRAQ. Kini mereka menjadi ratusan keluarga dengan nama belakang marga yang berbeda anak cucu keturunan ALWI AHMAD BIN ISA AL BASRAH IRAQ seperti MARGA atau FUM mereka ADALAH :

AL ATTHAS - ASSEGAF - AL IDRUS - AL HABSIE - AL HAMID - BIL FAGEH - AL HADAD - AL KAFF - AL THOHIR - AL JUFRE - AL JAMALULAEL - AL QADRI - BIN AGIL - AL JINDAN - AL MUHKDOR - BIN YAHYA - AL BARUM - AL JUNAID AL AKHDOR - AL KHERID - AL KHUN - AL MADEHIJ - AL MARZAK - AL MASYHUR - AL MASILAH - AL MUTHOHAR - ABU NUMAI ASSYATIRI - AL SYILLI - BA'ABUD - BAJAHDAB - BARAQBAH - VAD'AQ - AL BA'ALI - AL NA'UMAR - ALBAIRRADINI - AL BAGHOIS - AL BAR - AL BIED - AL JAZERA - AL KADAD - AL MUSYAYAK AL UMAR - AL BAHR- ASH SHOFIE - AL HAMIL - AL BASYAEBAN - AL AS SAHIL - AL SARI - AL SYAMBAL - AL SMITH - AL THOHIR -  AL AIDID -  AL ALILALA - AZMATKHAN - AL BABTINAH - AL BAHASYIM - AL BAITI - AL BASAKUTA - AL NAZHIRI -  BAFARAJ - BASUROH - AL BAHSEIN - AL MUNAWWAR -  AL HADAR - BOFTEIN - JINDAH - AL KHIYYED - AL KHINDUAN - BIN YAHYA - MAULAKHELA - MUGEBEL - ASYSYATHA - AL SHIHABUDDIN - AL HADI - AZ ZAHIR - AZ ZAWAWI - BARAKWAN - BIN SUAIB - BIN SABA

MEREKA menyebar keseluruh Indonesia dan beberapa belahan dunia menetap dan Usaha,guru atau politikus dan berkiprah dalam dakwah, mungkin berbeda dengan mahzab imam syafei sebagai pilihan imam dari ummat muslim Indonesia dalam cara mereka berdakwah dan mengajarkan karena mereka dari keluarga perintis SYIAH asal muasalnya yang di kutib dari buku DR HA MADJID HASAN BAHAFDULLAH yang mengupas sejarah YAMAN - asal muasal keturunan YAMAN juga HADARIEM. ada juga keturunan BA ALWI atau ALAWIYIN yang telah menetap memegang ajaran dari AL IMAM SYAFEI sebagai imam mahdzab muslim Indonesia.

Mohon maaf atas segala kekhilafan dan kekurangan dalam catatan ini yang mengupas sebuah tragedi politik dan kedudukan SYIAH di belahan sejarah dunia. Bila ada catatan sejarah yang lebih kuat mendekati peristiwa aslinya pembentukan SYIAH kami harap dapat di kirimkan kepada Kami.salam


Wallahualambisawab

Adab Islami Ziarah Kubur

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang telah menciptakan hidup dan mati untuk menguji manusia siapa yang terbaik amalannya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga kepada keluarganya, shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka denga baik.
Ketahuilah hamba-hamba Allah, sadar atau tidak sadar, kita semua saat ini sama-sama sedang menuju garis akhir kehidupan kita di dunia,  meskipun jaraknya berbeda-beda setiap orang. Ada yang cepat, ada yang lama. Tetapi, perlahan tapi pasti, setiap orang menuju garis akhir kehidupannya di dunia, itulah kematian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (QS. Ali ‘Imran : 185)
Setelah mati, seorang hamba hanya tinggal memetik apa yang selama ini ia tanam di dunia, tidak ada kesempatan kedua untuk menambah amal. jika kebaikan yang ia tanam, itulah yang akan ia panen. Jika keburukan yang ia tanam, maka dialah yang akan merasakannya sendiri. Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk banyak-banyak mengingat kematian. Beliau bersabda,
“أكثروا ذكر هازم اللذات” يعني : الموت.
“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian) ”[1]
Dan di antara cara untuk mengingat kematian adalah dengan berziarah kubur. Banyak sekali manfaat yang dapat dipetik dari amalan berziarah ke kubur. Inilah yang akan menjadi topik pembahasan kali ini[2] mengingat masih banyaknya kaum muslimin yang salah dalam menyikapi ziarah ini sehingga bukannya manfaat yang mereka raih, akan tetapi ziarah mereka justru mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Semoga Allah Ta’ala  memberikan kita semua petunjuk.

