Sungguh merupakan suatu kemuliaan
tatkala seseorang ternyata termasuk Ahlul Bait, tatkala seseorang
merupakan cucu dan keturunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menjadi
keturunan orang yang paling mulia yang pernah ada di atas muka bumi.
Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan kita untuk
memperhatikan para Ahlul Bait. Kita sebagai seorang ahlus sunnah, bahkan
sebagai seorang muslim harus menghormati keturunan Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam jika keturunan Nabi tersebut adalah orang yang
bertakwa.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
وأهلُ بَيتِي، أُذكِّرُكم اللهَ في أهل بيتِي، أُذكِّرُكم اللهَ في أهل بيتِي، أُذكِّرُكم اللهَ في أهل بيتِي
"Dan
keluargaku, aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baiti
(keluargaku), aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang keluargaku,
aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baiti keluargaku" (HR Muslim no 2408)
Yaitu
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bertakwa
kepada Allah dalam memperhatikan hak-hak Ahlul Bait, dan memerintahkan
kita untuk menghormati mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Ahlul Bait
memiliki manzilah dalam Islam.
Abu Bakar radhiallahu 'anhu pernah berkata kepada Ali bin Abi Thholib :
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أحبُّ إليَّ أنْ أَصِلَ من قرابَتِي
"Demi
Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh kerabat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam lebih aku sukai untuk aku sambung
(silaturahmi) daripada kerabatku sendiri" (HR Al-Bukhari no 3711)
Sungguh
begitu bahagianya tatkala saya bertemu dengan cucu-cucu Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam di Kota Nabi shallallahu yang tegar dan
menyerukan sunnah Nabi dan memerangi kesyirikan dan kebid'ahan. Begitu
bahagianya saya tatkala sempat kuliah di Unversitas Islam Madinah
program jenjang Strata 1 selama 4 tahun (tahun 2002 - 2006) di fakultas
Hadits yang pada waktu itu dekan kuliah hadits adalah Doktor Husain Syariif al-'Abdali yang
merupakan Ahlul Bait…yang menegakkan sunnah-sunnah leluhurnya dan
memberantas bid'ah yang tidak pernah diserukan oleh leluhurnya.
Alhamdulillah hingga saat artikel in ditulis beliau masih menjabat
sebagai Dekan Fakultas Hadits
Akan tetapi
merupakan perkara yang sangat menyedihkan tatkala saya mendapati
sebagian ahlul bait yang menjadi pendukung bid'ah…pendukung aqidah dan
amalan yang tidak pernah diserukan oleh Leluhur mereka habibuna Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan betapa banyak orang syi'ah
Rofidoh yang mengaku-ngaku sebagai cucu-cucu Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam. Bahkan mereka mengkafirkan ahlul bait yang sangat dicintai oleh
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu istri beliau 'Aisyah
radhiallahu 'anhaa. Demikian juga mereka mengkafirkan lelaki yang paling
dicintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Abu Bakar radhiallahu
'anhu. Wallahul Musta'aan…
Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa'ah
terhadap Ahlul Bait adalah sikap tengah antara sikap berlebih-lebihan
(ghuluw) dan sikap kurang/keras kepada Ahlul Bait.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengenal keutamaan orang yang menggabungkan antara keutamaan takwa dan kemuliaan nasab.
-
Maka barangsiapa diantara Ahlul Bait yang merupakan sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam maka Ahlus Sunnah mencintainya karena tiga
perkara, karena sebagai sahabat Nabi, karena ketakwaannya dan karena
kekerabatannya dengan Nabi.
- Barangsiapa diantara Ahlul
Bait yang bukan merupakan sahabat akan tetapi bertakwa maka Ahlus Sunnah
mencintainya karena dua perkara, karena ketakwaannya dan karena
kekerabatannya.
Ahlus Sunnah meyakini bahwa kemuliaan nasab mengikuti kemuliaan takwa dan iman.
