Dosa menyebar fitnah, tidak mendapat syafaat Nabi

Fitnah dan Larangan Menyebarkan Berita Bohong Menurut Al-Qur’an dan Hadis

A‘ūdzu billāhi mina’sy-syayṭāni’r-rajīm.
Bismillāhi’r-Raḥmāni’r-Raḥīm.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(QS. Al-Ḥujurāt [49]: 6)


Makna dan Tafsir QS. Al-Ḥujurāt: 6

Ayat ini adalah salah satu pedoman terpenting dalam kehidupan sosial umat Islam. Allah Ta‘ala memperingatkan agar kaum beriman tidak tergesa-gesa menerima setiap kabar yang datang, apalagi dari orang fasik, yaitu orang yang tidak jujur, suka melanggar syariat, atau memiliki kebiasaan menipu dan berdusta.

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini turun ketika Rasulullah ﷺ mengutus al-Walīd bin ‘Uqbah untuk mengumpulkan zakat dari Bani al-Muṣṭaliq. Ketika sampai di sana, al-Walīd takut karena trauma masa lalu dan kembali ke Madinah dengan membawa kabar palsu bahwa mereka menolak zakat dan ingin membunuhnya. Akibatnya hampir saja terjadi peperangan, sebelum Allah menurunkan ayat ini sebagai peringatan agar setiap berita harus diverifikasi (tabayyun).

Makna “fatabayyanu” (فَتَبَيَّنُوا) adalah periksalah secara mendalam, jangan langsung percaya. Dalam riwayat lain digunakan lafaz “fataṡabbatu” (فتثبتوا) — yang berarti teguhkan dan pastikan kebenarannya. Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan verifikasi berita jauh sebelum lahirnya konsep “fact-checking” modern.


Fitnah dan Bahayanya dalam Islam

Kata fitnah dalam bahasa Arab memiliki banyak makna: ujian, cobaan, godaan, bahkan bisa berarti kebohongan yang menimbulkan kerusakan sosial. Dalam konteks artikel ini, fitnah berarti menyebarkan berita dusta atau tuduhan palsu terhadap seseorang atau kelompok.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Fitnah itu sedang tidur, maka laknat Allah bagi siapa yang membangunkannya.”
(HR. Ad-Dailamī)

Hadis ini menggambarkan bahwa fitnah ibarat api yang tertidur, dan siapa pun yang membangunkannya akan menanggung akibatnya. Fitnah bukan hanya sekadar ucapan, tetapi bisa menghancurkan reputasi, keluarga, bahkan negara.


Larangan Memata-matai dan Menggunjing

Allah berfirman dalam lanjutan surat yang sama:

وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Janganlah kamu memata-matai dan jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Ḥujurāt [49]: 12)

Ayat ini menggambarkan betapa menjijikkannya gibah (menggunjing) dengan perumpamaan memakan daging bangkai saudara sendiri. Gambaran itu sangat keras agar manusia menyadari bahwa gibah bukan hal sepele, tetapi kejahatan moral dan sosial yang dapat menghapus amal ibadah.


Dosa Fitnah Lebih Besar dari Dosa Besar

Dalam banyak penjelasan ulama, fitnah disebut sebagai “ashaddu minal qatli”, yaitu lebih kejam daripada pembunuhan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 191:

“Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.”

Mengapa fitnah dianggap lebih berat? Karena pembunuhan hanya menimpa satu tubuh, tetapi fitnah membunuh kehormatan, reputasi, dan kedamaian banyak jiwa. Fitnah bisa memecah belah umat, menimbulkan permusuhan yang bertahun-tahun, bahkan menumpahkan darah karena kesalahpahaman.

Oleh sebab itu, Allah menutup pintu ampun bagi orang yang terus-menerus menebar fitnah tanpa taubat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba dan menyebar fitnah (HR. Muslim).


Syafa’at Tidak Diberikan untuk Pembuat Fitnah

Nabi ﷺ bersabda:

“Syafa’atku diperuntukkan bagi umatku yang melakukan dosa besar.”
(HR. Tirmidzi)

Namun, sebagaimana dijelaskan dalam teks utama, orang yang membuat fitnah tidak termasuk penerima syafa’at ini. Sebab fitnah bukan sekadar dosa pribadi, tetapi dosa sosial yang menghancurkan banyak orang. Fitnah seperti virus yang menyebar luas, dan pembuatnya menjadi sumber kerusakan.

