Fitnah dan Larangan Menyebarkan Berita Bohong Menurut Al-Qur’an dan Hadis
A‘ūdzu billāhi mina’sy-syayṭāni’r-rajīm.
Bismillāhi’r-Raḥmāni’r-Raḥīm.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(QS. Al-Ḥujurāt [49]: 6)
Makna dan Tafsir QS. Al-Ḥujurāt: 6
Ayat ini adalah salah satu pedoman terpenting dalam kehidupan sosial umat Islam. Allah Ta‘ala memperingatkan agar kaum beriman tidak tergesa-gesa menerima setiap kabar yang datang, apalagi dari orang fasik, yaitu orang yang tidak jujur, suka melanggar syariat, atau memiliki kebiasaan menipu dan berdusta.
Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini turun ketika Rasulullah ﷺ mengutus al-Walīd bin ‘Uqbah untuk mengumpulkan zakat dari Bani al-Muṣṭaliq. Ketika sampai di sana, al-Walīd takut karena trauma masa lalu dan kembali ke Madinah dengan membawa kabar palsu bahwa mereka menolak zakat dan ingin membunuhnya. Akibatnya hampir saja terjadi peperangan, sebelum Allah menurunkan ayat ini sebagai peringatan agar setiap berita harus diverifikasi (tabayyun).
Makna “fatabayyanu” (فَتَبَيَّنُوا) adalah periksalah secara mendalam, jangan langsung percaya. Dalam riwayat lain digunakan lafaz “fataṡabbatu” (فتثبتوا) — yang berarti teguhkan dan pastikan kebenarannya. Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan verifikasi berita jauh sebelum lahirnya konsep “fact-checking” modern.
Fitnah dan Bahayanya dalam Islam
Kata fitnah dalam bahasa Arab memiliki banyak makna: ujian, cobaan, godaan, bahkan bisa berarti kebohongan yang menimbulkan kerusakan sosial. Dalam konteks artikel ini, fitnah berarti menyebarkan berita dusta atau tuduhan palsu terhadap seseorang atau kelompok.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Fitnah itu sedang tidur, maka laknat Allah bagi siapa yang membangunkannya.”
(HR. Ad-Dailamī)
Hadis ini menggambarkan bahwa fitnah ibarat api yang tertidur, dan siapa pun yang membangunkannya akan menanggung akibatnya. Fitnah bukan hanya sekadar ucapan, tetapi bisa menghancurkan reputasi, keluarga, bahkan negara.
Larangan Memata-matai dan Menggunjing
Allah berfirman dalam lanjutan surat yang sama:
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Janganlah kamu memata-matai dan jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Ḥujurāt [49]: 12)
Ayat ini menggambarkan betapa menjijikkannya gibah (menggunjing) dengan perumpamaan memakan daging bangkai saudara sendiri. Gambaran itu sangat keras agar manusia menyadari bahwa gibah bukan hal sepele, tetapi kejahatan moral dan sosial yang dapat menghapus amal ibadah.
Dosa Fitnah Lebih Besar dari Dosa Besar
Dalam banyak penjelasan ulama, fitnah disebut sebagai “ashaddu minal qatli”, yaitu lebih kejam daripada pembunuhan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 191:
“Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.”
Mengapa fitnah dianggap lebih berat? Karena pembunuhan hanya menimpa satu tubuh, tetapi fitnah membunuh kehormatan, reputasi, dan kedamaian banyak jiwa. Fitnah bisa memecah belah umat, menimbulkan permusuhan yang bertahun-tahun, bahkan menumpahkan darah karena kesalahpahaman.
Oleh sebab itu, Allah menutup pintu ampun bagi orang yang terus-menerus menebar fitnah tanpa taubat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba dan menyebar fitnah (HR. Muslim).
Syafa’at Tidak Diberikan untuk Pembuat Fitnah
Nabi ﷺ bersabda:
“Syafa’atku diperuntukkan bagi umatku yang melakukan dosa besar.”
(HR. Tirmidzi)
Namun, sebagaimana dijelaskan dalam teks utama, orang yang membuat fitnah tidak termasuk penerima syafa’at ini. Sebab fitnah bukan sekadar dosa pribadi, tetapi dosa sosial yang menghancurkan banyak orang. Fitnah seperti virus yang menyebar luas, dan pembuatnya menjadi sumber kerusakan.
Seseorang yang menebar fitnah sejatinya meniru perilaku Iblis, yang menolak kebenaran dan menyesatkan manusia melalui bisikan-bisikan kebohongan. Maka wajar jika para pembuat fitnah dikutuk sebagaimana Iblis dikutuk.
Fitnah yang Tertidur: Peringatan Rasulullah ﷺ
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Fitnah itu tertidur, dan Allah melaknat siapa pun yang membangunkannya.”
Hadis ini mengandung hikmah mendalam. Fitnah seringkali “tidur” di hati manusia — dalam bentuk kebencian, iri hati, atau hasad. Ketika seseorang membangunkannya melalui ucapan, media sosial, atau gosip, maka ia telah membuka pintu laknat Allah.
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra berkata:
“Tahanlah lidahmu, karena tidak ada yang menyesal selain karena lisannya.”
Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra bahkan meletakkan batu di mulutnya agar tidak mudah berbicara. Karena beliau tahu, setiap kata bisa menjadi sumber dosa besar jika tidak dijaga.
Akibat Sosial dari Fitnah
Fitnah adalah akar dari perpecahan. Pertengkaran, kebencian, bahkan peperangan, sering dimulai dari berita palsu atau gosip yang tidak diverifikasi. Rasulullah ﷺ menggambarkan bahwa tanda-tanda orang munafik adalah:
-
Jika berbicara, ia berdusta.
-
Jika diberi amanah, ia khianat.
-
Jika berjanji, ia mengingkari.
(HR. Bukhari & Muslim)
Fitnah mencakup ketiganya: dusta, pengkhianatan, dan pelanggaran janji terhadap amanah sosial. Maka orang yang gemar menebar fitnah adalah bagian dari sifat kemunafikan.
Fitnah Terhadap Aisyah r.a.: Pelajaran Besar Umat Islam
Contoh paling terkenal dalam sejarah Islam adalah peristiwa “Hadīṡul Ifk”, yaitu fitnah terhadap Sayyidah ‘Aisyah r.a., istri Rasulullah ﷺ. Kaum munafik menuduh beliau berselingkuh dengan sahabat Shafwan bin al-Mu‘aṭṭal. Fitnah itu membuat sebagian kaum muslimin ragu, bahkan Nabi ﷺ sendiri menunggu wahyu untuk membenarkan keadaan.
Setelah sebulan penuh, Allah menurunkan ayat dalam QS. An-Nur [24]: 11–16 yang menegaskan bahwa Aisyah r.a. bersih dari tuduhan dan bahwa orang-orang yang memfitnah akan mendapat azab besar. Ayat tersebut berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah golongan dari kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan itu baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya; dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam menyebarkan berita bohong itu baginya azab yang besar.”
(QS. An-Nur [24]: 11)
Kisah ini menjadi peringatan abadi agar umat Islam tidak mengulang kesalahan itu: tidak menyebarkan kabar tanpa bukti dan tidak menuduh tanpa dasar.
Fitnah di Era Modern dan Media Sosial
Di masa kini, fitnah bukan lagi hanya lewat lisan, tetapi juga melalui tulisan, media, dan internet. Satu pesan di media sosial bisa menyebar ke jutaan orang dalam hitungan detik. Setiap kali seseorang menekan “share” tanpa memeriksa kebenarannya, ia bisa ikut menanggung dosa penyebaran fitnah.
Rasulullah ﷺ telah memperingatkan dalam hadis sahih:
“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta ketika ia menceritakan setiap apa yang ia dengar.”
(HR. Muslim)
Artinya, menyebarkan berita tanpa memverifikasi sudah termasuk kedustaan, walau tidak sengaja. Maka betapa besar tanggung jawab di era digital ini, ketika setiap orang bisa menjadi “penyiar berita”.
Akibat di Hari Kiamat: Amal Habis Karena Fitnah
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”
Para sahabat menjawab, “Orang yang tidak memiliki harta dan kekayaan.”
Nabi ﷺ bersabda,
“Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala salat, zakat, dan puasa, tetapi ia telah mencaci, menuduh, menzalimi, dan memfitnah orang lain. Maka semua amal kebaikannya diberikan kepada mereka, dan dosa orang-orang yang ia fitnah akan ditimpakan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke neraka.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa fitnah menghapus seluruh amal ibadah. Seseorang bisa rajin salat dan puasa, tetapi jika lisannya menebar kebohongan dan fitnah, maka semua pahalanya akan berpindah kepada orang yang ia zalimi.
Fitnah dan Munafik: Peringatan Rasulullah ﷺ
Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa umatnya di akhir zaman akan dipenuhi kemunafikan, di mana orang menampilkan keimanan secara lahir tetapi lisannya penuh kebohongan. Mereka rajin beribadah, namun hatinya keras, iri, dan dengki.
Mawlana Syekh Nazim (qs) bahkan menegaskan dalam ceramah-ceramahnya:
“Di depan rumah-rumah di Eropa tertulis ‘Awas Ada Anjing!’ — tetapi di zaman sekarang, seharusnya tertulis ‘Awas Ada Setan!’ dan ‘Awas Orang-Orang Munafik!’ karena begitu banyak manusia yang tampak saleh namun lisannya tajam seperti setan.”
Fitnah, dalam bentuk apapun, adalah senjata iblis untuk memecah belah umat. Ia memanfaatkan nafsu, iri hati, dan kebencian agar manusia saling menghancurkan.
Menjaga Lisan dan Hati dari Fitnah
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Diam adalah ibadah besar ketika ucapan kita bisa menimbulkan kerusakan. Karena itu, para sahabat berhati-hati bahkan terhadap gurauan. Mereka paham bahwa satu kalimat bisa menjerumuskan ke neraka.
Sayyidina Umar bin Khattab ra berkata:
“Orang yang paling banyak bicara, paling banyak salahnya; yang paling banyak salah, paling banyak dosanya; dan yang paling banyak dosanya, maka neraka lebih pantas baginya.”
Doa dan Penutup
Fitnah adalah ujian besar bagi umat Islam, dan hanya dengan kejujuran, kesabaran, dan tabayyun kita bisa selamat darinya. Maka hendaklah setiap mukmin menjaga lisan, pikiran, dan jarinya (di media sosial) agar tidak ikut menebar keburukan.
Semoga Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā melindungi kita semua dari fitnah, dari sifat munafik, dan dari godaan syaitan yang selalu menyalakan api kebencian di antara manusia.
Semoga Allah mengampuni mereka yang telah terlanjur menuduh tanpa bukti, dan memberi kesempatan untuk bertaubat sebelum ajal tiba. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan yang jujur dalam perkataan dan perbuatan, yang tidak memakan daging saudara sendiri melalui gibah dan fitnah.
Wa minallāhi at-tawfīq.
Segala petunjuk datang hanya dari Allah, dan kepada-Nya kita memohon ampunan dan pertolongan.