Adapun
barangsiapa diantara Ahlul Bait yang tidak bertakwa maka kemuliaan
nasabnya tidak akan memberi manfaat baginya. Allah telah berfirman :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu (QS Al-Hujuroot : 13).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
"Barang siapa yang amalannya memperlambatnya maka nasabnya tidak akan bisa mempercepatnya" (HR Muslim no 2699)
Al-Imam An-Nawawi mengomentari hadits ini :
مَعْنَاهُ
مَنْ كَانَ عَمَلُهُ نَاقِصًا لَمْ يُلْحِقْهُ بِمَرْتَبَةِ أَصْحَابِ
الأَعْمَالِ فَيَنْبَغِى أَنْ لاَ يَتَّكِلَ عَلَى شَرَفِ النَّسَبِ
وَفَضِيْلَةِ الآبَاءِ وَيُقَصِّرُ فِى الْعَمَلِ
"Makna hadits ini
yaitu barang siapa yang amalnya kurang maka nasabnya tidak akan
membuatnya sampai pada kedudukan orang-orang yang beramal, maka
seyogyanya agar ia tidak bersandar kepada kemuliaan nasabnya dan
keutamaan leluhurnya lalu kurang dalam beramal" (Al-Minhaaj Syarh Shahih
Muslim 17/22-23)
Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata :
فَمَنْ
أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ أَنْ يَبْلُغَ بِهِ الْمَنَازِلَ الْعَالِيَةَ
عِنْدَ اللهِ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ فَيُبَلِّغُهُ تِلْكَ
الدَّرَجَاتِ، فَإِنَّ الله تَعَالَى رَتَّبَ الْجَزَاءَ عَلَى الأَعْمَالِ
لاَ عَلَى الأَنْسَابِ كَمَا قَالَ تَعَالَى فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّوْرِ
فَلاَ أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءَلُوْنَ
"Barangsiapa
yang amalnya lambat dalam mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah
maka nasabnya tidak akan mempercepat dia untuk mencapai derajat yang
tinggi tersebut. Karena Allah memberi ganjaran/balasan atas amalan dan bukan atas nasab sebagaimana firman Allah
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُونَ (١٠١)
"Apabila
sangkakala ditiup Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara
mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya" (QS Al-Mukminun : 101)" (Jaami al-'Uluum wa al-Hikam hal 652)
Ibnu Rojab berkata selanjutnya:
"Dan
dalam Musnad (*Ahmad) dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam tatkala mengutus beliau ke negeri Yaman maka Nabi
keluar bersama beliau sambil memberi wasiat kepada beliau, lalu Nabi
berpaling dan menghadap ke kota Madinah dengan wajahnya dan berkata :
إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي الْمُتَّقُوْنَ، مَنْ كَانُوْا حَيْثُ كَانُوْا
"Sesungguhnya
orang-orang yang paling dekat dengan aku adalah orang-orang yang
bertakwa, siapa saja mereka dan di mana saja mereka" (*HR Ahmad no 22052)
Dan At-Thobroni mengeluarkan hadits ini dengan tambahan :
إِنَّ
أَهْلَ بَيْتِي هَؤُلاَءِ يَرَوْنَ أَنَّهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِي
وَلَيْسَ كَذَلِكَ، إِنَّ أَوْلِيَائِي مِنْكُمُ الْمُتَّقُوْنَ مَنْ
كَانُوْا وَحَيْثُ كَانُوْا
"Sesungguhnya Ahlul Bait
mereka memandang bahwasanya mereka adalah orang yang paling dekat
denganku, dan perkaranya tidak demikian, sesungguhnya para wali-waliku dari kalian adalah orang-orang yang bertakwa, siapapun mereka dan di manapun mereka"
(*HR At-Thobroni 20/120 dan Ibnu Hibbaan dalam shahihnya no 647.