Seseorang yang menebar fitnah sejatinya meniru perilaku Iblis, yang menolak kebenaran dan menyesatkan manusia melalui bisikan-bisikan kebohongan. Maka wajar jika para pembuat fitnah dikutuk sebagaimana Iblis dikutuk.


Fitnah yang Tertidur: Peringatan Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Fitnah itu tertidur, dan Allah melaknat siapa pun yang membangunkannya.”

Hadis ini mengandung hikmah mendalam. Fitnah seringkali “tidur” di hati manusia — dalam bentuk kebencian, iri hati, atau hasad. Ketika seseorang membangunkannya melalui ucapan, media sosial, atau gosip, maka ia telah membuka pintu laknat Allah.

Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra berkata:

“Tahanlah lidahmu, karena tidak ada yang menyesal selain karena lisannya.”

Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra bahkan meletakkan batu di mulutnya agar tidak mudah berbicara. Karena beliau tahu, setiap kata bisa menjadi sumber dosa besar jika tidak dijaga.


Akibat Sosial dari Fitnah

Fitnah adalah akar dari perpecahan. Pertengkaran, kebencian, bahkan peperangan, sering dimulai dari berita palsu atau gosip yang tidak diverifikasi. Rasulullah ﷺ menggambarkan bahwa tanda-tanda orang munafik adalah:

  1. Jika berbicara, ia berdusta.

  2. Jika diberi amanah, ia khianat.

  3. Jika berjanji, ia mengingkari.
    (HR. Bukhari & Muslim)

Fitnah mencakup ketiganya: dusta, pengkhianatan, dan pelanggaran janji terhadap amanah sosial. Maka orang yang gemar menebar fitnah adalah bagian dari sifat kemunafikan.


Fitnah Terhadap Aisyah r.a.: Pelajaran Besar Umat Islam

Contoh paling terkenal dalam sejarah Islam adalah peristiwa “Hadīṡul Ifk”, yaitu fitnah terhadap Sayyidah ‘Aisyah r.a., istri Rasulullah ﷺ. Kaum munafik menuduh beliau berselingkuh dengan sahabat Shafwan bin al-Mu‘aṭṭal. Fitnah itu membuat sebagian kaum muslimin ragu, bahkan Nabi ﷺ sendiri menunggu wahyu untuk membenarkan keadaan.

Setelah sebulan penuh, Allah menurunkan ayat dalam QS. An-Nur [24]: 11–16 yang menegaskan bahwa Aisyah r.a. bersih dari tuduhan dan bahwa orang-orang yang memfitnah akan mendapat azab besar. Ayat tersebut berbunyi:

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah golongan dari kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan itu baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya; dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam menyebarkan berita bohong itu baginya azab yang besar.”
(QS. An-Nur [24]: 11)

Kisah ini menjadi peringatan abadi agar umat Islam tidak mengulang kesalahan itu: tidak menyebarkan kabar tanpa bukti dan tidak menuduh tanpa dasar.


Fitnah di Era Modern dan Media Sosial

Di masa kini, fitnah bukan lagi hanya lewat lisan, tetapi juga melalui tulisan, media, dan internet. Satu pesan di media sosial bisa menyebar ke jutaan orang dalam hitungan detik. Setiap kali seseorang menekan “share” tanpa memeriksa kebenarannya, ia bisa ikut menanggung dosa penyebaran fitnah.

Rasulullah ﷺ telah memperingatkan dalam hadis sahih:

“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta ketika ia menceritakan setiap apa yang ia dengar.”
(HR. Muslim)

Artinya, menyebarkan berita tanpa memverifikasi sudah termasuk kedustaan, walau tidak sengaja. Maka betapa besar tanggung jawab di era digital ini, ketika setiap orang bisa menjadi “penyiar berita”.


