Kebohongan Sejarah Maulid Nabi
Benarkah Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar dan Shalahuddin Al Ayudi mendukung peringatan maulid Nabi?
Sebagian orang selalu mencari-cari dalil untuk membenarkan amalan tanpa tuntunan yang ia lakukan. Di antara cara yang dilakukan adalah menjadikan perkataan ulama Ahlus Sunnah sebagai argumen untuk mendukung bid’ah mereka. Inilah yang terjadi dalam perayaan Maulid Nabi. Di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, disalahpahami oleh sebagian kalangan sehingga beliau pun disangka mendukung perayaan Maulid. Begitu pula ada perkataan lain dari Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengenai hal ini. Ibnu Hajar adalah di antara ulama yang memiliki ketergelinciran dalam masalah Maulid. Nantinya kami juga akan membahas syubhat (kerancuan) lainnya yang sengaja disuarakan oleh para simpatisan Maulid seperti pemutarbalikkan sejarah Maulid yang disangka dipelopori oleh Shalahuddin Al Ayubi. Semoga Allah memudahkan untuk mengungkap yang benar dan yang batil. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, mudahkan dan tolonglah).
Kerancuan Pertama: Salah Paham dengan Perkataan Ibnu Taimiyah
Di salah satu website yang kami telusuri, ada perkataan Syaikhul Islam sebagai berikut, “Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SAW.”
Perkataan beliau inilah yang menjadi dasar sebagian kalangan yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung Maulid. [1]
Kalimat selengkapnya terdapat dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqimsebagai berikut.
فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعيظمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد ولهذا قيل للامام أحمد عن بعض الأمراء إنه أنفق على مصحف ألف دينار ونحو ذلك فقال دعه فهذا أفضل ما أنفق فيه الذهب أو كما قال مع أن مذهبه أن زخرفة المصاحف مكروهة وقد تأول بعض الأصحاب أنه أنفقها في تجديد الورق والخط وليس مقصود أحمد هذا وإنما قصده أن هذا العمل فيه مصلحة وفيه أيضا مفسدة كره لأجلها فهؤلاء إن لم يفعلوا هذا وإلا اعتاضوا الفساد الذي لا صلاح فيه مثل أن ينفقها في كتاب من كتب الفجور ككتب الأسماء أوالأشعار أو حكمة فارس والروم
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara tahunan, hal ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik.
Oleh karena itu, diceritakan kepada imam Ahmad mengenai beberapa pemimpin (umaro’) bahwasanya mereka menginfaqkan 1000 dinar untuk pencetakan Mushaf. Maka beliau berkata, “Biarkan mereka melakukan itu, itulah infaq terbaik yang dapat mereka lakukan dengan emas” atau sebagaimana yang Imam Ahmad katakan. Padahal menurut madzhab Imam Ahmad, makruh hukumnya memperindah mushaf. Namun sebagian pengikut Imam Ahmad menafsirkan maksud Imam Ahmad adalah beliau memakruhkan memperbaharui kertas dan khothnya. Namun sebenarnya maksud Imam Ahmad bukanlah seperti yang ditafsirkan ini. Imam Ahmad memaksudkan bahwa memperindah mushaf ini ada mashlahat (manfaat) di satu sisi dan ada pula mafsadatnya (bahayanya). Inilah yang beliau makruhkan.
Namun perlu diketahui bahwa jika mereka (para umara’) tidak melakukan hal ini (yaitu memperindah mushaf), tentu mereka akan melakukan hal-hal lain yang tidak berfaedah. Misalnya para umara’ tersebut malah menyalurkan infaq mereka untuk mencetak buku-buku tidak bermoral: buku cerita yang hanya menghabiskan waktu, buku sya’ir (yang sia-sia belaka) dan buku filsafat dari Persia dan Romawi.”[2] Demikian perkataan beliau rahimahullah.
Jika seseorang membaca teks di atas secara utuh, insya Allah dia tidak memiliki pemahaman yang keliru. Lihat baik-baik perkataan beliau di atas: ”Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik”. Dari perkataan beliau ini menunjukkan bahwa perayaan Maulid tidak dianggap baik oleh orang-orang yang mendapat taufik. Jika ada yang menganggap amalan Maulid itu baik, maka dia adalah orang yang keliru. Maka ini menunjukkan bahwa Maulid bukanlah amalan yang baik.
Coba kita lihat kembali perkataan Syaikhul Islam lainnya dalam kitab yang sama (Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim) agar kita tidak salah keliru dengan perkataan beliau di atas. Dalam beberapa lembaran sebelumnya, Syaikhul Islam mengatakan,
وكذلك ما يحدثه بعض الناس إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام وإما محبة للنبي صلى الله عليه و سلم وتعظيما له والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه و سلم عيدا مع اختلاف الناس في مولده فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضى له وعدم المانع منه ولو كان هذا خيرا محضا أو راجحا لكان السلف رضي الله عنهم أحق به منا فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه و سلم وتعظيما له منا وهم على الخير أحرص وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته واتباع أمره وإحياء سنته باطنا وظاهرا ونشر ما بعث به والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان فإن هذه هي طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسا
“Begitu pula halnya dengan kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang. Boleh jadi perbuatan mereka menyerupai tingkah laku Nashrani sebagaimana Nashrani pun memperingati kelahiran (milad) ‘Isa ‘alaihis salam. Boleh jadi maksud mereka adalah mencintai dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka dikarenakan kecintaan dan kesungguhan mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang mereka ada-adakan sebagai perayaan. Padahal perlu diketahui bahwa para ulama telah berselisih pendapat mengenai tanggal kelahiran beliau. Apalagi merayakan maulid sama sekali tidak pernah dilakukan oleh para salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Padahal ada faktor pendorong (untuk memuliakan nabi) dan tidak ada faktor penghalang di kala itu. Seandainya merayakan maulid terdapat maslahat murni atau maslahat yang lebih besar, maka para salaf tentu lebih pantas melakukannya daripada kita. Karena sudah kita ketahui bahwa mereka adalah orang yang paling mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita. Mereka juga tentu lebih semangat dalam kebaikan dibandingkan kita. Dan perlu dipahami pula bahwa cinta dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna adalah dengan ittiba’ (mengikuti) dan mentaati beliau yaitu dengan mengikuti setiap perintah, menghidupkan ajaran beliau secara lahir dan batin, menyebarkan ajaran beliau dan berjuang (berjihad) untuk itu semua dengan hati, tangan dan lisan. Inilah jalan hidup para generasi utama dari umat ini, yaitu kalangan Muhajirin, Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.”[3]
Kami rasa sudah jelas jika kita memperhatikan penjelasan beliau yang kedua ini. Jelas sekali beliau menyatakan perayaan Maulid itu tidak ada salafnya (pendahulunya) artinya amalan yang tidak ada tuntunannya, bahkan merayakan Maulid sama halnya dengan Natal yang dirayakan oleh Nashrani. Lantas dengan penjelasan beliau ini apakah masih menuduh beliau rahimahullah mendukung maulid?!
Mohon jangan menukil perkataan beliau sebagian saja, cobalah pahami perkataan beliau secara utuh di halaman-halaman lainnya dalam kitab Iqtidho’. Simak baik-baik perkataan beliau di atas: “Boleh jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka dikarenakan kecintaan dan kesungguhan mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang mereka ada-adakan sebagai perayaan.” Dari sini, beliau menggolongkan maulid sebagai bid’ah karena memang tidak pernah diadakan oleh para salaf dahulu (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Namun perayaan ini dihidupkan dan diada-adakan olehDinasti ‘Ubaidiyyun[4]. Dan ingat, beliau katakan bahwa mudah-mudahan mereka mendapat pahala karena mengangungkan dan mencintai beliau, namun bukan pada acara bid’ah maulid yang mereka ada-adakan. Mohon pahami baik-baik perkataan beliau ini. Semoga Allah beri kepahaman.
Lebih tegas lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan mengenai Maulid Nabi dapat dilihat dalam Majmu’ Al Fatawa sebagai berikut.
وَأَمَّا اتِّخَاذُ مَوْسِمٍ غَيْرِ الْمَوَاسِمِ الشَّرْعِيَّةِ كَبَعْضِ لَيَالِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ الَّتِي يُقَالُ : إنَّهَا لَيْلَةُ الْمَوْلِدِ أَوْ بَعْضِ لَيَالِيِ رَجَبٍ أَوْ ثَامِنَ عَشَرَ ذِي الْحِجَّةِ أَوْ أَوَّلِ جُمْعَةٍ مِنْ رَجَبٍ أَوْ ثَامِنِ شَوَّالٍ الَّذِي يُسَمِّيهِ الْجُهَّالُ عِيدَ الْأَبْرَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الَّتِي لَمْ يَسْتَحِبَّهَا السَّلَفُ وَلَمْ يَفْعَلُوهَا وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ .
“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ‘Idul Abror (lebaran ketupat)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.”[5]
Renungkan perkataan beliau baik-baik. Apakah bisa dipahami dari perkataan terakhir ini bahwa beliau mendukung Maulid? Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita sekalian agar bisa membedakan mana yang benar dan mana yang keliru.
Kerancuan Kedua: Ibnu Hajar Al ‘AsqolaniMembolehkan Maulid Nabi
Perkataan berikut kami nukil dari kitab Al Hawiy yang ditulis oleh Imam As Suyuthi.[6]
وقد سئل شيخ الإسلام حافظ العصر أبو الفضل بن حجر عن عمل المولد فأجاب بما نصه: أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا قال وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم فقالوا هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما من به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع نقمة ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة والشكر لله يحصل بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم وعلى هذا فينبغي أن يتحرى اليوم بعينه حتى يطابق قصة موسى في يوم عاشوراء ومن لم يلاحظ ذلك لا يبالي بعمل المولد في أي يوم من الشهر بل توسع قوم فنقلوه إلى يوم من السنة وفيه ما فيه – فهذا ما يتعلق بأصل عمله، وأما ما يعمل فيه فينبغي أن يقتصر فيه على ما يفهم الشكر لله تعالى من نحو ما تقدم ذكره من التلاوة والإطعام والصدقة وإنشاد شيء من المدائح النبوية والزهدية المحركة للقلوب إلى فعل الخير والعمل للآخرة وأما ما يتبع ذلك من السماع واللهو وغير ذلك فينبغي أن يقال ما كان من ذلك مباحا بحيث يقتضي السرور بذلك اليوم لا بأس بإلحاقه به وما كان حراما أو مكروها فيمنع وكذا ما كان خلاف الأولى
Syaikhul Islam Hafizh di masa ini, Abul Fadhl Ibnu Hajar ditanya mengenai amalan Maulid, beliau pun menjawab dengan redaksi sebagai berikut:
“Asal melakukan maulid adalah bid’ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan buid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdatang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, “Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua.” Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur’an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka bumi ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur’an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rasulullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu. Kalau perkara yang dilakukan ketika itu mubah maka hukum merayakannya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya”.[7]
Sanggahan untuk kerancuan di atas:
Pertama: Yang harus dipahami dari setiap perkataan ulama bahwa mereka tidaklah ma’shum, artinya mereka tidaklah luput dari kesalahan dan ketergelinciran. Oleh karenanya, seharusnya yang jadi pegangan adalah dalil. Janganlah bersikap mengambil pendapat mereka yang ganjil berdasarkan selera dan hawa nafsu. Jika ketergelinciran dan kekeliruan mereka yang diambil, maka pasti kita pun akan menuai kejelekan.
Sulaiman At Taimi mengatakan,
لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اِجْتَمَعَ فِيْكَ الشَّرُّ كُلُّهُ
“Seandainya engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka pasti akan terkumpul padamu kejelekan.” Setelah mengemukakan perkataan ini, Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, ”Ini adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama, saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini.”
Al Auza’i mengatakan,
مَنْ أَخَذَ بِنَوَادِرِ العُلَمَاءِ خَرَجَ مِنَ الإِسْلاَمِ
“Barangsiapa yang mengambil pendapat yang ganjil dari para ulama, maka ia bisa jadi keluar dari Islam.” Asy Syatibi menyampaikan adanya ijma’ (kesepakatan para ulama) bahwa mencari-cari pendapat yang ganjil dari para ulama tanpa ada pegangan dalil syar’i adalah suatu kefasikan dan hal ini jelas tidak dibolehkan.[8]
Kedua: Ibnu Hajar rahimahullah telah mengatakan di atas: “Asal melakukan maulid adalah bid’ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama”, maka sebenarnya perkataan beliau ini sudah cukup untuk menyatakan tercelanya perayaan Maulid. Cukup sebagai sanggahannya,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut (perayaan maulid) baik, tentu mereka (para sahabat dan tabi’in) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Ketiga: Justru dalil puasa Asyura di atas bisa berbalik pada orang yang pro Maulid. Jika puasa Asyura adalah dalil untuk memperingati Maulid, maka tentu para salaf dahulu akan menjadikannya sebagai dalil. Sudah dipastikan bahwa mereka telah berijma’ (bersepakat) tidak merayakan maulid karena tidak satu pun di antara generasi awal Islam yang merayakannya. Argumen yang dikemukakan oleh Ibnu Hajarrahimahullah sebenarnya telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) para ulama salaf dari sisi pemahaman dan pengamalan. Siapa saja yang menyelisihi ijma’ salaf, berarti ia telah keliru. Karena para salaf tidaklah mungkin bersatu melainkan dalam petunjuk.
Keempat: Menyimpulkan dibolehkannya perayaan Maulid dari puasa Asyura adalah pendalilan yang terlalu memberat-beratkan diri dan pendalilan semacam ini tertolak. Karena ingatlah bahwa Maulid adalah ibadah dan bukan amalan sosial sebagaimana kata sebagian orang. Buktinya adalah yang merayakan maulid ingin merealisasikan cinta Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, namun lewat jalan yang keliru. Dan juga setiap yang merayakannya pasti ingin cari pahala. Bagaimana mungkin ini dikatakan bukan ibadah?! Jika perayaan tersebut adalah ibadah, maka landasannya adalah dalil dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hanya sangkaan baik semata. Jika masih mengklaim bahwa Maulid adalah bid’ah hasanah, maka cukup kami sanggah dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”[9]
Ibnu ‘Umar mengatakan,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.”[10]
Kelima: Ingatlah bahwa mengenai puasa Asyura ada dorongan dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya. Hal ini jauh berbeda dengan perayaan Maulid yang Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mendorong untuk melakukannya.[11]
Kerancuan Ketiga: Shalahuddin Al Ayubi Mempelopori Peringatan Maulid
Di negeri ini lebih terkenal kalau Shalahuddin Al Ayubi adalah pelopor Maulid Nabi dalam rangka menyemangati para pemuda.
Kami merasa aneh kenapa pejuang Sunnah yang anti Rafidhah (Syi’ah) malah diklaim sebagai pemrakarsa perayaan Maulid. Perlu diketahui bahwa Shalahuddin Al Ayubi adalah seorang raja dan panglima Islam. Beliau bahkan yang melenyapkan perayaan Maulid yang sebenarnya diprakarsai oleh Dinasti Fatimiyyun sebagaimana dinyatakan oleh banyak ahli sejarah. Berikut perkataan ahli sejarah mengenai Maulid Nabi.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”[12]
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.
Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun).[13]
Lalu siapakah sebenarnya ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun)?
Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”
Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.”[14]
Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.
Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama, “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”[15]
Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada Fatimah].”[16]
‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani.
Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).”[17]
Bagaimana mungkin Shalahuddin menghidupkan perayaan Maulid sedangkan beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun?! Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullahmengatakan,
صَلَاحِ الدِّينِ الَّذِي فَتَحَ مِصْرَ ؛ فَأَزَالَ عَنْهَا دَعْوَةَ العبيديين مِنْ الْقَرَامِطَةِ الْبَاطِنِيَّةِ وَأَظْهَرَ فِيهَا شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ
“Sholahuddin-lah yang menaklukkan Mesir. Beliau menghapus dakwah ‘Ubaidiyyun yang menganut aliran Qoromithoh Bathiniyyah (aliran yang jelas sesatnya, pen). Shalahuddin-lah yang menghidupkan syari’at Islam di kala itu.”[18]
Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullahmengatakan,
فَتَحَهَا مُلُوكُ السُّنَّة مِثْلُ صَلَاحِ الدِّينِ وَظَهَرَتْ فِيهَا كَلِمَةُ السُّنَّةِ الْمُخَالِفَةُ لِلرَّافِضَةِ ثُمَّ صَارَ الْعِلْمُ وَالسُّنَّةُ يَكْثُرُ بِهَا وَيَظْهَرُ
“Negeri Mesir kemudian ditaklukkan oleh raja yang berpegang teguh dengan Sunnah yaitu Shalahuddin. Beliau yang menampakkan ajaran Nabi yang shahih di kala itu, berseberangan dengan ajaran Rafidhah (Syi’ah). Di masa beliau, akhirnya ilmu dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[19][20] semakin terbesar luas.”