Al-Haitsaimy dalam Majma' Az-Zawaid (10/400) berkata : Isnadnya jayyid
(baik), demikian juga Syu'aib Al-Arnauuth berkata : Isnadnya kuat)
Dan
semua ini didukung oleh sebuah hadits yang terdapat di Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari 'Amr bin Al-'Aash bahwasanya beliau
mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ آلَ أَبِي فُلاَنٍ لَيْسُوْا لِي بِأَوْلِيَاءِ وَإِنَّمَا وَلِيِّي اللهُ وَصَالِحُو الْمُؤْمِنِيْنَ
"Sesungguhnya
keluarga ayahku –yaitu si fulan- bukanlah para waliku, dan hanyalah
para waliku adalah Allah, dan orang-orang mukmin yang sholih" (*HR Al-Bukhari no 5990 dan Muslim no 215)
Rasulullah
memberi isyarat bahwa walaa' kepada beliau tidak diperoleh dengan nasab
meskipun dekat nasabnya, akan tetapi diperoleh dengan keimanan dan
amalan sholeh. Maka barangsiapa yang imannya dan amalannya semakin
sempurna maka walaa'nya semakin besar kepada Nabi, sama saja apakah ia
memiliki nasab yang dekat dengan Nabi ataukah tidak. Dan dalam
penjelasan ini seorang (penyair) berkata :
لعمرُك ما الإنسانُ إلَّا بِدِيْنِهِ فَلاَ تَتْرُكِ التَّقْوَى اتِّكالاً عَلَى النَّسَبِ
لَقَدْ رَفَعَ الإِسْلاَمُ سَلْمَانَ فَارِسٍ وَقَدْ وَضَعَ الشِّرْكُ النَّسِيبَ أبا لَهَبِ
"Tidaklah seseorang (bernilai) kecuali dengan agamanya
Maka janganlah engkau meninggalkan ketakwaan dan bersandar kepada nasab
Sungguh Islam telah mengangkat Salman Al-Farisi (*yang bukan orang arab)
Dan kesyirikan telah merendahkan orang yang bernasab tinggi si Abu Lahab".
(Demikian perkataan ibnu Rojab, Jaami' al-'Uluum wa al-Hikam, hal 653-654, Syarah hadits ke 36)
Al-Imam An-Nawawi mengomentari hadits di atas:
ومعناه إِنما وليي من كان صالحا وإِن بَعُدَ نَسَبُه مِنِّي وليس وليي من كان غير صالح وان كان نسبه قريبا
"Dan
maknanya adalah : Yang menjadi Waliku hanyalah orang yang sholeh
meskipun nasabnya jauh dariku, dan tidaklah termasuk waliku orang yang
tidak sholih meskipun nasabnya dekat" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim
3/87)
Sungguh sangat menyedihkan ternyata di tanah air
Indonesia ada sebagian Ahlul Bait yang menjadi pendukung bid'ah dan
aqidah yang menyimpang. Sehingga sebagian masyarakat muslim Indonesia
langsung tertarik dengan dakwah yang diserukannya. Bahkan sebagian
masyarakat Indonesia menyangka bahwa apa saja yang dibawa dan
didakwahkan olehnya itulah kebenaran.
Padahal di sana masih banyak Ahlul Bait (para Habib) yang menyeru kepada sunnah Nabi dan memerangi bid'ah.
Oleh
karenanya pada artikel ini saya ingin menjelaskan kepada para pembaca
bahwasanya para habib bukan hanya mereka-mereka yang menyeru pada acara
bid'ah (habib-habib sufi) atau mereka-mereka yang menyeru kepada
kekufuran (seperti habib-habib syi'ah rofidhoh) akan tetapi masih banyak
habib-habib yang menyeru kepada tauhid dan sunnah serta memerangi
kesyirikan dan bid'ah.
HABIB-HABIB MENOLAK MAULID
Berikut
ini nasehat yang datang dari lubuk hati yang paling dalam yang ditulis
oleh para habib wahabi kepada para habib yang gemar melaksanakan
perayaan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Segala
puji bagi Allah penguasa alam semesta, Yang Maha pemberi petunjuk
kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari para hambaNya kepada jalan
yang lurus. Sholawat dan salam tercurahkan kepada manusia tersuci yang
telah diutus sebagai rahmat untuk alam dan juga tercurahkan kepada
keluarganya serta seluruh para sahabatnya.