Akibat di Hari Kiamat: Amal Habis Karena Fitnah

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”
Para sahabat menjawab, “Orang yang tidak memiliki harta dan kekayaan.”
Nabi ﷺ bersabda,
“Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala salat, zakat, dan puasa, tetapi ia telah mencaci, menuduh, menzalimi, dan memfitnah orang lain. Maka semua amal kebaikannya diberikan kepada mereka, dan dosa orang-orang yang ia fitnah akan ditimpakan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke neraka.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa fitnah menghapus seluruh amal ibadah. Seseorang bisa rajin salat dan puasa, tetapi jika lisannya menebar kebohongan dan fitnah, maka semua pahalanya akan berpindah kepada orang yang ia zalimi.


Fitnah dan Munafik: Peringatan Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa umatnya di akhir zaman akan dipenuhi kemunafikan, di mana orang menampilkan keimanan secara lahir tetapi lisannya penuh kebohongan. Mereka rajin beribadah, namun hatinya keras, iri, dan dengki.

Mawlana Syekh Nazim (qs) bahkan menegaskan dalam ceramah-ceramahnya:

“Di depan rumah-rumah di Eropa tertulis ‘Awas Ada Anjing!’ — tetapi di zaman sekarang, seharusnya tertulis ‘Awas Ada Setan!’ dan ‘Awas Orang-Orang Munafik!’ karena begitu banyak manusia yang tampak saleh namun lisannya tajam seperti setan.”

Fitnah, dalam bentuk apapun, adalah senjata iblis untuk memecah belah umat. Ia memanfaatkan nafsu, iri hati, dan kebencian agar manusia saling menghancurkan.


Menjaga Lisan dan Hati dari Fitnah

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Diam adalah ibadah besar ketika ucapan kita bisa menimbulkan kerusakan. Karena itu, para sahabat berhati-hati bahkan terhadap gurauan. Mereka paham bahwa satu kalimat bisa menjerumuskan ke neraka.

Sayyidina Umar bin Khattab ra berkata:

“Orang yang paling banyak bicara, paling banyak salahnya; yang paling banyak salah, paling banyak dosanya; dan yang paling banyak dosanya, maka neraka lebih pantas baginya.”


Doa dan Penutup

Fitnah adalah ujian besar bagi umat Islam, dan hanya dengan kejujuran, kesabaran, dan tabayyun kita bisa selamat darinya. Maka hendaklah setiap mukmin menjaga lisan, pikiran, dan jarinya (di media sosial) agar tidak ikut menebar keburukan.

Semoga Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā melindungi kita semua dari fitnah, dari sifat munafik, dan dari godaan syaitan yang selalu menyalakan api kebencian di antara manusia.

Semoga Allah mengampuni mereka yang telah terlanjur menuduh tanpa bukti, dan memberi kesempatan untuk bertaubat sebelum ajal tiba. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan yang jujur dalam perkataan dan perbuatan, yang tidak memakan daging saudara sendiri melalui gibah dan fitnah.

Wa minallāhi at-tawfīq.
Segala petunjuk datang hanya dari Allah, dan kepada-Nya kita memohon ampunan dan pertolongan.