Hukum ziarah kubur

Ziarah kubur adalah sebuah amalan yang disyari’atkan. Dari Buraidah Ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها
“Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah[3]

Bolehkah wanita berziarah kubur?

Para ulama berselisih dalam hal ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan ada 5 pendapat ulama dalam masalah ini :
  • Disunnahkan seperti laki-laki
  • Makruh
  • Mubah
  • Haram
  • Dosa besar[4]
Ringkasnya, pendapat yang paling kuat –wallahu a’lam– adalah wanita juga diperbolehkan untuk berziarah kubur asal tidak sering-sering. Hal ini berdasarkan beberapa alasan :
Pertama: Keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sudah lewat :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها
“Dahulu aku melarang kalian dari ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”[5]
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara laki-laki dan wanita.
Kedua: Hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya wanita berziarah lebih shahih daripada hadits yang melarang wanita berziarah. Hadits yang melarang wanita berziarah tidak ada yang shahih kecuali hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
أن رسول الله لعن زوّارات القبور
“Rasulullah melaknat wanita yang sering berziarah kubur”[6]
Ketiga: Lafazh زوّارات dalam hadits di atas menunjukkan makna wanita yang sering berziarah. Al Hafizh Ibnu Hajar menukil perkataan Imam Al Qurthubi : “Laknat dalam hadits ini ditujukan untuk para wanita yang sering berziarah karena itulah sifat yang ditunjukkan lafazh hiperbolik tersebut (yakni زوّارات )”[7]. Oleh karena itu, wanita yang sesekali berziarah tidaklah masuk dalam ancaman hadits ini.
Keempat: Persetujuan (taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur kemudian beliau hanya memberikan peringatan kepada wanita tersebut seraya berkata,
اتقى الله و اصبرى
“Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah!”[8]
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengingkari perbuatan wanita tersebut. Dan sudah diketahui bahwa taqrir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hujjah.
Kelima: Wanita dan laki-laki sama-sama perlu untuk mengingat kematian, mengingat akhirat, melembutkan hati, dan meneteskan air mata dimana hal-hal tersebut adalah alasan disyari’atkannya ziarah kubur. Kesimpulannya, wanita juga boleh berziarah kubur
Keenam: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada para wanita untuk berziarah kubur. Dalilnya adalah hadits dari shahabat Abdullah bin Abi Mulaikah :
أن عائشة أقبلت ذات يوم من المقابر، فقلت لها: يا أم المؤمنين من أين أقبلت؟ قالت: من قبر أخي عبد الرحمن بن أبي بكر، فقلت لها: أليس كان رسول الله نهى عن زيارة القبور؟ قالت: نعم: ثم أمر بزيارتها
“Aisyah suatu hari pulang dari pekuburan. Lalu aku bertanya padanya : “Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau?” Ia menjawab : “Dari kubur saudaraku Abdurrahman bin Abi Bakr”. Lalu aku berkata kepadanya : “Bukankah Rasulullah melarang ziarah kubur?” Ia berkata : “Ya, kemudian beliau memerintahkan untuk berziarah”[9]
Ketujuh: Disebutkan dalam kisah ‘Aisyah yang membuntuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke pekuburan Baqi’ dalam sebuah hadits yang panjang, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah,
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين، وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Ya Rasulullah, apa yang harus aku ucapkan kepada mereka (penghuni kubur-ed)?” Rasulullah menjawab, “Katakanlah : Assalamu’alaykum wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang dating kemudian. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian”[10]
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata setelah membawakan hadits ini : “Al Hafizh di dalam At Talkhis (5/248) berdalil dengan hadits ini akan bolehnya berziarah kubur bagi wanita”[11]
Dengan berbagai argumen di atas jelaslah bahwa wanita juga diperbolehkan berziarah kubur asalkan tidak sering-sering. Inilah pendapat sejumlah ulama semisal Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Al ‘Aini, Al Qurthubi, Asy Syaukani, Ash Shan’ani, dan lainnya rahimahumullah.[12]

Hikmah ziarah kubur

Ziarah kubur adalah amalan yang sangat bermanfaat baik bagi yang berziarah maupun yang diziarahi. Bagi orang yang berziarah, maka ziarah kubur dapat mengingatkan kepada kematian, melembutkan hati, membuat air mata menetes, mengambil pelajaran, dan membuat zuhud terhadap dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ، وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا
“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur, sekarang berziarahlah karena ziarah dapat melembutkan hati, membuat air mata menetes, dan mengingatkan akhirat. Dan janganlah kalian mengucapkan al hujr[13][14]
Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hikmah dibalik ziarah kubur. Ketika seseorang melihat kubur tepat di depan matanya, di tengah suasana yang sepi, ia akan merenung dan menyadari bahwa suatu saat ia akan bernasib sama dengan penghuni kubur yang ada di hadapannya. Terbujur kaku tak berdaya. Ia menyadari bahwa ia tidaklah hidup selamanya. Ia menyadari batas waktu untuk mempersiapkan bekal menuju perjalanan yang sangat panjang yang tiada akhirnya adalah hanya sampai ajalnya tiba saja. Maka ia akan mengetahui hakikat kehidupan di dunia ini dengan sesungguhnya dan ia akan ingat akhirat, bagaimana nasibnya nanti di sana? Apakah surga? Atau malah neraka? Nas-alullahas salaamah wal ‘aafiyah.
Selain itu, ziarah kubur juga bermanfaat bagi mayit yang diziarahi karena orang yang berziarah diperintahkan untuk mengucapkan salam kepada mayit, mendo’akannya, dan memohonkan ampun untuknya. Tetapi, ini khusus untuk orang yang meninggal di atas Islam. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أن النبي كان يخرج إلى البقيع، فيدعو لهم، فسألته عائشة عن ذلك؟ فقال: إني أمرت أن أدعو لهم
“Nabi pernah keluar ke Baqi’, lalu beliau mendo’akan mereka. Maka ‘Aisyah menanyakan hal tersebut kepada beliau. Lalu beliau menjawab : “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk mendo’akan mereka””[15]
Adapun jika mayit adalah musyrik atau kafir, maka tidak boleh mendo’akan dan memintakan ampunan untuknya berdasarkan sabda beliau,
زار النبي قبر أمه. فبكى, وأبكى من حوله، فقال: استأذنت ربي في أن أستغفر لها، فلم يؤذن لي، واستأذنته في أن أزور قبرها فأذن لي، فزوروا القبور فإنها تذكر الموت
“Nabi pernah menziarahi makam ibu beliau. Lalu beliau menangis. Tangisan beliau tersebut membuat menangis orang-orang disekitarnya. Lalu beliau bersabda : “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan untuk ibuku. Tapi Dia tidak mengizinkannya. Dan aku meminta izin untuk menziarahi makam ibuku, maka Dia mengizinkannya. Maka berziarahlah kalian karena ziarah tersebut dapat mengingatkan kalian kepada kematian[16]
Maka ingatlah hal ini, tujuan utama berziarah adalah untuk mengingat kematian dan akhirat, bukan untuk sekedar plesir, apalagi meminta-minta kepada mayit yang sudah tidak berdaya lagi.

Adab Islami ziarah kubur

Agar berbuah pahala, maka ziarah kubur harus sesuai dengan tuntunan syari’at yang mulia ini. Berikut ini adab-adab Islami ziarah kubur :
Pertama: Hendaknya mengingat tujuan utama berziarah
Ingatlah selalu hikmah disyari’atkannya ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran dan mengingat kematian.
Imam Ash Shan’ani rahimahullah berkata : “Semua hadits di atas menunjukkan akan disyari’atkannya ziarah kubur dan menjelaskan hikmah dari ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran seperti di dalam hadits Ibnu Mas’ud (yang artinya) : “Karena di dalam ziarah terdapat pelajaran dan peringatan terhadap akhirat dan membuat zuhud terhadap dunia”. Jika tujuan ini tidak tercapai, maka  ziarah tersebut bukanlah ziarah yang diinginkan secara syari’at”[17]
Kedua: Tidak boleh melakukan safar untuk berziarah
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah melakukan perjalanan jauh (dalam rangka ibadah, ed) kecuali ke tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha”[18]
Ketiga: Mengucapkan salam ketika masuk kompleks pekuburan
“Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan mereka (para shahabat) jika mereka keluar menuju pekuburan agar mengucapkan :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”[19]
Keempat: Tidak memakai sandal ketika memasuki pekuburan
Dari shahabat Basyir bin Khashashiyah radhiyallahu ‘anhu : “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba beliau melihat seseorang sedang berjalan diantara kuburan dengan memakai sandal. Lalu Rasulullah bersabda,
يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ» فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا
“Wahai pemakai sandal, celakalah engkau! Lepaskan sandalmu!” Lalu orang tersebut melihat (orang yang meneriakinya). Tatkala ia mengenali (kalau orang itu adalah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia melepas kedua sandalnya dan melemparnya”[20]
Kelima: Tidak duduk di atas kuburan dan menginjaknya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ، فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, itu lebih baik daripada duduk di atas kubur”[21]
Keenam: Mendo’akan mayit jika dia seorang muslim
Telah lewat haditsnya di footnote no. 14. Adapun jika mayit adalah orang kafir, maka tidak boleh mendo’akannya.
Ketujuh: Boleh mengangkat tangan ketika mendo’akan mayit tetapi tidak boleh menghadap kuburnya ketika mendo’akannya (yang dituntunkan adalah menghadap kiblat)
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau mengutus Barirah untuk membuntuti Nabi yang pergi ke Baqi’ Al Gharqad. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di dekat Baqi’, lalu mengangkat tangan beliau untuk mendo’akan mereka.[22] Dan ketika berdo’a, hendaknya tidak menghadap kubur karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan. Sedangkan do’a adalah intisari sholat.
Kedelapan: Tidak mengucapkan al hujr
Telah lewat keterangan dari Imam An Nawawi rahimahullah bahwa al hujr adalah ucapan yang bathil. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan : “Tidaklah samar lagi bahwa apa yang orang-orang awam lakukan ketika berziarah semisal berdo’a pada mayit, beristighotsah kepadanya, dan meminta sesuatu kepada Allah dengan perantaranya, adalah termasuk al hujr yang paling berat dan ucapan bathil yang paling besar. Maka wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada mereka tentang hukum Allah dalam hal itu. Dan memahamkan mereka tentang ziarah yang disyari’atkan dan tujuan syar’i dari ziarah tersebut”[23]
Kesembilan: Diperbolehkan menangis tetapi tidak boleh meratapi mayit
Menangis yang wajar diperbolehkan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika menziarahi kubur ibu beliau sehingga membuat orang-orang disekitar beliau ikut menangis. Tetapi jika sampai tingkat meratapi mayit, menangis dengan histeris, menampar pipi, merobek kerah, maka hal ini diharamkan.

Rambu-rambu untuk para peziarah

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan ziarah kubur ini agar ziarah kubur yang dilakukan menjadi amalan shalih, bukan menyebabkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala :
  • Hikmah disyari’atkannya ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran dan mengingat akhirat, bukan untuk tabarruk kepada mayit meskipun dia dahulu orang sholeh. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan : “(Hendaknya) tujuan ziarahnya adalah untuk mengambil pelajaran, nasihat, dan mendo’akan mayit. Jika tujuannya adalah untuk tabarruk dengan kubur,  atau melakukan ritual penyembelihan di sana, dan meminta mayit untuk memenuhi kebutuhannya dan mengeluarkannya dari kesulitan, maka ini ziarah yang bid’ah lagi syirik[24]
  • Tidak boleh mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah karena hal itu tidak ada dalilnya. Kapan saja ziarah itu dibutuhkan, maka berziarahlah. Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Diantara hal yang tidak ada tuntunannya juga adalah kebiasaan menabur bunga di atas kuburan. Penta’liq Matan Abi Syuja’ –kitab fikih madzhab syafi’i- berkata : “Diantara bid’ah yang diharamkan adalah menaburkan/meletakkan bunga-bunga di atas jenazah atau kubur karena hanya buang-buang harta”[25]
Selesailah pembahasan tentang ziarah kubur ini. Semoga  Allah ‘Azza wa Jalla agar menjadikan amal ini sebagai amalan yang memberatkan timbangan kebaikan di hari perhitungan kelak  dan memberikan manfaat kepada kaum muslimin dengannya. Aamiin. Wallahu Ta’ala a’lam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘aalamin.

Penulis: Yananto
Artikel www.muslim.or.id


[1] HR. At Tirmidzi (no. 2307), Ibnu Majah (no. 4258), An Nasa’I (4/4), Ahmad (2/292,293). Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah mengatakan: “hadits shahih li ghairihi”. Lihat Bahjatun Nazhirin (1/581), Daar Ibnul Jauzy
[2] Dan hal yang sangat mengherankan bagi penulis yakni adanya orang-orang yang menuduh Salafiyyun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, atau yang mereka sebut sebagai Wahhabi, yang senantiasa berpegang teguh dengan sunnah Nabi, mengharamkan ziarah kubur secara mutlak. Semoga Allah memberikan mereka petunjuk kepada sunnah.
[3] HR. Muslim no. 977. Lihat Bahjatun Nazhirin (1/583)
[4] Lihat Asy Syarhul Mumti (5/380)
[5] HR. Muslim no. 977
[6] Hadits ini hasan dengan beberapa penguatnya. Diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 1056 dan beliau berkomentar : hadits hasan shahih, juga oleh Ibnu Majah no. 1576 dan Al Baihaqi (4/78). Lihat Jaami’ Ahkaamin Nisaa (1/580).
[7] Lihat Fathul Baari (3/149), Maktabah As Salafiyyah (versi pdf)
[8] HR. Bukhari no. 1283
[9] HR. Al Hakim (1/376) dan Al Baihaqi (4/78). Adz Dzahabi berkata : “Shahih”. Al Bushiri berkata : “Sanadnya shahih dan perawinya tsiqah”. Syaikh Al Albani berkata : “Hadits ini (derajatnya) sebagaimana penilaian mereka berdua”. Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 230, Maktabah Al Ma’arif
[10] HR. Muslim (3/14), Ahmad (6/221), An Nasa’I (1/286), dan Abdurrazzaq (no. 6712)
[11] Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 232, Maktabah Al Ma’arif
[12] Lihat Bahjatun Nazhirin (1/583), Daar Ibnul Jauzy
[13] Al Hujr adalah ucapan yang bathil. Lihat Al Majmu’ (5/310), Maktabah Syamilah
[14] HR. Al Hakim (1/376), dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Ahkaamul Janaa-iz hal. 229
[15] HR. Ahmad (6/252). Syaikh Al Albani berkata : “Shahih sesuai syarat Syaikhain (yakni Bukhari dan Muslim-ed)”. Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 239
[16] HR. Muslim (3/65). Dalam hadits ini juga terdapat dalil bolehnya menziarahi makam orang kafir dengan tujuan hanya untuk mengambil pelajaran saja, bukan untuk mendo’akannya.
[17] Lihat Subulus Salaam (1/502), Maktabah Syamilah
[18] Muttafaqun ‘alaihi dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
[19] HR. Muslim no. 974
[20] HR. Abu Dawud (2/72), An Nasa’I (1/288), Ibnu Majah (1/474), Ahmad (5/83), dan selainnya. Al Hakim berkata : “Sanadnya shahih”. Hal ini disetujui oleh Adz Dzahabi dan juga Al Hafizh di Fathul Baari (3/160). Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 173, Maktabah Al Ma’arif
[21] HR. Muslim (3/62)
[22]Syaikh Al Albani mengatakan : “Diriwayatkan oleh Ahmad (6/92), dan hadits ini terdapat di Al Muwaththo’ (1/239-240), dan An Nasa’I dengan redaksi yang semisal tetapi disana tidak disebutkan (kalau Nabi) mengangkat tangan. Dan sanad hadits ini hasan”. Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 246, Maktabah Al Ma’arif
[23] Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal.227, Maktabah Al Ma’arif
[24] Lihat Al Mulakhkhos Al Fiqhi hal. 248, Daarul Atsar
[25] Ta’liq Matan Al Ghayah wat Taqrib fi Fiqhis Syafi’I hal. 106, Daar Ibnu Hazm


sumber: https://muslim.or.id/7803-adab-islami-ziarah-kubur.html

Larangan Duduk Memeluk Lutut Saat Khutbah Jumat

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc   Tidak sedikit jamaah shalat Jumat yang duduknya dalam keadaan memeluk lutut. Bahkan saking enaknya duduk ...