Kemudian daripada itu, di antara Prinsip-prinsip yang agung yang berpadu di atasnya hati-hati para ulama dan kaum Mukminin adalah meyakini
(mengimani) bahwa petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah petunjuk yang paling sempurna, dan syari’at yang beliau bawa
adalah syari’at yang paling sempurna, Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا (٣)
Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (QS. Al maidah:3)
Dan
meyakini (mengimani) bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam merupakan agama yang dipanuti oleh seorang muslim. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga aku lebih dia cintai dari ayahnya, anaknya, dan semua manusia. (HR. al-Bukhari & Muslim)
Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para nabi, Imam
orang-orang yang bertaqwa, Pemimpin anak-cucu Adam, Imam Para Nabi jika
mereka dikumpulkan, dan Khatib mereka jika mereka diutus, si Pemilik
al-Maqoom al-Mahmuud dan Telaga yang akan dihampiri, Pemilik bendera
pujian, pemberi syafa’at manusia pada hari kiamat, Pemilik al-Washiilah
dan al-Fadhiilah. Allah telah mengutusnya dengan membawa kitab suci yang
terbaik, dan Allah telah memberikan kepadanya syari'at yang terbaik,
dan Allah menjadikan umatnya sebagai umat terbaik yang dikeluarkan untuk
manusia, Allah Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (٢١)
Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab: 21)
Dan di antara
kecintaan kepada beliau adalah mencintai keluarga beliau (Ahlul Bait),
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Aku mengingatkan kalian kepada Allah pada Ahlu Bait (keluarga)ku. (HR. Muslim).
Maka wajib bagi keluarga Rasulullah (Ahlul Bait) untuk menjadi orang yang paling yang mulia dalam mengikuti Sunnah Beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam, paling meneladani petunjuknya, dan wajib atas mereka
untuk merealisasikan cinta yang sebenarnya (terhadap beliau shallallahu
‘alaihi wasallam, red.), serta menjadi manusia yang paling menjauhi hawa
nafsu. Karena Syari’at datang untuk menyelisihi penyeru hawa nafsu,
Allah Ta’ala berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (٦٥)
Maka
demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’: 65)
Kecintaan yang hakiki pastilah akan malazimkan Ittiba’ yang benar. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣١)
Katakanlah:”Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Ali ‘Imran: 31)
Seseorang bukan hanya sekedar
berafiliasi kepada beliau secara nasab sudah cukup untuk menjadikannya
sesuai dengan kebenaran dalam segala perkara yang tidak mungkin untuk
disalahkan atau berpaling darinya.
Dan di antara fenomena
yang menyakitkan hati seseorang yang diterangi oleh Allah Ta’ala
pandangannya dengan cahaya ilmu, dan mengisi hatinya dengan cinta dan
kasih sayang kepada keluarga NabiNya (ahlul bait), khususya jika dia
termasuk Ahlul Bait, dari keturunan beliau yang mulia : Adalah
terlibatnya sebagian anak-cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang mulia (Ahlul Bait/Habaib) dalam berbagai macam penyimpangan
syari’at, dan pengagungan mereka terhadap syi’ar-syi’ar yang tidak
pernah dibawa oleh al-Habib al-Mushtafa Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan
di antara syi’ar-syi’ar yang diagungkan yang tidak berdasarkan petunjuk
moyang kami Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah bid’ah peringatan Maulid Nabi dengan
dalih cinta. Dan ini merupakan sebuah penyimpangan terhadap prinsip
yang agung ini (*yaitu sempurnanya syari'at dan petunjuk Nabi), dan
tidak sesuai dengan Maqasidu asy-Syari'at yang suci yang telah
menjadikan ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai standar utama yang dijadikan rujukan oleh seluruh manusia dalam
segala sikap dan perbuatan (ibadah) mereka.