10 Perilaku istri durhaka terhadap suami

Di bawah ini adalah 10 perilaku yang harus dihindari oleh para istri, agar tidak menjadi golongan istri durhaka kepada suami, diantaranya adalah:
1. Menuntut keluarga yang ideal dan sempurna
Sebelum menikah, seorang wanita membayangkan pernikahan yang begitu indah, kehidupan yang sangat romantis sebagaimana ia baca dalam novel maupun ia saksikan dalam sinetron-sinetron.
Ia memiliki gambaran yang sangat ideal dari sebuah pernikahan. Kelelahan yang sangat, cape, masalah keuangan, dan segudang problematika di dalam sebuah keluarga luput dari gambaran nya.
Ia hanya membayangkan yang indah-indah dan enak-enak dalam sebuah perkawinan.
Akhirnya, ketika ia harus menghadapi semua itu, ia tidak siap. Ia kurang bisa menerima keadaan, hal ini terjadi berlarut-larut, ia selalu saja menuntut suaminya agar keluarga yang mereka bina sesuai dengan gambaran ideal yang senantiasa ia impikan sejak muda.
Seorang wanita yang hendak menikah, alangkah baiknya jika ia melihat lembaga perkawinan dengan pemahaman yang utuh, tidak sepotong-potong, romantika keluarga beserta problematika yang ada di dalamnya.
2. Nusyus (tidak taat kepada suami)
Nusyus adalah sikap membangkang, tidak patuh dan tidak taat kepada suami. Wanita yang melakukan nusyus adalah wanita yang melawan suami, melanggar perintahnya, tidak taat kepadanya, dan tidak ridha pada kedudukan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan untuknya.
Nusyus memiliki beberapa bentuk, diantaranya adalah:
  • Menolak ajakan suami ketika mengajaknya ke tempat tidur, dengan terang-terangan maupun secara samar.
  • Mengkhianati suami, misalnya dengan menjalin hubungan gelap dengan pria lain.
  • Memasukkan seseorang yang tidak disenangi suami ke dalam rumah
  • Lalai dalam melayani suami
  • Mubazir dan menghambur-hamburkan uang pada yang bukan tempatnya
  • Menyakiti suami dengan tutur kata yang buruk, mencela, dan mengejeknya
  • Keluar rumah tanpa izin suami
  • Menyebarkan dan mencela rahasia-rahasia suami.
Seorang istri shalihah akan senantiasa menempatkan ketaatan kepada suami di atas segala-galanya. Tentu saja bukan ketaatan dalam kedurhakaan kepada Allah, karena tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia akan taat kapan pun, dalam situasi apapun, senang maupun susah, lapang maupun sempit, suka ataupun duka. Ketaatan istri seperti ini sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan cinta dan memelihara kesetiaan suami.
3. Tidak menyukai keluarga suami
Terkadang seorang istri menginginkan agar seluruh perhatian dan kasih sayang sang suami hanya tercurah pada dirinya. Tak boleh sedikit pun waktu dan perhatian diberikan kepada selainnya. Termasuk juga kepada orang tua suami. Padahal, di satu sisi, suami harus berbakti dan memuliakan orang tuanya, terlebih ibunya.
Salah satu bentuknya adalah cemburu terhadap ibu mertuanya. Ia menganggap ibu mertua sebagai pesaing utama dalam mendapatkan cinta, perhatian, dan kasih sayang suami. Terkadang, sebagian istri berani menghina dan melecehkan orang tua suami, bahkan ia tak jarang berusaha merayu suami untuk berbuat durhaka kepada orang tuanya. Terkadang istri sengaja mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang tua dan keluarga suami, atau membesar-besarkan suatu masalah, bahkan tak segan untuk memfitnah keluarga suami.
Ada juga seorang istri yang menuntut suaminya agar lebih menyukai keluarga istri, ia berusaha menjauhkan suami dari keluarganya dengan berbagai cara.
Ikatan pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan dalam sebuah lembaga pernikahan, namun juga ‘pernikahan antar keluarga’. Kedua orang tua suami adalah orang tua istri, keluarga suami adalah keluarga istri, demikian sebaliknya. Menjalin hubungan baik dengan keluarga suami merupakan salah satu keharmonisan keluarga. Suami akan merasa tenang dan bahagia jika istrinya mampu memposisikan dirinya dalam kelurga suami. Hal ini akan menambah cinta dan kasih sayang suami.
4. Tidak menjaga penampilan
Terkadang, seorang istri berhias, berdandan, dan mengenakan pakaian yang indah hanya ketika ia keluar rumah, ketika hendak bepergian, menghadiri undangan, ke kantor, mengunjungi saudara maupun teman-temannya, pergi ke tempat perbelanjaan, atau ketika ada acara lainnya di luar rumah. Keadaan ini sungguh berbalik ketika ia di depan suaminya. Ia tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor, cukup hanya mengenakan pakaian seadanya: terkadang kotor, lusuh, dan berbau, rambutnya kusut masai, ia juga hanya mencukupkan dengan aroma dapur yang menyengat.