Dari penjelasan ini, sangat mustahil jika kita katakan bahwa Shalahuddin Al Ayubi yang menjadi pelopor perayaan Maulid, padahal beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun. Sungguh, jika ada yang menyatakan bahwa Shalahuddin sebagai pelopor Maulid, maka ini sama saja memutar balikkan sejarah. Sejarah yang benar, Shalahuddin itu menumpas ‘Ubaidiyyun sebelum diadakan perang salib karena ‘Ubaidiyyun yang sebenarnya melemahkan kaum muslimin dengan maulid yang mereka ada-adakan. Namun inilah kenyataan sejarah yang direkayasa yang diputarbalik dan disebar di negeri ini. Hanya Allah yang beri taufik.
Kerancuan Keempat: Argumen Peringatan Maulid dengan Puasa Senin Kamis
Berikut adalah kerancuan lainnya dari kalangan pro Maulid. Mereka mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah hadits dinyatakan:
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم
“Dari Abi Qotadah al-Anshori radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallampernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).”[21]
Sanggahan terhadap syubhat di atas:
Pertama: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi pendukung untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan setiap tahun.
Kedua: Ingatlah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya menjadikan hari Senin untuk berpuasa namun juga hari kamis. Dari ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.”[22] Sehingga hadits yang dikemukakan kalangan pro Maulid bukan menunjukkan bahwa beliau ingin memperingati hari kelahirannya.
Ketiga: Jika memperingati maulid adalah dalam rangka bersyukur kepada Allah atas kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka cara memperingatinya adalah dengan berpuasa sebagaimana yang beliau contohkan. Namun kami belum ketahui ada yang bersyukur dengan cara seperti ini. Yang ada bentuk syukurnya adalah dengan membaca shalawat tanpa tuntunan, bahkan ada pula yang memperingatinya dengan bermusik ria.[23]
Demikian pembahasan kami mengenai beberapa syubhat yang ada dari para simpatisan pro Maulid. Namun masih banyak syubhat dan kerancuan lainnya, moga-moga lain waktu bisa kami lengkapi insya Allah. Intinya, syubhat yang dimunculkan tidak terlepas dari dua kemungkinan, yaitu boleh jadi dengan anggapan baik semata (tanpa dalil) dan boleh jadi dengan dalil namun salah dalam memahami.
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Cukuplah maksud kami ini sebagaimanan yang dikatakan oleh Nabi Syu’aib.
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Huud: 88)
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Disempurnakan berkat pertolongan Allah di Pangukan-Sleman, Jum’at – 12 Rabi’ul Awwal 1431 H (26/02/2010)
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id , dipublish ulang oleh http://rumaysho.com
[1] Syubhat ini dikemukakan di salah satu web pro Maulid Nabi. Silakan lihat link berikut >>http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1. Begitu pula Syubhat ini dilontarkan oleh pemilik
Ciri Ciri kiamat menurut Islam
CIRI-CIRI KIAMAT
MENURUT BEBERAPA PENDAPAT
- perang dunia 3
- munculnya al mahdi
- urunnya salju
mengguyur Tanah Arab yang gersang
http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/bukti-kebenaran-hadits-rasul-saw-salju-turun-di-saudi-tanda-hari-akhir-kian-dekat.htm
- perang melawan
arab(as-sufyani)
- perang melawan iran
- perang islam melawan
ahli kitab
- menaklukan istambul
- kedatangan al masih
dajjal
- turunnya nabi isa
almasih
- membunuh dajjal
- pembantaian yahudi
- penaklukan
roma(eropa)
- perang melawan turki
- keluarnya yakjuj dan
makjuj
- meninggalnya imam
mahdi
- pencabutan ilmu islam
secara sempurna
- terbitnya matahari
dari barat
- keluarnya
dabbah(hewan berbicara)
- keluarnya asap
kematian semua muslim
- penghancuran ka'bah
dan madinah
- pembenaman bumi
ditanah arab
- keluarnya api di
yaman http://www.youtube.com/watch?v=TxfMUaCzybw
- KIAMAT BESAR
2
Dukhan (asap) yang akan
keluar dan mengakibatkan
penyakit yang seperti
selsema di kalangan orang-orang yang
beriman dan akan
mematikan semua orang kafir.
Dajjal yang akan
membawa fitnah besar yang akan
meragut keimanan,
hinggakan ramai orang yang akan
terpedaya dengan
seruannya.
Dabbah-Binatang besar
yang keluar berhampiran Bukit
Shafa di Mekah yang
akan bercakap bahawa manusia tidak
beriman lagi kepada
Allah swt.
Matahari akan terbit
dari tempat tenggelamnya. Maka
pada saat itu Allah
swt. tidak lagi menerima iman orang kafir
dan tidak menerima
taubat daripada orang yang berdosa.
Turunnya Nabi Isa
alaihissalam ke permukaan bumi ini.
Beliau akan mendukung
pemerintahan Imam Mahadi yang
berdaulat pada masa itu
dan beliau akan mematahkan
segala salib yang
dibuat oleb orang-orang Kristian dan beliau
juga yang akan membunuh
Dajjal.
Keluarnya bangsa Ya’juj
dan Ma’juj yang akan membuat
kerusakan dipermukaan
bumi ini, iaitu apabila mereka
berjaya menghancurkan
dinding yang dibuat dari besi
bercampur tembaga yang
telah didirikan oleh Zul Qarnain
bersama dengan
pembantu-pembantunya pada zaman
dahulu.
Gempa bumi di Timur.
Gempa bumi di Barat.
Gempa bumi di
Semenanjung Arab.
Api besar yang akan
menghalau manusia menuju ke
Padang Mahsyar. Api itu
akan bermula dari arah negeri
Yaman.
Ciri- Ciri Dekatnya
Kiamat Menurut Hadist Imam Muslim dan Thabrani :
1. Jika Seorang Ibu
telah melahirkan majikannya ; artinya orang tua menjadi jongos orang tuanya,
anak menjadi bos.
2. Jika lebih
mengutamakan tontonan daripada tuntunan (Kurang perhatian terhadap Ilmu)
3. Kebodohan terhadap
Agama meraja-lela.
4. Jika minuman keras,
narkoba, heroin, ganja, sudah meraja-lela.
5. Orang dan dunia
sudah dikendalikan oleh uang ; uang menentukan segala sesuatu.
6. Perzinahan dan
kebejadtan dalam bidang seks sudah meraja-lela.
7. Jumlah perempuan
jauh lebih banyak daripada laki-laki ; bandingannya hingga mencapai 50 : 1 .
8. Kerusuhan dan
pembunuhan mereja-lela.
9. Jika pembunuhan,
dilakukan secara keji ; mutilasi, dll.
10. berlomba-lomba
mempertinggi bangunan.
11. berlomba-lomba
memperbanyak dan memperindah mesjid, tetapi isinya kosong.
12. hidup glamor ;
hedonisme, boros.
13. Fitnah merajalela.
14. Globalisasi
ekonomi.
15. Kekejian dan
kebrutalan nampak dengan jelas dimana-mana.
16. Silaturrahim rusak.
17. Masuk masjid tanpa
shalat tahiyyatul masjid.
Tanda-Tanda Hari Kiamat
Akan Tiba
Kapan akan datang hari
kiamat, tidak seorang pun tahu termasuk Nabi Muhammad SAW. Namun kita dapat
mengetahuinya dengan memperhatikan tanda-tanda di mana hari kiamat akan datang,
yaitu antara lain :
1. Asap di Timur dan
Barat
2. Munculnya Dajjal
3. Muncul binatang
melata di bumi (Dabatul Ard)
4. Terbit matahari
sebelah barat
5. Turunnya Nabi Isa AS
6. Keluarnya Yakjuj dan
Makjuj
7. Gerhana di timur
8. Gerhana di barat
9. Gerhana di jazirah
Arab
10. Keluarnya api dari
kota Yaman yang menghalau manusia ke tempat pengiringannya
Sepuluh tanda-tanda
qiamat yang disebutkan Rasulullah saw. dalam hadis ini adalah tanda-tanda
qiamat yang besar-besar, akan terjadi di saat hampir tibanya hari qiamat.
Sepuluh tanda itu ialah:
Dukhan (asap) yang akan
keluar dan mengakibatkan penyakit yang seperti selsema di kalangan orang-orang
yang beriman dan akan mematikan semua orang kafir.
Dajjal yang akan
membawa fitnah besar yang akan meragut keimanan, hinggakan ramai orang yang
akan terpedaya dengan seruannya.
Dabbah-Binatang besar
yang keluar berhampiran Bukit Shafa di Mekah yang akan bercakap bahawa manusia
tidak beriman lagi kepada Allah swt.
Matahari akan terbit
dari tempat tenggelamnya. Maka pada saat itu Allah swt. tidak lagi menerima
iman orang kafir dan tidak menerima taubat daripada orang yang berdosa.
Turunnya Nabi Isa
alaihissalam ke permukaan bumi ini. Beliau akan mendukung pemerintahan Imam
Mahadi yang berdaulat pada masa itu dan beliau akan mematahkan segala salib
yang dibuat oleb orang-orang Kristian dan beliau juga yang akan membunuh
Dajjal.
Keluarnya bangsa Ya’juj
dan Ma’juj yang akan membuat kerusakan dipermukaan bumi ini, iaitu apabila
mereka berjaya menghancurkan dinding yang dibuat dari besi bercampur tembaga
yang telah didirikan oleh Zul Qarnain bersama dengan pembantu-pembantunya pada
zaman dahulu.
Gempa bumi di Timur..
Bisa jadi ini mengacu kepada gempa di China, Tsunami di Aceh.
Gempa bumi di Barat.
Bisa jadi ini akan terjadi di daerah Mexico, Argentina, Brazilia dan
negara-negara Amerika Latin
Gempa bumi di
Semenanjung Arab.. Kemungkinan kasus longsor di Mesir sebagai pembukanya.
Api besar yang akan
menghalau manusia menuju ke Padang Mahsyar. Api itu akan bermula dari arah
negeri Yaman. (Apa ini bahaya Nuklir?)
4:
3 Ketika Yesus duduk di
atas Bukit Zaitun, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya untuk bercakap-cakap
sendirian dengan Dia. Kata mereka: "Katakanlah kepada kami, bilamanakah
itu akan terjadi dan apakah tanda kedatangan-Mu dan tanda kesudahan
dunia?"
4 Jawab Yesus kepada
mereka: "Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu!
5 Sebab banyak orang
akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan
menyesatkan banyak orang.
6 Kamu akan mendengar
deru perang atau kabar-kabar tentang perang. Namun berawas-awaslah jangan kamu
gelisah; sebab semuanya itu harus terjadi, tetapi itu belum kesudahannya.
7 Sebab bangsa akan
bangkit melawan bangsa, dan kerajaan melawan kerajaan. Akan ada kelaparan dan
gempa bumi di berbagai tempat.
8 Akan tetapi semuanya
itu barulah permulaan penderitaan menjelang zaman baru.
9 Pada waktu itu kamu
akan diserahkan supaya disiksa, dan kamu akan dibunuh dan akan dibenci semua
bangsa oleh karena nama-Ku,
10 dan banyak orang
akan murtad dan mereka akan saling menyerahkan dan saling membenci.
11 Banyak nabi palsu
akan muncul dan menyesatkan banyak orang.
12 Dan karena makin
bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.
13 Tetapi orang yang
bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.
14 Dan Injil Kerajaan
ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa,
sesudah itu barulah tiba kesudahannya."
KAFAAH DALAM PERNIKAHAN
Fiqhun Nisaa’, Muhammad Ra’fat Utsman
Kafaah dalam bahasa Arab berarti kesamaan atau kesetaraan. Rasulullah bersabda, “Kaum muslimin itu sama atau setara darahnya satu sama lain”, maksudnya bahwa darah mereka sama satu sama lain dalam urusan qishash dan diyat. Jadi tidak ada bedanya antara darah (nyawa) orang yang terpandang dan darah (nyawa) orang yang tidak terpandang.
Adapun yang dimaksud oleh para fuqaha dengan kafaah dalam masalah pernikahan ialah bahwa sepasang suami isteri hendaknya sama atau setara dalam aspek-aspek tertentu, yang mana jika hal itu tidak terpenuhi maka pada umumnya akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga.
Pertimbangan kafaah dalam pernikahan disandarkan pada :
Kafaah dalam bahasa Arab berarti kesamaan atau kesetaraan. Rasulullah bersabda, “Kaum muslimin itu sama atau setara darahnya satu sama lain”, maksudnya bahwa darah mereka sama satu sama lain dalam urusan qishash dan diyat. Jadi tidak ada bedanya antara darah (nyawa) orang yang terpandang dan darah (nyawa) orang yang tidak terpandang.
- Riwayat dari Ali ibn Abi Thalib ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Hai Ali, janganlah engkau mengakhirkan (menunda-nunda) tiga hal : sholat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah hadir (untuk segera diurus dan dikuburkan), dan anak perempuan yang siap menikah jika telah engkau dapatkan yang sekufu dengannya”.
- Riwayat dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Pilih-pilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya isteri), dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu”.
- Atsar dari Umar ibn Al-Khaththab ra. Beliau berkata, “Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu”. [Fathul Qadiir J II hal. 417]
Kafaah Tidak Termasuk Syarat Sahnya Akad Nikah
Kafaah merupakan salah satu diantara hak seorang isteri, sehingga seorang wali tidak boleh menikahkan puterinya dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya. Kafaah juga merupakan hak seorang wali, sehingga jika seorang wanita meminta atau menuntut kepada walinya untuk dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sekufu maka sang wali boleh tidak mengabulkannya, dengan alasan tidak adanya kafaah. Tetapi permasalahan selanjutnya ialah apakah kafaah termasuk syarat sahnya akad nikah ?
Terdapat dua pendapat di kalangan para ulama. Yang paling tepat ialah pendapat yang mengatakan bahwa kafaah tidak termasuk syarat sahnya akad nikah. Sebab, kafaah merupakan hak bagi seorang wanita dan juga walinya, sehingga keduanya bisa saja menggugurkannya (tidak mengambilnya). Inilah pendapat sebagian besar ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan para ulama Hanafiyah. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanbal.
Adapun dalil-dalil yang menjadi sandaran pendapat tersebut adalah :
- Dalil pertama : Firman Allah Ta’ala, “… Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian ialah yang paling bertaqwa …”. Jadi, Al-Qur’an tidak membeda-bedakan manusia kecuali berdasarkan ketaqwaan mereka kepada Allah.
- Dalil kedua : Sesungguhnya Nabi saw telah memerintahkan Fathimah bint Qays untuk menikah dengan Usamah ibn Zaid, kemudian keduanya menikah. Demikian pula Rasulullah telah menikahkan Zaid ibn Haritsah (ayah Usamah) dengan puteri bibinya, Zainab bint Jahsy.
- Dalil ketiga : Bahwasanya Aisyah ra berkata, “Sesungguhnya Abu Hudzaifah ibn Utbah ibn Rabi’ah telah mengangkat Salim sebagai anaknya (ketika mengangkat anak masih diperbolehkan) kemudian menikahkannya dengan puteri saudara perempuannya, Hindun bint Al-Walid ibn Uqbah. Sebelumnya Salim merupakan seorang budak wanita Anshar, lalu dimerdekakan”. [HR Al-Bukhari]
- Dalil keempat : Bahwasanya kafaah hanyalah merupakan hak bagi seorang wanita dan juga walinya, sehingga tidak harus ada untuk sahnya sebuah akad nikah. Sebagaimana juga tidaklah dipersyaratkan bebasnya suami isteri dari kekurangan yang bisa menghalangi kenikmatan hubungan seksual, untuk sahnya sebuah akad nikah.
Kalaupun ada riwayat-riwayat yang menyebutkan kafaah dalam pernikahan, semua itu hanya menunjukkan bahwa kafaah hendaknya dipertimbangkan dalam urusan pernikahan, dan bukan merupakan syarat sahnya akad nikah. Kafaah merupakan hak bagi seorang wanita dan juga para walinya. Jika diantara mereka ada yang merasa tidak rela dengan ketidaksekufuan pernikahan yang telah dilangsungkan, maka mereka bisa mem-fasakh akad nikah sesudah sahnya akad itu. Karena itulah diriwayatkan bahwa Rasulullah telah memberikan pilihan kepada seorang wanita yang telah dinikahkan oleh ayahnya dengan keponakan ayahnya itu, untuk melanggengkan pernikahannya itu atau mem-fasakh-nya. Jika kafaah merupakan syarat sahnya akad nikah, mengapa wanita itu diberi pilihan ?
Dalam Hal Apa Kafaah Itu ?
Yang dimaksud dengan kafaah ialah bahwa jangan sampai seorang suami lebih rendah derajatnya, akhlaqnya, atau status sosialnya, daripada isterinya.
Kafaah merupakan penghormatan bagi seorang wanita. Artinya, tidak setiap laki-laki bisa menikahi seorang wanita. Tetapi tidak sebaliknya. Setiap laki-laki boleh menikah dengan wanita manapun yang ia sukai. Jadi, kafaah dipersyaratkan atas laki-laki, tetapi tidak dipersyaratkan atas wanita.
Para ulama yang mewajibkan diterapkannya kafaah dalam pernikahan memandang bahwa yang diharapkan dalam pernikahan adalah kebahagiaan suami isteri sepanjang hayat mereka dan pertalian kekerabatan yang harmonis, dan itu semua sulit dicapai tanpa adanya kafaah diantara keduanya, misalnya jika nasabnya, akhlaqnya, atau yang semacamnya jauh tidak sederajat antara satu dan yang lainnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang dalam hal apakah kafaah itu.
- Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa kafaah adalah dalam hal din dan nasab. Adapun yang dimaksud dengan din disini bukanlah muslim atau non muslim, sebab sudah jelas bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim. Tetapi yang dimaksudkan dengan din disini adalah keistiqamahan tadayyun, keshalihan, dan kemampuan menjauhi hal-hal yang dilarang oleh syariat Islam. Jadi seorang laki-laki dikatakan tidak sekufu dengan seorang wanita muslimah yang taat jika laki-laki tersebut adalah seorang yang fasiq, yang mana kesaksian dan periwayatannya tidak bisa diterima, tidak aman bagi jiwa dan harta, serta tidak layak menjadi wali. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Qudamah.
- Adapun Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada kafaah kecuali dalam hal din.
Kapan Kafaah Dipertimbangkan ?
Kafaah dipertimbangkan pada saat akad nikah. Jika pada saat akad nikah, seorang laki-laki sudah sekufu tetapi sesudah itu kehilangan sifat-sifat kafaahnya maka si isteri ataupun walinya tidak boleh menuntut cerai suaminya dengan alasan tidak sekufu.
Fiqhus Sunnah, As-Sayyid Saabiq
Apa Hukum Kafaah dalam Pernikahan ?
Pertama. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafaah tidak harus dipertimbangkan dalam pernikahan. Beliau mengatakan, “Setiap muslim – sepanjang bukan seorang pezina – berhak untuk menikahi wanita muslimah yang manapun juga – sepanjang wanita itu bukan seorang pezina –“. Beliau melanjutkan, “Setiap pemeluk Islam merupakan saudara satu sama lain. Seorang laki-laki yang nasabnya tidak terpandang tidaklah dilarang menikahi puteri seorang khalifah dari Bani Hasyim….. Dan seorang muslim yang fasiq - sepanjang bukan pezina – adalah sekufu dengan wanita muslimah yang juga fasiq – sepanjang wanita itu bukan pezina –“.
“Argumentasinya adalah firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”, dan juga firman-Nya yang ditujukan kepada segenap laki-laki muslim : “Maka nikahilah wanita yang kalian sukai”. Dan setelah menyebutkan wanita-wanita yang diharamkan bagi kita, Allah melanjutkan : “Dan dihalalkan bagi kalian selain mereka itu”.
“Rasulullah juga telah menikahkan Zainab dengan Zaid, juga Al-Miqdad dengan Dhiba’ah bint Az-Zubair ibn Abdil Muthallib”.
Kedua. Ulama yang lain mengatakan bahwa kafaah harus dipertimbangkan, tetapi hanya dalam hal keistiqamahan tadayyun dan akhlaq. Jadi bukanlah kafaah itu dalam hal nasab, kekayaan, dan sebagainya. Sehingga boleh-boleh saja seorang laki-laki shalih yang nasabnya tidak terpandang menikahi wanita yang nasabnya terpandang, atau seorang laki-laki miskin tetapi shalih dan bertaqwa menikahi seorang wanita yang kaya. Dalam hal ini, sang wali tidak boleh menolak pernikahan tersebut kalau memang si wanita sudah rela dengan pernikahan tersebut. Adapun seorang laki-laki yang tidak istiqamah dalam beragama, maka dia tidaklah sekufu dengan seorang wanita yang shalihah….
Disebutkan dalam Bidayatul Mujtahid : “Para ulama Malikiyah sepakat bahwa jika seorang gadis akan dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang laki-laki peminum khamr – atau secara umum laki-laki yang fasiq – maka gadis itu berhak untuk menolak pernikahan itu. Dan hendaknya hakim meneliti masalah tersebut, untuk kemudian memisahkan keduanya. Demikian juga halnya jika calon suaminya itu laki-laki yang berpenghasilan haram, atau laki-laki yang mudah menjatuhkan thalaq”.
Golongan ini berargumentasi dengan dalil-dalil berikut :
- Allah Ta’ala berfirman, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah yang paling bertaqwa”.
- At-Tirmidzi meriwayatkan dengan isnad hasan, dari Abu Hatim Al-Mazini, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridha terhadap din dan akhlaqnya, maka terimalah lamaran pernikahannya. Jika kalian tidak melakukan yang demikian, maka akan terjadi fitnah diatas muka bumi dan kerusakan yang besar”. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, meskipun pada dirinya …! Rasulullah menyahuti, “Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridha terhadap din dan akhlaqnya, maka terimalah lamaran pernikahannya”. Beliau mengucapkannya tiga kali.
Hadits ini merupakan arahan kepada para wali agar tidak menolak lamaran seorang laki-laki yang bagus dinnya, amanah, dan berakhlaq mulia, karena lebih mengutamakan yang nasabnya lebih terpandang, status sosialnya lebih tinggi, hartanya lebih melimpah, dan sebagainya. Sebab jika ini terjadi akan timbul fitnah yang dahsyat dan kerusakan yang tak berujung.
- Rasulullah saw pernah melamar Zainab bint jahsy untuk beliau nikahkan dengan Zaid ibn Haritsah. Tetapi, Zainab dan juga saudara laki-lakinya, Abdullah, menolak lamaran itu, karena merasa nasabnya jauh lebih tinggi sementara Zaid adalah seorang budak. Maka turunlah firman Allah : “Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu perkara, memiliki pilihan dalam urusan mereka itu. Barangsiapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka dia telah sesat sesesat-sesatnya”. Sehingga, Abdullah menyerahkan semuanya kepada Nabi. Maka Nabi pun menikahkan Zainab dengan Zaid.
- Abu Hudzaifah telah menikahkan Salim dengan Hindun bint Al-Walid ibn Utbah ibn Rabi’ah, sementara Salim adalah bekas budak seorang wanita Anshar.
- Bilal ibn Rabbah telah menikahi saudara perempuan Abdurrahman ibn Auf.
- Imam Ali – semoga Allah memuliakan wajahnya – pernah ditanya tentang hukum kafaah dalam pernikahan, maka beliau pun berkata, “ Manusia itu sekufu satu sama lain, baik itu Ajam ataupun Arab, termasuk suku Quraisy dan Hasyimi, dengan syarat beragama Islam dan beriman.
Diantara golongan ini ialah para ulama Malikiyah.
Imam Asy-Syaukani berkata, “Diriwayatkan dari Umar, Ibnu Mas’ud, Muhammad ibn Sirin, dan Umar ibn Abdil Aziz, dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim, pendapat demikian : “Yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw dengan mempertimbangkan kafaah adalah dalam hal din ….sehingga seorang muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, demikian pula seorang wanita yang menjaga diri tidak boleh menikah dengan seorang pendosa…. Al-Qur’an dan As-Sunnah sama sekali tidak memaksudkan kafaah dengan makna selain itu. Seorang muslimah dilarang menikah dengan laki-laki pezina dan pendosa, meskipun laki-laki itu nasabnya terpandang, kaya raya, dan sebagainya. Seorang bekas budak boleh saja menikahi seorang wanita yang bernasab terpandang dan kaya raya, jika laki-laki itu muslim dan bertaqwa…Seorang laki-laki yang bukan Quraisy boleh saja menikahi wanita Quraisy. Seorang laki-laki yang bukan Hasyimi boleh saja menikahi wanita Hasyimi. Seorang laki-laki yang miskin juga boleh menikahi wanita yang kaya raya”. [Zaadul Ma’ad J IV, hal 22]
Ketiga. Adapun sebagian besar fuqaha juga berpendapat sama dengan para ulama Malikiyah dan lain-lainnya yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kafaah yang harus dipertimbangkan ialah dalam hal din, sehingga seorang laki-laki fasiq tidaklah sekufu dengan wanita yang menjaga diri. Hanya saja, mereka tidak mencukupkan kafaah sampai disitu saja, tetapi meluaskan arti dan cakupannya pada hal-hal yang lain, antara lain :
Pertama, nasab.
Maksudnya, orang Arab sekufu dengan orang Arab yang lainnya. Orang Quraisy sekufu dengan orang Quraisy yang lainnya. Orang Ajam tidak sekufu dengan orang Arab. Orang Arab umum tidak sekufu dengan orang Arab Quraisy.
Argumentasi yang mereka pakai :
- HR Al-Hakim, dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Orang Arab itu sekufu dengan sesama Arab, dari kabilah apa saja, kecuali tukang tenun dan tukang bekam”. Ibnu Abi Hatim menanyakan hadits ini kepada bapaknya, maka bapaknya berkata, “Hadits ini dusta dan tidak ada asalnya”. Daruquthni berkomentar dalam Al-‘Ilal, “Hadits ini tidak sah”. Ibnu Abdil Barr berkata, “Hadits ini munkar dan maudhu’ (palsu)”.
- HR Al-Bazzar, dari Mu’adz ibn Jabal, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Orang Arab sekufu dengan sesama Arab, dan Mawali (campuran Arab dengan Ajam) sekufu dengan sesama Mawali”. Dalam sanad hadits ini terdapat Sulaiman ibn Abil Jaun [dan dia lemah]”. Ibnul Qaththan berkata, “Hadits ini tidak dikenal… Dalam isnadnya dikatakan dari Khalid ibn Mi’dan dari Mu’adz, padahal Khalid tidak pernah mendengar dari Mu’adz… Jadi tidaklah sah menyandarkan masalah kafaah dalam nasab pada hadits ini”.
- Atsar yang diriwayatkan oleh Daruquthni, dari Umar ibn Al-Khaththab ra , beliau berkata, “Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu”.
- Para ulama Syafi’iyah dan juga Hanafiyah mengakui sahnya mempertimbangkan nasab dalam masalah kafaah dalam pengertian sebagaimana tersebut diatas. Hanya saja diantara mereka terdapat perbedaan pendapat tentang apakah setiap Quraisy sekufu dengan Hasyimi dan Muthallibi. Adapun ulama Syafi’iyah, mereka berpendapat bahwa tidak setiap laki-laki Quraisy sekufu dengan wanita Hasyimi dan Muthallibi. Mereka berdalil dengan hadits riwayat Wa-ilah ibnul Asqa’, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah diantara Banu Ismail, kemudian Dia memilih Quraisy diantara Kinanah, kemudian Dia memilih Bani Hasyim diantara Quraisy, kemudian Dia memilih aku diantara Bani Hasyim. Jadi aku adalah yang terbaik diantara yang terbaik”. [HR Muslim]. Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) berkata dalam Fathul Bari, “Yang benar ialah mengutamakan Bani Hasyim dan Bani Muthallib diatas yang lainnya… Adapun selain kedua suku itu, maka mereka semuanya sekufu satu sama lain”.
Yang benar [menurut As-Sayyid Sabiq] tidaklah demikian. Sesungguhnya Nabi saw telah menikahkan kedua puterinya dengan Utsman ibn Affan. Beliau saw juga telah menikahkan Abul Ash ibnur Rabi’ dengan Zainab, puteri beliau. Padahal Utsman dan Abul Ash adalah keturunan Abdus Syams… Beliau saw juga telah menikahkan Umar dengan puterinya, Ummu Kaltsum, padahal Umar adalah seorang Adawi. Yang demikian ini karena keutamaan ilmu mengalahkan setiap nasab dan segenap keutamaan yang selainnya. Sehingga, seorang alim adalah sekufu dengan wanita yang manapun juga, apapun nasab wanita itu, meskipun laki-laki alim itu nasabnya tidak terpandang. Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi saw, “Manusia itu [ibarat] bahan tambang, ada yang seperti emas dan ada yang seperti perak. Yang paling baik diantara mereka pada masa jahiliyah tetap merupakan yang paling baik dalam [lingkungan] Islam, jika mereka orang-orang yang paham”. Juga berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang dikaruniai ilmu beberapa derajat”. [QS Al-Mujadalah : 11]. Demikian pula Allah berfirman, “Katakan : Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu?”
Demikianlah pendapat para ulama Syafi’iyah tentang nasab bagi orang-orang Arab. Adapun bagi orang-orang Ajam, diantara mereka ada yang berkata, “Kafaah diantara mereka tidaklah diukur dengan nasab”. Tetapi diriwayatkan dari Imam Syafi’i dan kebanyakan sahabat-sahabatnya bahwa orang-orang Ajam juga bertingkat-tingkat nasabnya (dan hal itu dipertimbangkan dalam masalah kafaah), dikiaskan dengan hal yang serupa di kalangan orang-orang Arab.
Kedua, status merdeka atau budak.
Maksudnya, laki-laki budak tidak sekufu dengan wanita merdeka. Laki-laki yang pernah menjadi budak tidak sekufu dengan wanita yang sama sekali tidak pernah menjadi budak. Demikian seterusnya.
Ketiga, bapak dan kakek-kakeknya muslim atau bukan.
Ini hanya berlaku untuk selain orang Arab. Yakni, apakah seseorang memiliki bapak, kakek, dan seterusnya yang beragama Islam atau tidak. Adapun orang Arab maka tidak perlu memperhatikan masalah ini, karena mereka sudah cukup dengan hanya mempertimbangkan masalah nasab. Yang demikian ini karena mereka hanya berbangga-bangga dengan nasab, bukan dengan kenyataan bahwa nenek moyangnya muslim atau bukan.
Keempat, status sosial dan pangkat / profesi.
Argumentasi yang dipakai adalah riwayat Al-Hakim, dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Orang Arab itu sekufu dengan sesama Arab, dari kabilah apa saja, kecuali tukang tenun dan tukang bekam”. Ibnu Abi Hatim menanyakan hadits ini kepada bapaknya, maka bapaknya berkata, “Hadits ini dusta dan tidak ada asalnya”. Daruquthni berkomentar dalam Al-‘Ilal, “Hadits ini tidak sah”. Ibnu Abdil Barr berkata, “Hadits ini munkar dan maudhu’ (palsu)”.
Suatu saat dikatakan kepada Imam Ahmad ibn Hanbal, “Mengapa Anda menyetujui pendapat ini padahal Anda melemahkan riwayatnya?” Maka beliau menjawab, “Karena kenyataannya begitulah yang dipraktekkan”.
Kelima, kekayaan.
Argumentasi yang dipakai ialah hadits riwayat Samrah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Status sosial adalah kekayaan, sedangkan kemuliaan adalah ketakwaan”.
Tetapi sebagian ulama menentang dipertimbangkannya kekayaan dalam masalah kafaah, dengan alasan bahwa kekayaan itu semu dan sementara, serta bukan sesuatu yang dijadikan standar muru-ah.
Adapun sahabat-sahabat Abu Hanifah, mereka mempertimbangkan kekayaan… tetapi hanya sebatas kemampuan memberikan mahar yang diminta dan nafkah yang cukup dan pantas. Jika seorang laki-laki tidak bisa memberikan salah satu dari dua hal itu atau bahkan kedua-duanya, maka ia tidak sekufu dengan wanita yang ingin dinikahinya.
Adapun Abu Yusuf mengartikan kafaah dalam hal kekayaan hanya sebatas kemampuan memberikan nafkah yang cukup dan pantas, tidak termasuk mahar.
Sebuah riwayat dari Imam Ahmad menyetujui dipertimbangkannya kekayaan dalam masalah kafaah, karena seorang wanita dari keluarga kaya akan menderita hidup bersama laki-laki yang miskin, dan karena manusia menganggap kemiskinan sebagai kekurangan (artinya orang yang kaya dimuliakan sebagaimana dimuliakannya orang yang nasabnya terpandang).
Keenam, memiliki kekurangan / cacat fisik atau tidak.
Dalam Kitab Al-Mughni disebutkan : “Terbebasnya seorang laki-laki dari kekurangan atau cacat fisik tidaklah termasuk dalam pengertian kafaah, karena para ulama sudah sepakat akan sahnya pernikahan laki-laki yang memiliki kekurangan atau cacat fisik. Hanya saja kekurangan atau cacat fisik pada si laki-laki menyebabkan adanya hak pilih bagi si wanita (untuk menerima pernikahan atau menolaknya), tidak bagi sang wali, karena si wanita sajalah yang akan menanggung masalah ini. Tetapi wali memiliki hak untuk menolak pernikahan dengan laki-laki yang lumpuh, berpenyakit lepra, atau gila.
Atas Siapa Kafaah Dipersyaratkan ?
Kafaah dalam pernikahan hanya dipersyaratkan atas laki-laki. Adapun seorang wanita tidaklah dipersyaratkan harus sekufu dengan suaminya.
Dalil-dalilnya adalah :
- Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang memiliki jariyah, kemudian mengajarinya dengan pengajaran yang baik, dan bersikap baik kepadanya, kemudian memerdekakannya lalu menikahinya, maka dia mendapatkan dua pahala”. [HR Al-Bukhari dan Muslim]
- Rasulullah merupakan sosok yang tidak ada seorang pun yang setara dengannya, tetapi beliau menikahi para wanita Arab, diantaranya Shafiyah bint Huyay yang awalnya beragama Yahudi tetapi kemudian masuk Islam.
- Pada umumnya, seorang wanita yang tinggi derajatnya akan dijadikan bahan pembicaraan jika dinikahi oleh laki-laki yang derajatnya lebih rendah. Tetapi tidak sebaliknya. Jika ada seorang laki-laki yang tinggi derajatnya kemudian menikahi wanita yang lebih rendah derajatnya, maka tidak akan ada yang membicarakannya.
Kafaah Merupakan Hak bagi Wanita dan Para Wali
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kafaah merupakan hak bagi wanita dan para wali. Seorang wali tidak boleh menikahkan seorang wanita dengan laki-laki yang tidak sekufu, kecuali dengan kerelaan wanita itu sendiri dan juga para wali yang lainnya. [Jika seorang wanita dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sekufu, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan itu bathil (tidak sah). Pendapat kedua mengatakan bahwa pernikahan itu tetap sah tetapi wanita itu kemudian boleh memilih antara melanjutkan pernikahan atau menuntut cerai].
Para ulama Syafi’iyah berkata, “Kafaah merupakan hak bagi [si wanita dan] yang memegang perwalian harta”.
Imam Ahmad – dalam sebuah riwayat – berkata, “Kafaah merupakan hak bagi [si wanita dan] seluruh wali : yang dekat ataupun yang jauh. Siapapun diantara para wali itu tidak rela maka berhak melakukan fasakh.
Dalam riwayat yang lain, Imam Ahmad berkata, “Kafaah merupakan hak Allah. Meskipun si wanita dan seluruh walinya rela dengan ketidaksekufuan, maka kerelaan mereka semuanya tidaklah sah”. Namun riwayat ini didasarkan pada pengertian bahwa kafaah hanyalah dalam hal din, tidak dalam hal yang lain.
Kapan Kafaah Dipertimbangkan ?
Kafaah dipertimbangkan pada saat akad nikah. Jika saat akad nikah sang suami merupakan seorang yang terhormat, kuat memberikan nafkah, atau shalih… tetapi kemudian keadaan berubah : ia menjadi tidak terhormat, tidak lagi kuat memberikan nafkah, atau menjadi fasiq, maka akad nikah tetap sah sebagaimana awalnya. Karena sesungguhnya masa itu berputar, dan manusia itu tidak bisa dijamin selalu dalam keadaan yang sama… Dalam hal ini hendaknya sang isteri menerima kenyataan, bersabar, dan bertaqwa, karena yang demikian itu termasuk keutamaan.
Kitaabul Fiqh ‘alal Madzaahibil ‘Arba’ah, Abdurrahman Al-Jaziiri
Terdapat beberapa hal yang terkait dengan masalah kafaah :
Pertama, pengertian kafaah.
Kedua, apakah kafaah merupakan syarat sahnya akad nikah ataukah tidak.
Ketiga, apakah kafaah hanya dipersyaratkan atas laki-laki saja ataukah atas kedua belah pihak.
Keempat, siapakah yang memiliki hak memutuskan terkait dengan masalah kafaah.
Madzhab Hanafiyah
Pengertian Kafaah
Kafaah ialah kesetaraan laki-laki terhadap wanita dalam beberapa hal, yakni enam hal : 1) nasab,
Manusia dibedakan atas Arab dan Ajam. Arab sendiri dibedakan atas Quraisy dan bukan Quraisy.
- Laki-laki Ajam tidak sekufu dengan wanita Arab.
- Laki-laki Arab bukan Quraisy tidak sekufu dengan wanita Quraisy.
- Laki-laki Quraisy sekufu dengan wanita Quraisy meskipun berbeda qabilah, misalkan si wanita seorang Hasyimi sementara si laki-laki seorang Naufali.
- Adapun laki-laki Ajam sekufu dengan wanita Ajam pula.
- Seorang Ajam yang alim sekufu dengan wanita Arab yang tidak alim, meskipun wanita itu kaya sementara si laki-laki miskin, karena kemuliaan ilmu lebih tinggi daripada kemuliaan kekayaan.
- Seorang Ajam yang alim sekufu dengan wanita yang terpandang nasabnya tetapi tidak alim, karena kemuliaan ilmu lebih tinggi daripada kemuliaan nasab.
2) bapak dan kakek-kakeknya muslim atau bukan,
Ini berlaku untuk orang Ajam.
3) status sosial dan pangkat / profesi,
Yang dimaksud ialah bahwa status sosial dan pangkat / profesi keluarga si laki-laki harus sekufu dengan status sosial dan pangkat / profesi keluarga si wanita. Adapun ukuran status sosial dan pangkat / profesi maka kembali kepada budaya dan tradisi setempat.
4) merdeka atau budak,
5) din,
Seorang laki-laki fasiq tidak sekufu dengan wanita yang shalihah. Yang dimaksud dengan fasiq disini ialah terang-terangan dalam berbuat kefasiqan. Misalnya suka mabuk di tempat umum atau di jalan umum, suka pergi ke tempat-tempat mesum atau tempat-tempat kemaksiatan, gemar meninggalkan sholat dan puasa wajib kemudian mengumumkannya kepada orang-orang.
6) kekayaan.
Adapun masalah rupa tidaklah termasuk dalam kafaah. Jika si wanita cantik tetapi suaminya buruk rupa, maka wanita itu dan juga walinya tidak berhak untuk mem-fasakh pernikahan.
Apakah Kafaah Merupakan Syarat Sahnya Akad Nikah ataukah Tidak ?
Kafaah merupakan syarat terlaksananya akad nikah. Jika seorang wanita menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang derajatnya lebih rendah, maka wali boleh menolak akad itu dan hakim boleh mem-fasakh pernikahan itu.
Sebagian mengatakan bahwa kafaah merupakan syarat sahnya akad nikah. Jika seorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu padahal si wanita memiliki wali yang belum rela dengan pernikahan itu, maka akad nikah itu bathil (tidak sah). Tetapi jika wali sudah rela saat akad kemudian sesudah akad menolak pernikahan, maka penolakannya itu tidak ada gunanya.
Kemudian, apakah kerelaan wali harus dengan ucapan atau cukup dengan diam ? Jawabnya : sepanjang si wanita belum diketahui hamil atau melahirkan, maka kerelaan wali tidak cukup hanya dengan diamnya. Jadi kerelaannya harus sharih. Disamping itu, wali harus mengetahui sang suami. Jika sang wali menyatakan kerelaan terhadap sang suami yang belum ia ketahui, maka kerelaannya itu tidak sah, kecuali jika ia menggugurkan haknya dengan berkata kepada si wanita, “Aku rela dengan apapun yang engkau lakukan”, atau “Aku rela terhadap siapa saja yang akan engkau nikahi”, atau “Lakukan apa saja yang engkau suka”, atau yang semacam itu.
Apakah Kafaah Hanya Dipersyaratkan atas Laki-laki Saja ataukah atas Kedua Belah Pihak ?
Kafaah hanya dipersyaratkan atas laki-laki, dan tidak atas wanita. Jadi seorang laki-laki boleh menikah dengan wanita manapun yang ia sukai, meskipun budak atau pelayan.
Madzhab Malikiyah
Pengertian Kafaah
Kafaah dalam pernikahan ialah kesetaraan dalam dua hal :
1) din,
yakni bahwa si laki-laki haruslah muslim yang tidak fasiq (jika si wanita juga muslimah yang tidak fasiq).
2) tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik,
Jika si laki-laki memiliki kekurangan atau cacat fisik, maka si wanita memiliki hak memilih untuk menikah atau tidak. Dan ini merupakan hak bagi si wanita, tidak bagi si wali.
Adapun dalam hal harta, status merdeka, nasab, dan status sosial / pangkat / profesi, maka tidak harus ada kafaah.
Madzhab Syafi’iyah
Pengertian Kafaah
Kafaah meliputi lima hal, yakni enam hal menurut madzhab Hanafiyah kecuali kekayaan. Jadi tidaklah mengapa seorang laki-laki miskin menikahi wanita yang kaya raya. Disamping itu, mereka juga tidak mengharuskan kafaah dalam hal tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa seorang laki-laki yang cacat sekufu dengan wanita yang juga cacat, karena sama-sama cacat.
1) nasab,
Dalam hal nasab, sama dengan yang lainnya. Hanya saja mereka tidak menganggap sama orang-orang Quraisy, sebab orang Quraisy Bani Hasyim dan Bani Muthallib lebih mulia daripada orang Quraisy yang lainnya.
Tingkatan-tingkatan nasab juga berlaku di kalangan Ajam. Misalnya orang Persi lebih utama daripada orang Nibth, atau orang Banu Israil lebih mulia daripada orang Mesir, demikian seterusnya.
Demikian pula harus terdapat kafaah dalam hal kemuliaan orang tua (bapak). Anak laki-laki seorang yang lebih rendah derajatnya tidak sekufu dengan anak perempuan seorang yang lebih tinggi derajatnya.
2) din,
Seorang laki-laki pezina tidak sekufu dengan wanita yang baik-baik, meskipun laki-laki itu sudah bertaubat dengan taubat yang sungguh-sungguh, karena taubat dari zina tetap tidak menghilangkan citra yang sudah terlanjur buruk. Tetapi jika seorang laki-laki fasiq karena kemaksiatan selain zina, misalnya khamr, kemudian bertaubat, maka terdapat dua pendapat. Pertama, ia sekufu dengan wanita yang baik-baik. Kedua, ia tidak sekufu. Adapun jika si wanita seorang pezina, maka laki-laki pezina sekufu dengannya. Demikian pula jika si wanita seorang yang fasiq, maka laki-laki fasiq sekufu dengannya.
3) bapak dan kakek-kakeknya muslim atau bukan ?
seseorang yang memiliki dua generasi moyang yang muslim tidak sekufu dengan yang memiliki tiga generasi moyang yang muslim. Demikian seterusnya. Dikecualikan dari kaidah ini adalah generasi sahabat, sebab mereka lebih mulia dari siapapun, berdasarkan hadits Nabi.
4) status merdeka atau budak,
sama dengan yang lainnya.
5) status sosial dan pangkat / profesi keluarga,
sama dengan yang lainnya.
Mereka juga berpendapat bahwa seorang wanita yang merdeka tetapi fasiq tidaklah sekufu dengan lelaki budak tetapi shalih. Demikian pula seorang wanita Arab tetapi fasiq tidaklah sekufu dengan laki-laki Ajam yang shalih. Demikian seterusnya.
Apakah Kafaah Hanya Dipersyaratkan atas Laki-laki Saja ataukah atas Kedua Belah Pihak ?
Mereka juga berpendapat bahwa kafaah hanya dipersyaratkan atas laki-laki. Adapun laki-laki, maka ia boleh menikahi wanita manapun yang ia sukai, meskipun wanita itu budak atau pelayan.
Zaadul Ma’aad, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Allah Ta’ala berfirman :
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah yang paling bertaqwa”. [QS Al-Hujurat : 13]
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”. [QS Al-Hujurat : 10]
“Kaum mukmin yang laki-laki dan yang perempuan merupakan pelindung antara yang satu dan yang lainnya” [QS At-Taubah : 71]
“Maka Rabb mereka pun mengabulkan permintaan mereka, bahwa Aku (Allah) tidak akan menyia-nyiakan amal salah seorang diantara kalian, laki-laki atau perempuan, karena sebagian kalian merupakan bagian dari sebagian yang lainnya”. [QS Ali Imran : 195]
Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang Ajam, atau orang Ajam atas orang Arab, atau orang kulit putih atas orang kulit hitam, atau orang kulit hitam atas orang kulit putih, kecuali dengan taqwa. Semua manusia berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah”. [HR Ahmad dalam Musnadnya, dengan isnad shahih]
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya keluarga Bani Fulan bukanlah para waliku. Sesungguhnya para waliku ialah orang-orang yang bertaqwa, siapapun mereka dan dimanapun mereka berada”. [HR Al-Bukhari dalam Kitab Adab dan Muslim dalam Kitab Iman]
Rasulullah bersabda, ““Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridha terhadap din dan akhlaqnya, maka terimalah lamaran pernikahannya. Jika kalian tidak melakukan yang demikian, maka akan terjadi fitnah diatas muka bumi dan kerusakan yang besar”. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, meskipun pada dirinya …! Rasulullah menyahuti, “Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridha terhadap din dan akhlaqnya, maka terimalah lamaran pernikahannya”. Beliau mengucapkannya tiga kali. [HR At-Tirmidzi]
Rasulullah saw bersabda, “Nikahkanlah (anak-anak perempuan kalian) dengan keluarga Abu Hind”, padahal Abu Hind hanyalah seorang tukang bekam.
Rasulullah juga telah menikahkan Zainab bint Jahsy Al-Qurasyiyah dengan Zaid ibn Haritsah, bekas budak beliau. Beliau juga telah menikahkan Fathimah bint Qays Al-Qurasyiyah dengan Usamah ibn Zaid. Beliau juga telah menikahkan Bilal ibn Rabbah dengan saudara perempuan Abdurrahman ibn Auf. Allah Ta’ala berfirman, “Dan perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik”. [QS An-Nuur : 26]. Allah juga berfirman, “Maka nikahilah wanita mana saja yang kalian sukai”. [QS An-Nisaa’ : 3]
Yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw dengan mempertimbangkan kafaah adalah dalam hal din ….sehingga seorang muslimah tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki kafir, demikian pula seorang wanita yang menjaga diri tidak boleh menikah dengan seorang pendosa…. Al-Qur’an dan As-Sunnah sama sekali tidak memaksudkan kafaah dengan makna selain itu. Seorang muslimah dilarang menikah dengan laki-laki pezina dan pendosa, meskipun laki-laki itu nasabnya terpandang, kaya raya, dan sebagainya. Seorang bekas budak boleh saja menikahi seorang wanita yang bernasab terpandang dan kaya raya, jika laki-laki itu muslim dan bertaqwa…Seorang laki-laki yang bukan Quraisy boleh saja menikahi wanita Quraisy. Seorang laki-laki yang bukan Hasyimi boleh saja menikahi wanita Hasyimi. Seorang laki-laki yang miskin juga boleh menikahi wanita yang kaya raya.
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai masalah kafaah.
1. Imam Malik berkata, “Kafaah adalah dalam hal din”. Dalam riwayat yang lain, beliau berkata, “Kafaah adalah dalam tiga hal : din, status merdeka atau budak, dan tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik”.
2. Imam Abu Hanifah berkata, “Kafaah adalah dalam hal nasab dan din”.
3. Imam Ahmad dalam sebuah riwayat berkata, “Kafaah adalah dalam hal din dan nasab saja”. Dalam riwayat yang lain, beliau berkata, “Kafaah adalah dalam hal lima hal : din, nasab, status merdeka atau budak, pangkat / profesi, dan kekayaan”. Jika nasab masuk dalam pengertian kafaah, maka terdapat dua riwayat dari beliau. Pertama : orang Arab sekufu dengan sesama orang Arab. Kedua : Orang Quraisy hanya sekufu dengan orang Quraisy pula, demikian pula Banu Hasyim hanya sekufu dengan Banu Hasyim.
4. Para ulama Syafi’iyah berkata, “Kafaah adalah dalam hal din, nasab, status merdeka atau budak, pangkat / profesi, dan tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik”.
Langganan:
Postingan (Atom)
Larangan Duduk Memeluk Lutut Saat Khutbah Jumat
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc Tidak sedikit jamaah shalat Jumat yang duduknya dalam keadaan memeluk lutut. Bahkan saking enaknya duduk ...

-
Pembahasan Hadits Tentang Kafaah Dalam kitab Makarim al-Akhlaq, karya Radhiyuddin Abi an-Nashr al-Hasan bin al-Fadhal at-Thabras...
-
do'a setelah sholat fardhu Doa setelah shalat dengan detail sebagai berikut: BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM ALHAMDU LILLAAHI ...
-
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc Tidak sedikit jamaah shalat Jumat yang duduknya dalam keadaan memeluk lutut. Bahkan saking enaknya duduk ...