Karena kecintaan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengharuskan ittiba’ (mengikuti) beliau
Shallalllahu ‘alaihi wasallam secara lahir dan batin. Dan tidak ada
pertentangan antara mencintai beliau dengan mengikuti beliau shallallahu
‘alaihi wasallam, bahkan ittiba’ (mengikuti) beliau merupakan landasan
kecintaan kepadanya. Dan orang-orang yang mengikuti beliau secara benar
(Ahlul ittiba’) adalah mereka yang meneladani sunnahnya,
menapak tilas petunjuknya, membaca sirah (perjalanan hidup)nya,
mengharumi majelis-majelis mereka dengan pujian-pujian terhadapnya tanpa
membatasi pada hari tertentu, dan tanpa sikap berlebihan dalam
menyifatinya serta menentukan tata cara yang tidak berdasar dalam
syari’at Islam.
Dan di antara yang membuat perayaan tersebut
sangat jauh dari petunjuk Nabi adalah sikap berlebih-lebihan
(pengkultusan) kepada beliau dengan perkara-perkara yang beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak mengizinkannya dan tidak
meridho dengan hal itu. Sebagian sikap berlebih-lebihan tersebut
dibangun di atas Hadits-hadits yang bathil dan aqidah-aqidah yang rusak.
Telah valid dari Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wasallam pengingkaran
terhadap sikap-sikap yang berlebihan seperti ini, dengan sabdanya:
Janganlah kalian berlebih-lebihan kepadaku seperti orang-orang nasrani yang berlebih-lebihan terhadap putra maryam. (HR. al-Bukhari)
Maka
bagaimana dengan faktanya, sebagian majelis dan puji-pujian dipenuhi
dengan lafazh-lafazh bid’ah, dan istighatsah-istighatsah syirik.
Dan
perayaan Maulid Nabi merupakan amalan/perbuatan yang tidak pernah
dilakukan dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan
tidak pernah pula dilakukan oleh seorangpun dari kalangan Ahlul Bait
yang mulia, seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein, Ali Zainal
Abidin, Ja’far ash-Shadiq, serta tidak pernah pula diamalkan oleh para
Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam –Radhiyallahu ‘anhum
ajma’in—begitu pula tidak pernah diamalkan oleh seorang pun dari para
tabi’in dan para pengikut tabi'in, dan tidak pula Imam Madzhab yang
empat, serta tidak seorangpun dari kaum muslimin pada periode-periode
pertama yang dimuliakan.
Jika ini tidak dikatakan
bid’ah, lalu apa bid’ah itu sebenarnya? Dan Bagaimana pula apabila
mereka bersenandung dengan memainkan rebana?, dan terkadang dilakukan di
dalam masjid-masjid? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengucapkan -tentang acara seperti ini dan yang semisalnya- suatu
perkataan sebagai pemutus yang tidak ada pengecualian di dalamnya: "Semua bid’ah itu sesat". (HR. Muslim).
Wahai
Tuan-tuan Yang terhormat! Wahai sebaik-baiknya keturunan di muka bumi,
sesungguhnya kemulian Asal usul dan nasab merupakan kemulian yang
diikuti dengan taklif (pembebanan), yakni melaksanakan sunnah
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berusaha untuk
menyempurnakan amanahnya setelah sepeninggalnya, dengan menjaga agama,
menyebarkan dakwah yang dibawanya.