Jika keadaan ini terus menerus dipelihara oleh istri, jangan heran jika suami tidak betah di rumah, ia lebih suka menghabiskan waktunya di luar ketimbang di rumah. Semestinya, berhiasnya dia lebih ditujukan kepada suami Janganlah keindahan yang telah dianugerahkan oleh Allah diberikan kepada orang lain, padahal suami nya di rumah lebih berhak untuk itu.
5. Kurang berterima kasih
Tidak jarang, seorang suami tidak mampu memenuhi keinginan sang istri. Apa yang diberikan suami jauh dari apa yang ia harapkan. Ia tidak puas dengan apa yang diberikan suami, meskipun suaminya sudah berusaha secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan keinginan-keinginan istrinya.
Istri kurang bahkan tidak memiliki rasa terima kasih kepada suaminya. Ia tidak bersyukur atas karunia Allah yang diberikan kepadanya lewat suaminya. Ia senantiasa merasa sempit dan kekurangan. Sifat qona’ah dan ridho terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya sangat jauh dari dirinya.
Seorang istri yang shalihah tentunya mampu memahami keterbatasan kemampuan suami. Ia tidak akan membebani suami dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan suami. Ia akan berterima kasih dan mensyukuri apa yang telah diberikan suami. Ia bersyukur atas nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya, dengan bersyukur, insya Allah, nikmat Allah akan bertambah.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.”
6. Mengingkari kebaikan suami
“Wanita merupakan mayoritas penduduk neraka.” Demikian disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah shalat gerhana ketika terjadi gerhana matahari.
Ajaib!! wanita sangat dimuliakan di mata Islam, bahkan seorang ibu memperoleh hak untuk dihormati tiga kali lebih besar ketimbang ayah. Sosok yang dimuliakan, namun malah menjadi penghuni mayoritas neraka. Bagaimana ini terjadi?
“Karena kekufuran mereka,” jawab Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam ketika para sabahat bertanya mengapa hal itu bisa terjadi. Apakah mereka mengingkari Allah?
Bukan, mereka tidak mengingkari Allah, tapi mereka mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah diperbuat suaminya. Andaikata seorang suami berbuat kebaikan sepanjang masa, kemudian seorang istri melihat sesuatu yang tidak disenanginya dari seorang suami, maka si istri akan mengatakan bahwa ia tidak melihat kebaikan sedikitpun dari suaminya. Demikian penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari (5197).
Mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan suami!!
Inilah penyebab banyaknya kaum wanita berada di dalam neraka. Mari kita lihat diri setiap kita, kita saling introspeksi, apa dan bagaimana yang telah kita lakukan kepada suami-suami kita?
Jika kita terbebas dari yang demikian, alhamdulillah. Itulah yang kita harapkan. Berita gembira untukmu wahai saudariku.
Namun jika tidak, kita (sering) mengingkari suami, mengingkari kebaikan-kebaikannya,  maka berhati-hatilah dengan apa yang telah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bertobat,  satu-satunya pilihan utuk terhindar dari pedihnya siksa neraka. Selama matahari belum terbit dari barat, atau nafas telah ada di kerongkongan,  masih ada waktu untuk bertobat. Tapi mengapa mesti nanti? Mengapa mesti menunggu sakaratul maut?
Janganlah engkau katakan besok dan besok wahai saudariku; kejarlah ajalmu,  bukankah engkau tidak tahu kapan engkau akan menemui Robb mu?
“Tidaklah seorang isteri yang menyakiti suaminya di dunia, melainkan isterinya (di akhirat kelak): bidadari yang menjadi pasangan suaminya (berkata): “Jangan engkau menyakitinya, kelak kamu dimurkai Allah, seorang suami begimu hanyalah seorang tamu yang bisa segera berpisah dengan kamu menuju kami.” (HR. At Tirmidzi, hasan)
Wahai saudariku, mari kita lihat, apa yang telah kita lakukan selama ini , jangan pernah bosan dan henti untuk introspeksi diri,  jangan sampai apa yang kita lakukan tanpa kita sadari membawa kita kepada neraka, yang kedahsyatannya tentu sudah Engkau ketahui.
Jika suatu saat, muncul sesuatu yang tidak kita sukai dari suami; janganlah kita mengingkari dan melupakan semua kebaikan yang telah suami kita lakukan.
“Maka lihatlah kedudukanmu di sisinya. Sesungguhnya suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR.Ahmad)
7. Mengungkit-ungkit kebaikan
Setiap orang tentunya memiliki kebaikan, tak terkecuali seorang istri. Yang jadi masalah adalah jika seorang istri menyebut kebaikan-kebaikannya di depan suami dalam rangka mengungkit-ungkit kebaikannya semata.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” [Al Baqarah: 264]
Abu Dzar radhiyallahu’Anhu meriwayatkan, bahwasanya Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga kelompok manusia dimana Allah tidak akan berbicara dan tak akan memandang mereka pada hari kiamat. Dia tidak mensucikan mereka dan untuk mereka adzab yang pedih.”
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya sebanyak tiga kali.” Lalu Abu Dzar bertanya, “Siapakah mereka yang rugi itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang menjulurkan kain sarungnya ke bawah mata kaki (isbal), orang yang suka mengungkit-ungkit kebaikannya dan orang yang suka bersumpah palsu ketika menjual. ” [HR. Muslim]
8. Sibuk di luar rumah
Seorang istri terkadang memiliki banyak kesibukan di luar rumah. Kesibukan ini tidak ada salahnya, asalkan mendapat izin suami dan tidak sampai mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya.
Jangan sampai aktivitas tersebut melalaikan tanggung jawab nya sebagai seorang istri. Jangan sampai amanah yang sudah dipikulnya terabaikan.
Ketika suami pulang dari mencari nafkah, ia mendapati rumah belum beres, cucian masih menumpuk, hidangan belum siap, anak-anak belum mandi, dan lain sebagainya. Jika hni terjadi terus menerus, bisa jadi suami tidak betah di rumah, ia lebih suka menghabiskan waktunya di luar atau di kantor.
9. Cemburu buta
Cemburu merupakan tabiat wanita, ia merupakan suatu ekspresi cinta. Dalam batas-batas tertentu, dapat dikatakan wajar bila seorang istri merasa cemburu dan memendam rasa curiga kepada suami yang jarang berada di rumah. Namun jika rasa cemburu ini berlebihan, melampaui batas, tidak mendasar, dan hanya berasal dari praduga; maka rasa cemburu ini dapat berubah menjadi cemburu yang tercela.
Cemburu yang disyariatkan adalah cemburunya istri terhadap suami karena kemaksiatan yang dilakukannya, misalnya: berzina, mengurangi hak-hak nya, menzhaliminya, atau lebih mendahulukan istri lain ketimbang dirinya. Jika terdapat tanda-tanda yang membenarkan hal ini, maka ini adalah cemburu yang terpuji. Jika hanya dugaan belaka tanpa fakta dan bukti, maka ini adalah cemburu yang tercela.
Jika kecurigaan istri berlebihan, tidak berdasar pada fakta dan bukti, cemburu buta, hal ini tentunya akan mengundang kekesalan dan kejengkelan suami. Ia tidak akan pernah merasa nyaman ketika ada di rumah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, kejengkelannya akan dilampiaskan dengan cara melakukan apa yang disangkakan istri kepada dirinya.
10. Kurang menjaga perasaan suami
Kepekaan suami maupun istri terhadap perasaan pasangannya sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik, kesalahpahaman, dan ketersinggungan. Seorang istri hendaknya senantiasa berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatannya agar tidak menyakiti perasaan suami, ia mampu menjaga lisannya dari kebiasaan mencaci, berkata keras, dan mengkritik dengan cara memojokkan. Istri selalu berusaha untuk menampakkan wajah yang ramah, menyenangkan, tidak bermuka masam, dan menyejukkan ketika dipandang suaminya.
Demikian beberapa perbuatan yang harus dihindari oleh para istri, yang sudah berjanji menerima suaminya dihadapan Allah SWT ketika didepan penghulu, untuk bisa menerima apa adanya keadaan suaminya. Semoga dengan membaca artikel ini kita dapat menyadarinya betapa perbuatan-perbuatan di atas sangat rusak sekali, dengan menghindari perbuatan-perbuatan tersebut, maka akan menimbulkan akibat keluarga yang Sakinah, Mawadah dan Warohmah. Bisa berkumpul di SurgaNya Allah bersama suami. Menjadi suami istri sampai Surga.
Amiin Yaa Robbal’alamiin…
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy- Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)
 Sumber

Pembahasan Hadits Tentang Kafa’ah dan Hubungannya dengan Ahlul Bait

  Bagian 1: Konsep Kafa’ah dalam Islam 1.1. Definisi Kafa’ah Kafa’ah berasal dari bahasa Arab كفاية (kifāyah) yang berarti “kesetaraan”, ...