Dan sikap seseorang yang
mengikuti apa yang tidak dibolehkan oleh syari’at tidak mendatangkan
kebenaran sedikitpun, dan merupakan amalan yang ditolak oleh Allah
Ta’ala, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam:
Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk di dalamnya, maka ia tertolak. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Waspadalah
dan bertakwalah kalian kepada Allah, wahai para Ahlu bait Nabi!, Jangan
kalian diperdayakan oleh kesalahan orang yang melakukan kesalahan, dan
kesesatan orang yang sesat, sehingga kalian menjadi para pemimpin di
luar garis petunjuk! Demi Allah, tidak seorangpun di muka bumi ini lebih
kami inginkan untuk mendapatkan hidayah daripada kalian, karena
kedekatan kekerabatan kalian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Ini merupakan seruan dari hati-hati yang mencintai dan
menginginkan kebaikan bagi kalian, dan menyeru kalian untuk selalu
mengikuti sunnah leluhur kalian (*Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam)
dengan meninggalkan bid’ah maulid ini dan seluruh amalan yang tidak
diketahui oleh seseorang dengan yakin bahwa itu merupakan sunnah dan
agama yang dibawanya, maka bersegeralah dan bersegeralah, Karena : Barang siapa yang lambat dalam amalnya, niscaya nasabnya tidak akan mempercepat amalnya tersebut. (HR. Muslim).
Yang menanda tangani risalah di atas yaitu:
1. Habib Syaikh Abu Bakar bin Haddar al-Haddar (Ketua Yayasan Sosial Adhdhamir al-Khairiyah di Tariim)
2. Habib Syaikh Aiman bin Salim al-'Aththos (Guru Ilmu Syari’ah di SMP dan Khatib di Abu ‘Uraisy)
3. Habib Syaikh Hasan bin Ali al-Bar (Dosen Kebudayaan Islam Fakultas Teknologi di Damam dan Imam serta khatib di Zhahran.
4. Habib Syaikh Husain bin Alawi al-Habsyi (Bendahara Umum ‘Muntada al-Ghail ats-Tsaqafi al-Ijtima’I di Ghail Bawazir)
5.
Habib Syaikh Shalih bin Bukhait Maula ad-Duwailah (Pembimbing al-Maktab
at-Ta’awuni Li ad-Da’wah wal Irsyad wa Taujih al-Jaliyat, dan Imam
serta Khatib di Kharj).
6. Habib Syaikh Abdullah bin Faishal
al-Ahdal (Ketua Yayasan ar-Rahmah al-Khairiyah, dan Imam serta Khatib
Jami’ ar-Rahmah di Syahr).
7. Habib Syaikh DR. ‘Ishom bin Hasyim
al-Jufri (Ustadz Musaa'id Fakultas Syari’ah Jurusan Ekonomi Islam di
Universitas Ummu al-Qurra’, Imam dan Khotib di Mekkah).
8. Habib Syaikh ‘Alawi bin Abdul Qadir as-Segaf (Pembina Umum Mauqi’ ad-Durar )
9. Habib Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Maqdi (Pembina Umum Mauqi’ ash-Shufiyah, Imam dan Khotib di Damam).
10.
Habib Syaikh Muhammad bin Muhsi al-Baiti (Ketua Yayasan al-Fajri
al-Khoiriyah, Imam dan Khotib Jami’ ar-Rahman di al-Mukala).
11. Habib Syaikh Muhammad Sami bin Abdullah Syihab (Dosen di LIPIA Jakarta)
12.
Habib Syaikh DR. Hasyim bin ‘Ali al-Ahdal (Prof di Universitas Ummul
Qurra’ di Mekkah al-Mukarramah Pondok Ta’limu al-Lughah al-‘Arabiyah Li
Ghairi an-Nathiqin Biha)
sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Larangan Duduk Memeluk Lutut Saat Khutbah Jumat
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc Tidak sedikit jamaah shalat Jumat yang duduknya dalam keadaan memeluk lutut. Bahkan saking enaknya duduk ...

-
Pembahasan Hadits Tentang Kafaah Dalam kitab Makarim al-Akhlaq, karya Radhiyuddin Abi an-Nashr al-Hasan bin al-Fadhal at-Thabras...
-
do'a setelah sholat fardhu Doa setelah shalat dengan detail sebagai berikut: BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM ALHAMDU LILLAAHI ...
-
Muse are an English alternative rock band from Teignmouth, Devon. Since their inception in 1994, the band has comprised Matthew Bellamy (...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar